Pemerintah mulai melindungi situ-situ yang tersisa di Jabodetabek dengan cara penetapan lokasi situ. Langkah ini diharapkan mencegah okupasi lahan situ yang bisa berujung pada hilangnya situ.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·4 menit baca
Pemerintah mulai melindungi situ-situ yang tersisa di Jabodetabek dengan cara penetapan lokasi situ. Langkah ini diharapkan mencegah okupasi lahan situ yang bisa berujung hilangnya situ.
JAKARTA, KOMPAS — Tahun 1960-an, Jabodetabek memiliki 400-600 situ. Kini, tersisa 187 situ saja. Upaya perlindungan dengan penetapan lokasi terhadap 62 situ mulai digagas.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Bambang Hidayah mengatakan, pendataan situ yang tersisa ini dilakukan sejak 2010 dan masih berlangsung hingga sekarang. Inventarisasi mendetail terhadap 62 situ dilakukan sejak tahun lalu. Sebanyak 12 situ di antaranya sudah direvitalisasi. Revitalisasi akan dilakukan di situ lain yang tersisa.
Keberadaan situ penting dalam pencegahan banjir karena fungsinya sebagai resapan air. Situ juga jadi cadangan air bersih yang kian langka.
”Sebanyak 62 situ dipastikan masih ada dan sudah disurvei secara detail. (Survei mendetail atas situ) lainnya akan dilakukan juga setelah 62 ini selesai,” katanya seusai menjadi pembicara dalam seminar bertema ”Sinergisitas Stakeholder dalam Pengelolaan Banjir di Kawasan Jabodetabek” yang diselenggarakan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Keberadaan situ penting dalam pencegahan banjir karena fungsinya sebagai resapan air. Situ juga jadi cadangan air bersih yang kian langka.
Bambang mengatakan, untuk melindungi situ-situ yang tersisa, BBWSCC akan mengusulkan penetapan lokasi situ dan sepadannya selebar sekitar 50 meter dari badan air.
Penetapan lokasi situ kemungkinan dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri PUPR. Penetapan lokasi akan melindungi keberadaan situ karena setelahnya situ menjadi kekayaan negara.
Penetapan lokasi situ kemungkinan dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri PUPR. Penetapan lokasi akan melindungi keberadaan situ karena setelahnya situ menjadi kekayaan negara.
Beralih fungsi
Berdasarkan Undang-Undang Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004, pengelolaan situ di Jabodetabek diserahkan dari pemda ke pemerintah pusat. Penyerahan dilakukan pada 2007-2008.
Saat diserahkan, terdapat 206 situ yang terdaftar. Setelah dicek ke lokasi, 19 situ tak ditemukan karena area situ beralih fungsi jadi permukiman dengan surat-surat kepemilikan yang sah, baik oleh warga maupun pengembang.
Banyak situ yang tersisa luasnya menyusut karena okupasi. Situ Gunung Putri di Bogor, misalnya, dari luas yang terdaftar 18 hektar, tersisa 5 hektar saja. Sebanyak 13 hektar sudah dimiliki warga, sebagian besar dengan surat girik. ”Sisa 5 hektar saja, padahal sudah kami keruk. Makanya kami digugat sama masyarakat. Ini salah satu contoh,” kata Bambang.
Menurut Bambang, hal ini terjadi karena selama ini situ-situ tak diperhatikan. Sedimentasi terjadi sehingga lama-lama situ mengering dan ditanami warga. ”Lama-lama kemudian dimiliki,” katanya.
Situ-situ yang hilang itu tak bisa dikembalikan lagi.
Liputan investigasi Kompas sepanjang September 2019 yang dimuat di Kompas, 10 Oktober 2019, mengungkapkan, penguasaan situ oleh korporasi dan individu terjadi bertahun-tahun.
Pengembang memiliki alas hak dalam bentuk sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB), seperti Situ Kayu Antap dan Rompang di Tangerang Selatan. Kompas juga menemukan seluas 15 hektar dari 18 hektar lahan Situ Gunung Putri, Kabupaten Bogor, dimiliki perusahaan lewat jual beli 59 girik pada tahun 2007 dan 2013.
Penguasaan situ oleh korporasi dan individu memicu sengketa perdata di pengadilan. Namun, di pengadilan, negara hampir selalu kalah.
Otoritas pengelola
Di Depok, setidaknya tiga situ hilang. Wali Kota Depok M Idris mengatakan, permasalahannya terkait otoritas pengelolaan situ. Otoritas pengelolaan situ hanya oleh pemerintah pusat, tidak ada penyerahan otoritas ke daerah, sementara situ ada di daerah.
Tahun 2017, otoritas diserahkan ke provinsi. ”Ini pun bukan tidak ada masalah. Ada masalah karena anggaran provinsi (Jawa Barat) dibagi-bagi di 27 kabupaten dan kota. Sementara penjaga Jakarta yang paling banyak danaunya adalah Kota Depok,” katanya.
Depok memiliki 26 situ, tetapi tiga sudah hilang. Dari 23 situ yang ada, 10 situ bisa ditata untuk daerah serapan air ke arah Jakarta.
Depok memiliki 26 situ, tetapi tiga sudah hilang. Dari 23 situ yang ada, 10 situ bisa ditata untuk daerah serapan air ke arah Jakarta.
Menurut Idris, situ-situ yang dalam kondisi baik akan mengurangi potensi banjir dari luapan Sungai Angke, Pesanggrahan, dan Ciliwung.
Okupasi lahan, kata Idris, juga menggerogoti luas situ di Depok. Situ Rawa Besar, misalnya, awalnya sekitar 17 hektar dan sekarang tinggal 11 hektar.
Ia menilai ada oknum yang dulu bermain sehingga di lahan-lahan situ itu bisa terbit sertifikatnya. ”Ini, kan, aneh. Bersertifikat tanah negara. Berarti ada oknum-oknum yang harus ditindak oleh Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang),” katanya.