Warga Desa Nibung di Kabupaten Bangka Tengah menolak terpuruk oleh keberadaan lubang bekas tambang timah yang menyisakan genangan air. Hasil manis diraih saat mereka menyulap lahan kritis itu jadi obyek wisata.
Oleh
Rhama Purna Jati/Sucipto/Jumarto Yulianus
·4 menit baca
Andri (68), wisatawan asal Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terpesona dengan keindahan dua danau di obyek wisata Kolong Biru di Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Jumat (10/1/2020). Di atas pasir kuarsa yang berwarna putih, jejak kaki Andri terpatri.
Danau yang dikenal dengan nama Danau Kaolin ini sebelumnya merupakan lubang bekas tambang timah ilegal. Dua danau ini cukup unik karena yang satu airnya berwarna kehijauan dan yang lain kebiruan. Di pinggir danau terhampar pasir kuarsa.
Wisatawan juga bisa menjelajah danau memakai perahu bebek yang disediakan pengelola. Tersedia pula pondok wisata dan penyewaan motor trail. ”Obyek seperti ini tidak ada di Bandung,” kata Andri.
Wisatawan paling banyak berkunjung di akhir pekan.
Kolong Biru berjarak sekitar 26 kilometer dari Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Mulai 2009, di wilayah ini aktivitas tambang timah ilegal marak. Setelah aktivitas tambang berhenti dan menyisakan lubang besar menganga, pada 2015 warga berinisiatif menyulapnya menjadi tempat wisata.
Pengelola Kolong Biru, Agus Saputra, menyatakan, sejak disulap menjadi obyek wisata, pihaknya meraup omzet hingga Rp 20 juta per bulan. Kunjungan wisatawan bisa 2.000 orang per minggu. ”Wisatawan paling banyak berkunjung di akhir pekan. Kalau ada perhelatan internasional di Pangkal Pinang, pasti banyak orang asing datang ke sini,” kata Agus.
Pengelolaan Kolong Biru terus berkembang seiring pembentukan badan usaha milik desa. Sejumlah fasilitas dibangun, termasuk tempat penjualan cendera mata karya warga setempat. ”Beberapa fasilitas memang dibangun dengan menggunakan anggaran dana desa. Kami berharap hasilnya akan lebih baik untuk kepentingan masyarakat desa,” kata Agus.
Di Desa Namang, Bangka Tengah, Zaiwan (40) juga berusaha menyulap lahan bekas tambang timah menjadi lahan produktif. Lubang bekas tambang dijadikan tempat budidaya ikan, sebagian direhabilitasi menjadi lahan perkebunan.
Upaya merehabilitasi lubang tambang sedalam lebih dari 15 meter dengan luas 18 hektar itu tidak mudah. Secara umum, lubang bekas tambang dibiarkan begitu saja menjadi lahan kritis. Sebab, paradigma yang berkembang di masyarakat, lahan itu tidak bisa dimanfaatkan lagi.
”Banyak yang bilang saya hanya buang-buang waktu dan tenaga karena lahan bekas tambang tidak mungkin lagi menghasilkan,” kata Zaiwan. Keraguan itu terjawab. Beberapa tanamannya, seperti kayu putih, singkong, kayu pelawan, dan teh mulai menghasilkan. Adapun lahan yang belum direklamasi dijadikan tambak lele dan nila.
Bukan hal mudah mereklamasi dan merehabilitasi lahan bekas tambang. ”Saya harus mengeluarkan uang hingga Rp 80 juta untuk merehabilitasi 1 hektar lahan bekas tambang,” kata Zaiwan.
Peternakan sapi
Upaya memanfaatkan lahan bekas tambang juga dilakukan warga sejumlah desa di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Lubang bekas tambang batubara yang sudah direklamasi dijadikan lahan untuk beternak sapi.
Berjarak sekitar 300 meter dari lubang bekas tambang itu, tanah seluas 8 hektar ditanami jagung. Seusai panen, bonggol dan sisa-sisa tanaman jagung biasa dijadikan pakan sapi. Tak jauh dari lahan itu juga ditanami rumput gajah dan rumput Brachiaria humidicola (BH) Tully untuk pakan ternak serta tanaman keras seperti pohon trembesi.
Peternakan itu dikelola Kelompok Ternak Sapi Jadi Makmur Bersama, binaan perusahaan tambang PT Jembayan Muara Bara. Saat peternakan sapi itu digulirkan pada 2015, pihak perusahaan memberikan bantuan 70 sapi untuk dikelola. Namun, kini tersisa 33 sapi karena banyak yang sakit dan mati.
”Saat ini, kami belajar mengelola peternakan sapi yang bagus. Kotorannya dijadikan biogas dan pupuk. Kami juga mempelajari pengelolaan uangnya,” kata Mulyanto (35), Ketua Kelompok Ternak Sapi Jadi Makmur Bersama.
Keberadaan tambang di suatu wilayah memang tidak menjamin hadirnya kesejahteraan bagi warga. Apalagi setelah aktivitas tambang terhenti karena potensinya habis.
Sadar akan hal itu, warga Desa Bukit Mulia di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, tidak mau menggantungkan hidup pada usaha tambang. Mereka mencoba berdaya dengan mengusahakan sumber daya yang bisa diperbarui, salah satunya dengan menanam serai wangi.
Hamparan tanaman serai wangi mudah dijumpai di Desa Bukit Mulia. Lokasi kebun itu berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi pertambangan batubara yang masih aktif. Saat panen pada Desember 2019, dari lahan seluas 0,75 hektar, diperoleh hampir 1,5 ton serai wangi basah.
Kami tidak bisa mengandalkan tambang batubara.
Setelah penyulingan, dihasilkan 19 liter minyak serai wangi atau setara dengan 17,1 kilogram (kg). Minyak serai itu dihargai Rp 175.000 per kg. ”Kami tidak bisa mengandalkan tambang batubara. Kami harus fokus pada sumber daya yang bisa diperbarui,” kata Bambang Yulianto, Direktur Badan Usaha Milik Desa Berkah Mulia.
Inisiatif warga untuk mengubah lahan kritis pada lubang bekas tambang ataupun upaya pemberdayaan warga di daerah sekitar pertambangan layak diapresiasi. Lebih dari itu, dukungan konkret dari pemerintah dan perusahaan tambang sangat dibutuhkan untuk merehabilitasi 3.092 lubang bekas tambang dan memberdayakan warga sekitar.