Mulai akhir 1990, disparitas kemiskinan desa-kota kian menganga. Penurunan jumlah penduduk miskin di perkotaan lebih cepat dari perdesaan. Sejumlah langkah telah diambil pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di desa.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan angka kemiskinan belum dibarengi penyempitan disparitas kemiskinan antara perdesaan dan perkotaan. Selain persoalan tersebut, ketimpangan pengeluaran antara penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan juga relatif besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 24,79 juta penduduk miskin di Indonesia per September 2019 atau 9,22 persen dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk miskin itu berkurang 888.700 orang ketimbang September 2018. Dari jumlah per September 2019 itu, jumlah penduduk miskin di perdesaan sebesar 12,6 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 6,56 persen.
Selain dari jumlah penduduk, disparitas kemiskinan tecermin dari indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan yang lebih rendah, yaitu 1,02, sedangkan perkotaan 2,11. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Indeks keparahan kemiskinan di perdesaan juga lebih tinggi sebesar 0,53 dibandingkan dengan perkotaan 0,23. Indeks keparahan kemiskinan menggambarkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin perdesaan dan perkotaan. Semakin lebar indeks keparahan kemiskinan, ketimpangan semakin dalam.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pungky Sumadi kepada Kompas di Jakarta, Kamis (16/1/2020), mengatakan, besarnya disparitas kemiskinan desa dengan kota dipengaruhi produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja di perkotaan umumnya lebih tinggi.
”Jika ada kesempatan ekonomi yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan, biasanya penduduk di kota punya kesempatan lebih besar daripada di desa,” kata Pungky.
Produktivitas yang lebih tinggi membuka peluang perbaikan ekonomi lebih besar untuk penduduk miskin di perkotaan. Hal itu karena penduduk miskin perkotaan lebih melek huruf dan digital. Persoalan produktivitas sangat terkait dengan kualitas pendidikan di perkotaan yang umumnya lebih baik dari perdesaan.
Menurut Pungky, pemerintah secara bertahap mengatasi peliknya kemiskinan di perdesaan ini, antara lain melalui penyaluran dana desa, peningkatan bantuan langsung nontunai, serta perluasan jaringan dan akses internet ke desa-desa di pelosok negeri. Namun, harus diakui, laju penurunan kemiskinan di perdesaan lebih lambat.
”Jumlah penduduk miskin di desa lebih tinggi karena total jumlah penduduk desa memang lebih besar dari kota,” ujar Pungky.
Di sisi lain, perlambatan pertumbuhan ekonomi juga memengaruhi laju penurunan kemiskinan kendati tidak langsung. Transmisi perlambatan ekonomi ke kemiskinan melalui kinerja investasi. Beberapa pabrik mengurangi jumlah pekerja yang dinilai tidak terampil sehingga berpotensi meningkatkan pengangguran.
Dampak perlambatan ekonomi terhadap kemiskinan juga diperingatkan Bank Dunia. Wakil Presiden Bank Dunia Bidang Pemerataan Pertumbuhan, Keuangan, dan Institusi Ceyla Pazarbasioglu mengatakan, pengambil kebijakan di negara-negara berkembang mesti melakukan reformasi struktural untuk mengurangi kemiskinan di tengah risiko perlambatan ekonomi global.
”Langkah yang harus diambil adalah memperbaiki iklim bisnis, aturan hukum, tata kelola utang, dan produktivitas yang bisa mendorong pertumbuhan berkelanjutan,” ujar Pazarbasioglu.
Bank Dunia kembali merevisi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dari 4,6 persen menjadi 4,1 persen tahun 2020. Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 diproyeksikan 5,1 persen, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,3 persen. Semua negara berkembang di dunia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Masalah menahun
Dihubungi terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdulah, mengatakan, persentase penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan tidak terpaut jauh selama periode 1980-1990. Namun, akhir tahun 1990-an, laju penurunan penduduk miskin di perkotaan lebih cepat dibandingkan perdesaan.
Pada 1980, tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 29 persen, sementara di perdesaan 28,4 persen. Tahun 1998, tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 21,92 persen dan perdesaan 25,72 persen. Disparitas kemiskinan antara desa dan kota itu kemudian jadi masalah menahun.
”Setelah tahun 1990 hingga sekarang, tingkat kemiskinan di desa selalu lebih tinggi dibandingkan kota,” kata Rusli.
Kemampuan penurunan angka kemiskinan itu pun semakin berkurang. Terlebih, ketika angka kemiskinan menyentuh single digit. Penduduk miskin sudah masuk kategori kronis yang ditandai dengan latar belakang pendidikan rendah, sakit-sakitan, dan difabel. Karena itu, diperlukan inovasi program pengurangan kemiskinan.
Menurut Rusli, Program Keluarga Harapan (PKH) jadi salah satu kebijakan pemerintah yang tepat. Namun, efektivitas program harus ditingkatkan dengan menghubungkan PKH dan program-program pemda atau kementerian/lembaga. Misalnya, PKH dikolaborasikan dengan program pengembangan UMKM.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menambahkan, sebagian besar penduduk miskin di perdesaan adalah petani dan buruh tani. Secara nominal, upah buruh tani per Desember 2019 sebesar Rp 54.723 per hari, naik tipis sebesar 0,13 persen secara bulanan.
”Data itu mengindikasikan bahwa program-program bantuan sosial yang ada belum banyak menolong kaum miskin perdesaan, termasuk kelompok petani,” ucap Bustanul.
Di sisi lain, pemerintah harus mulai memikirkan program afirmatif untuk lapisan terbawah dari kelompok penduduk kelas menengah. Mereka harus dilindungi karena rentan jatuh miskin sebab tabungan belum mencukupi. Perlindungan kelas menengah ini bisa dimulai dengan implementasi Kartu Pra-Kerja.