Bandong, Sang Penjelajah Kapuas yang Kian Redup
Bandong, salah satu jenis kapal legendaris penjelajah Sungai Kapuas saat peradaban sungai masih ramai. Kini, sang penjelajah itu kian redup.
Bandong, salah satu jenis kapal legendaris penjelajah Sungai Kapuas. Saat sungai masih satu-satunya jalur transportasi, bandong memegang peranan penting dalam perdagangan dan angkutan manusia. Kini, sang penjelajah Kapuas itu kian redup.
Kapal bandong milik Edy Chandra (41) bertonase 100 gros ton berukuran 25 meter x 12 meter mengapung di pinggir Sungai Kapuas di Nanga Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Kamis (14/11/2019). Edy tampak sedang melayani para pembeli di ruangan bagian depan yang difungsikan sebagai tempat berdagang barang kelontong.
Sejumlah bagian, termasuk papan dan tiang-tiang bandong, terbuat dari kayu ulin dan juga jenis kayu lain. Atapnya dari seng. Bandong bentuknya seperti rumah di daratan. Bedanya, bandong berada di air. ”Mari masuk, supaya tahu bagaimana kondisi di dalam kapal bandong,” ujar Edy.
Selain difungsikan sebagai tempat berdagang, bandong difungsikan Edy sebagai tempat tinggal. Di dalam kapal terdapat kamar, dapur, dan WC. Untuk mandi, bisa langsung ke sungai. Ada juga semacam gudang tempat menyimpan barang dagangan untuk persediaan.
Sementara di bagian depan, terdapat tempat bersantai. Tamu-tamu yang datang biasa duduk di depan tepat di dekat toko. Dari situ, bisa langsung memandang ke Sungai Kapuas dan aktivitas di sungai. ”Beginilah kehidupan di bandong,” paparnya.
Kapal itu dibeli Edy dari seseorang 15 tahun lalu dengan harga sekitar Rp 200 juta. Kapal bandong itu tidak dipergunakan untuk menjelajah Sungai Kapuas guna berdagang di sepanjang Kapuas dari Kapuas Hulu hingga Pontianak, ibu kota Kalbar. Bandong miliknya menetap bersandar di Nanga Embaloh.
Edy memilih berjualan di bandong daripada di rumah lanting karena bisa lebih banyak muatannya. Yang berbelanja ke bandong milik Edy selain warga Nanga Embaloh, juga warga dari desa-desa yang dekat dengan wilayah itu yang masih menjadikan sungai sebagai jalur utama. Namun, tidak sebanyak dahulu lagi karena akses darat ke Putussibau, ibu kota Kapuas Hulu, semakin terbuka.
”Saya dari kecil tinggal di bandong saat orangtua masih memiliki bandong. Saat saya masih kecil, bandong milik orangtua saya dipergunakan menjelajah Sungai Kapuas hingga ke Pontianak,” ujarnya.
Dari perhuluan di Kapuas Hulu, menjual hasil bumi masyarakat menuju hilir di Pontianak. Dari Pontianak ke hulu membawa barang dagangan. Dari Pontianak ke Kapuas Hulu 10 hari. Dalam pelayaran, berhenti di beberapa tempat sambil berdagang. ”Sekarang saya titip barang kepada motor air milik orang, tidak berlayar lagi,” kata Edy.
Bahkan, beberapa pedagang ada yang tinggal menelepon ke Pontianak untuk memesan barang dagangan. Kemudian, dikirim ke Nanga Embaloh. Sebab, sarana komunikasi sudah semakin baik di daerah itu.
Kapal bandong di daerah itu sudah tidak sebanyak dahulu. Kapal yang betul-betul berlayar ke Pontianak menjelajah Kapuas dari daerah itu tinggal dua. Sisanya, tidak berlayar dan hanya untuk berdagang.
Perlahan redup
Bandong kini perlahan ditinggalkan sejak akses darat kian terbuka. Bahkan, pembuat kapal bandong pun satu per satu sudah meninggal. Muksin (78), salah seorang pembuat kapal bandong di Kapuas Hulu, menuturkan, ia membuat kapal bandong sejak usia 40 tahun. ”Saya belajar membuat bandong dari teman,” ujarnya.
Satu kapal bandong selesai hingga enam bulan. Pada masa sungai masih sangat vital, pesanan bandong bisa setiap bulan. Bahkan, kalaupun tidak ada yang memesan, Muksin terus membuat bandong karena sudah pasti banyak yang membeli.
”Beberapa bandong yang diproduksi dibawa ke Pontianak menyusuri Sungai Kapuas dan singgah di beberapa kabupaten. Saat singgah di kabupaten-kabupaten sudah habis terjual. Biasanya pedagang yang membeli. Dahulu harganya baru sekitar Rp 8 juta per unit,” katanya.
