Sebagian Besar Situ di Depok Mengalami Pendangkalan
Hampir semua situ di Kota Depok, Jawa Barat, mengalami pendangkalan. Dari 26 situ, hanya enam situ yang berfungsi efektif sebagai pengendali banjir. Sejumlah kalangan mendesak agar dilakukan pengerukan situ.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hanya enam dari 26 situ di Kota Depok, Jawa Barat, yang berfungsi sebagai penampung air. Sisanya sudah tidak efektif berfungsi sebagai tempat penampungan karena tingkat sedimentasi yang tinggi.
Untuk memaksimalkan fungsi situ, situ-situ yang ada saat ini perlu dikeruk sedalam 2 meter. Catatan pengamat lingkungan perkotaan Ahmad Safrudin, ada total 26 situ di Depok saat ini dengan luas total 235 hektar. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun 2001, yang saat itu berjumlah 34 situ.
”Sekarang, situ yang masih ada di Depok hanya 26 (situ). Tetapi, situ yang berfungsi dengan baik hanya enam. Yang lain rusak atau tidak berfungsi lagi karena sudah ada terlalu banyak endapan lumpur yang berasal dari hulu sungai. Sebagian endapan itu juga karena masyarakat sekitar. Sisa limbah rumah tangga mengendap di beberapa situ,” ujar lelaki yang akrab di sapa Puput itu kepada Kompas, di Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Menurut dia, semua situ yang ada di Depok berfungsi sebagai resapan air yang menuju ke Jakarta dan memiliki peran strategis meminimalkan risiko banjir. Puput pun memperkirakan, apabila pemerintah berhasil mengeruk ke-26 situ yang ada di Depok sedalam 2 meter saja, kemampuan lingkungan menampung atau mengurangi aliran air menuju Jakarta menjadi lebih besar hingga mencapai 4,7 juta meter kubik.
”Rata-rata kedalaman situ yang ada di Depok hanya setengah meter. Bahkan ada yang dangkal. Kalau dikeruk 2 meter, situ di Depok bisa menampung 4,7 juta meter kubik air. Kapasitas itu bisa mengendalikan banjir di 1.000 hektar kawasan di Jakarta yang rawan banjir. Pengendalian banjir enggak harus tergantung pada bendungan besar. Bisa juga memanfaatkan fasilitas alami situ yang sudah ada di Jabodetabek,” tutur Puput.
Ia menambahkan, fungsi situ di Depok sebagai pengendali banjir Ibu Kota paling signifikan atau strategis dibandingkan Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Di Kabupaten Bogor, misalnya, Puput mencatat, jumlah situ sebanyak 84 situ atau jauh lebih banyak dibandingkan situ di Depok. Namun, tidak semua situ di Bogor punya keterkaitan dengan resapan air dan pengendalian banjir di Jakarta.
Jumlah situ di Depok berkurang karena dikonversi menjadi area permukiman oleh developer (pengembang perumahan) ataupun secara individu. Bagi Puput, kesadaran RT, RW, lurah, dan camat periode dulu dan sekarang untuk menjaga atau merawat situ masih rendah. Pemberian sertifikat hak milik ataupun hak guna bangunan juga dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungannya.
”Lahan situ punya pemerintah dioper secara perlahan oleh individu, kemudian RT menyetujui. Dalam konteks ini, tentu terjadi transaksi. Jadi bagi-bagi uang. Lurah juga mengiyakan saja. Begitu ada keterangan dari lurah, camat tinggal buat akta jual beli. Terjadilah proses pengalihan kepemilikan negara ke individu. Di situlah terjadi konversi,” paparnya.
Seperti diberitakan Kompas sebelumnya, Wali Kota Depok M Idris berpendapat, situ-situ di Depok yang dalam kondisi baik mampu mengurangi potensi banjir dari luapan Sungai Angke, Pesanggrahan, dan Ciliwung. Namun, okupansi lahan menggerogoti luas situ. Situ Rawa Besar yang luas sebelumnya sekitar 17 hektar kini tinggal 11 hektar.
Ia menduga, sertifikat lahan-lahan situ dulu diterbitkan oleh oknum. ”Ini, kan, aneh. Bersertifikat tanah negara. Berarti ada oknum-oknum yang harus ditindak Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang),” ucap Idris (Kompas, 16/1/2020).