Terusir oleh Regulasi, Telantar karena Buntu Solusi
Getir kehidupan penyandang disabilitas di negeri ini seperti tidak pernah berakhir. Sejumlah 32 mantan penghuni Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna ”tergusur” dari tempat itu setelah statusnya berubah menjadi balai.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Getir hidup penyandang disabilitas di negeri ini seperti tidak pernah berakhir. Sejumlah 32 mantan penghuni Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna, Kota Bandung, Jawa Barat, ”tergusur” dari tempat itu setelah statusnya berubah menjadi balai rehabilitasi sosial. Mereka terusir regulasi sekaligus terancam telantar karena buntu solusi.
Di bawah tenda berwarna oranye di Jalan Pajajaran, Bandung, puluhan mahasiswa tunanetra tersebut berlindung dari sengatan terik matahari, Rabu (15/1/2020). Di tempat itu juga mereka melewati dinginnya malam, Selasa (14/1/2020). Terpal dan karpet kusam menjadi pembatas antara badan dan aspal. Beberapa di antara mereka juga tidur di atas trotoar.
Mereka berkumpul tepat di depan panti tersebut yang saat ini sudah berganti nama menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna. Perubahan itu berdasarkan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas di Lingkungan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial.
Perubahan nama itu diikuti ketentuan pemberian manfaat sosial bagi penyandang disabilitas. Salah satunya, jangka waktu penerima manfaat sosial maksimal enam bulan.
Hal ini membuat 32 mahasiswa tunanetra yang sudah bertahun-tahun tinggal di panti itu harus angkat kaki. Namun, mereka belum mempunyai tujuan pasti sehingga memilih bertahan di depan balai tersebut. Selain dari Jabar, mahasiswa tunanetra itu juga berasal dari Riau, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Terpal dan karpet kusam menjadi pembatas antara badan dan aspal. Beberapa di antara mereka juga tidur di atas trotoar.
”Kami masih ingin berjuang agar status balai ini dikembalikan menjadi panti. Oleh sebab itu, Permensos Nomor 18 Tahun 2018 harus dicabut,” ujar Elda Fahmi (20), mantan penghuni Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna.
Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum menemui mereka, Rabu pagi. Uu mengajak mereka pindah ke panti rehabilitasi milik Dinas Sosial Jabar di Cibabat, Kota Cimahi.
”Sekarang hayu (mari) kita ke sana. Fasilitas-fasilitas nanti dipenuhi secara bertahap,” ujarnya.
Akan tetapi, mahasiswa penyandang tunanetra belum menerima tawaran itu. Selain fasilitas panti, mereka juga mempertimbangkan lokasi panti yang berada di Cimahi. Sebab, sebagian besar dari mereka berkuliah di Kota Bandung.
”Yang kami inginkan bukan tempat tinggal, melainkan fungsi panti yang sesungguhnya, yaitu layanan pendidikan, bimbingan, dan pembinaan,” ujar Elda.
Elda mengatakan, pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk bernegosiasi. Namun, pemenuhan layanan yang mereka dapatkan saat tinggal di panti harus dipertimbangkan.
Yang kami inginkan bukan tempat tinggal, melainkan fungsi panti yang sesungguhnya, yaitu layanan pendidikan, bimbingan, dan pembinaan. (Elda Fahmi)
”Faktor lingkungan juga penting. Bagaimana kapasitas asrama dan keramahan orang-orang di sana terhadap penyandang disabilitas,” ujarnya.
Kepala BRSPDSN Wyata Guna Sudarsono mengatakan, pihaknya tidak mengusir 32 mahasiswa tunanetra itu. Namun, berdasarkan regulasi, fungsi balai tersebut bukan melayani pendidikan formal, seperti sekolah dan kuliah, melainkan pendidikan vokasi dan pelatihan keterampilan.
”Hal ini sudah disosialisasikan sejak tahun lalu, termasuk dengan memanggil pihak keluarga. Kami menekankan regulasi baru akan berdampak terhadap perubahan penerimaan manfaat sosial,” ujarnya.
Menurut Sudarsono, dengan menetapkan jangka waktu pemberian manfaat sosial selama enam bulan, akan semakin banyak penyandang disabilitas yang terjangkau. Sebab, asrama di balai dapat digunakan secara bergantian.
”Balai dapat menampung 100 orang per enam bulan. Setelah itu, dilanjutkan oleh 100 orang di enam bulan berikutnya. Alhasil, pemberian manfaat menjadi lebih efektif,” ujarnya.
Kepala Seksi Layanan Rehabilitasi Sosial BRSPDSN Hisyam Cholil mengatakan, mayoritas di antara 32 mahasiswa tunanetra itu telah menerima manfaat sosial lebih dari empat tahun. Mereka sudah dianggap dewasa sehingga diharapkan dapat diambil alih keluarga.
”Layanan pendidikan formal itu bukan tugas kami. Layanan bimbingan dan asrama bisa disediakan oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Hisyam mengatakan, pihaknya sudah mengecek sejumlah mahasiswa tunanetra itu ke kampusnya masing-masing. Hasilnya, beberapa di antara mereka tidak aktif kuliah selama satu hingga tiga tahun.
”Berarti ada inefisiensi anggaran negara. Tentu kami harus mempertimbangkan hal ini. Mungkin anggaran itu bisa digunakan untuk penyandang disabilitas lainnya,” ujarnya.
Memasuki malam kedua setelah terusir dari panti, mahasiswa penyandang tunanetra itu masih bertahan di jalan. Penglihatan mereka memang terganggu. Namun, mereka tidak berhenti bersuara mengetuk rasa kemanusiaan para pengambil kebijakan. Tak buntu seperti solusi harapannya menguntungkan semua pihak.