Namun, sejak akses darat kian terbuka, semakin berkurang yang memesan bandong. Bahkan, sudah tidak ada lagi yang memesan bandong. Kini, kebanyakan pesanan perahu ukuran kecil yang akan dipasang mesin 15-40 PK. Meskipun demikian, pengetahuannya diwariskan kepada anak-anaknya.
”Pembuat kapal bandong pun banyak yang sudah tidak ada lagi. Selain itu, kendala kayu yang kian terbatas. Apalagi, ada larangan dan beberapa lokasi masuk hutan lindung. Kayu kawi biasanya digunakan juga untuk membuat bandong,” kata Muksin.
Jalur strategis
Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat, Any Rahmayani, menuturkan, ekonomi di Sungai Kapuas menggeliat setidaknya sejak abad ke-18, terutama munculnya kerajaan yang menguasai pesisir Kapuas dengan transaksi hasil-hasil alam, misalnya intan. Meskipun embrionya sudah jauh sebelum itu. Perdagangan juga terjadi secara personal. Hasil-hasil hutan, seperti lilin lebah dan gaharu, sudah diperdagangkan sejak abad ke-18.
Kapuas sangat penting karena kala itu jalan darat belum ada. Sekitar tahun 1823, kolonial Belanda masuk kembali dan menancapkan kekuasaannya di Kalbar. Jalur transportasi utama ekonomi adalah sepanjang Sungai Kapuas yang menghubungkan pesisir menuju pedalaman.
Pada akhir abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda mengintensifkan jalur itu dengan dibukanya jalur kapal uap yang kecil. Pada akhir abad ke-19, liberalisasi ekonomi Belanda memunculkan perusahaan dagang.
Sintang adalah wilayah pedalaman paling maju kala itu karena pertemuan Sungai Melawi dan Kapuas. Maka, Pemerintah Kolonial Balanda menempatkan asisten residen dan tangsi militer di Sintang karena wilayahnya yang strategis.
Mereka bekerja sama dengan kelompok masyarakat di wilayah itu. Ada pedagang perantaranya. Pedagang perantara ini memiliki berbagai macam kapal, termasuk bandong. Bandong, selain mengangkut barang, juga orang. Belanda juga memiliki kapal uap sungai pada zamannya.
Tidak semua kapal bisa masuk ke anak-anak sungai, bergantung pada tonase dan pasang-surut sungai. Untuk ke sungai-sungai kecil, biasanya dipergunakan kapal yang lebih kecil. Kapal-kapal sangat vital dalam mendukung perdagangan di sepanjang Sungai Kapuas.
Masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai biasanya hanya memiliki sampan. Sedangkan kapal-kapal besar, seperti bandong, bidar, dan daob-daob, umumnya dimiliki pedagang China, Melayu, dan keluarga kerajaan.
Peneliti lainnya dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat, Yusri Darmadi, menuturkan, kata mengenai bandong muncul pada awal abad ke-19 di arsip Belanda, ditulis sebagai ”Chinese Bandong”. Diduga, bandong awalnya terkait dengan kongsi pertambangan. Namun, memang perlu kajian lebih lanjut.
Pada masa kongsi pertambangan, kapal-kapal diduga dipergunakan untuk mengangkut hasil tambang dan sebagai tempat tinggal. Saat kongsi bubar, kapal-kapal tersebut dipergunakan untuk mengangkut komoditas tanaman yang diperdagangkan. Ukuran bandong bisa mencapai 500 gros ton dan terdiri atas tiga tingkat karena daya jelajahnya jauh. Dengan ukurannya yang besar, bandong bisa memuat banyak barang.
Bandong masih digunakan hingga kini, tetapi kian redup. Bandong masih dipergunakan karena bisa memuat barang lebih banyak. Transportasi sungai, saat ini, sebetulnya juga bisa mengurangi beban jalur darat.
Senada dengan itu, pengajar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak, Donatianus, mengatakan, bandong awalnya dipergunakan oleh kongsi-kongsi pertambangan China. Begitu kongsi bubar, bandong masih digunakan untuk transportasi manusia dan mengangkut hasil bumi.
Mereka singgah di setiap tempat untuk membeli hasil bumi masyarakat yang kemudian dijual ke kota untuk ditukar dengan barang dagangan. Barang dagangan itu kemudian dijual kembali ke masyarakat di setiap persinggahan saat kembali berlayar.
Dalam perkembangannya, bandong dijalankan oleh masyarakat lain yang dahulu bekerja pada mereka. Transfer pengetahuan pun terjadi karena hubungan intensif dalam kerja dan perdagangan sehingga diadopsi.