Utang Luar Negeri Pemerintah Rp 2.758 Triliun, Digunakan untuk Kesehatan, Pembangunan, dan Pendidikan
Utang luar negeri Indonesia per November 2019 tumbuh 8,3 persen menjadi sebesar 401,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.500 triliun. Pemerintah memprioritaskan utang luar negeri untuk sejumlah sektor produktif.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Utang luar negeri Indonesia per November 2019 tumbuh 8,3 persen menjadi sebesar 401,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.500 triliun. Pemerintah memprioritaskan utang luar negeri untuk sejumlah sektor produktif pendukung pertumbuhan ekonomi, seperti kesehatan, pembangunan, dan pendidikan.
Dari seluruh jumlah utang luar negeri, utang pemerintah dan bank sentral mencapai 201,4 miliar dollar AS (Rp 2.758 triliun). Adapun utang sektor swasta tercatat sebesar 200,1 miliar dollar AS (Rp 2.741 triliun).
Dalam keterangan resmi yang diterima Kompas, Rabu (15/1/2019), Bank Indonesia (BI) menyampaikan bahwa optimalisasi utang luar negeri dimanfaatkan untuk menyokong pembiayaan pembangunan, dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi.
”Pemerintah juga memprioritaskan utang luar negeri untuk membiayai pembangunan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam siaran pers.
BI mencatat, di luar utang bank sentral, utang luar negeri pemerintah per November 2019 sebesar 198,6 miliar dollar AS (Rp 2.718 triliun). Posisi utang ini tumbuh 10,1 persen dari November 2018 sebesar 196,6 miliar dollar AS (Rp 2.691 triliun).
Pemerintah juga memprioritaskan utang luar negeri untuk membiayai pembangunan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang pertumbuhan utang luar negeri pemerintah Oktober 2019 berbanding Oktober 2018 sebesar 13,6 persen.
”Posisi pertumbuhan tahunan utang di bulan November 2019 lebih rendah dari bulan sebelumnya karena ada pelunasan pinjaman bilateral dan multilateral yang jatuh tempo pada periode laporan,” kata Onny.
Utang luar negeri tersebut mengalir pada sejumlah sektor, antara lain sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 19 persen, sektor konstruksi (16,5 persen), sektor jasa pendidikan (16,1 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,4 persen), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (13,4 persen).
Sementara itu, utang luar negeri swasta pada November 2019 tercatat tumbuh 6,9 persen dibandingkan dengan November 2018. Posisi pertumbuhan tersebut juga jauh lebih rendah dari pertumbuhan pada Oktober 2019 dibandingkan dengan Oktober 2018, yakni 10,7 persen.
Menurut Onny, penurunan ini juga dipengaruhi oleh cukup tingginya pelunasan surat berharga domestik yang jatuh tempo meskipun pada periode yang sama terdapat penerbitan surat utang perusahaan bukan lembaga keuangan (PBLK) dan penarikan pinjaman oleh perbankan.
Utang luar negeri tersebut mengalir pada sejumlah sektor, antara lain sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 19 persen, sektor konstruksi (16,5 persen), sektor jasa pendidikan (16,1 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,4 persen), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (13,4 persen)
Adapun secara sektoral, utang luar negeri swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, air panas, dan udara (LGA), sektor industri pengolahan, serta sektor pertambangan dan penggalian. Pangsa utang luar negeri swasta di keempat sektor tersebut mencapai 76,9 persen dari total utang luar negeri swasta.
Struktur utang luar negeri Indonesia didominasi oleh utang berjangka panjang dengan pangsa 88,5 persen dari total utang luar negeri. Adapun rasio utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada November 2019 sebesar 35,9 persen.
Mengacu kepada Undang-Undang (UU) Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003, rasio utang maksimum yang diperbolehkan hingga 60 persen.
Dalam laporan bertajuk ”Januari 2020 Prospek Ekonomi Global: Pertumbuhan Melambat, Tantangan Kebijakan”, Wakil Presiden Bank Dunia Bidang Pertumbuhan, Keuangan, dan Institusi Ceyla Pazarbasioglu menyatakan, pengelolaan utang yang tepat dapat membantu negara-negara berkembang mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.
Menurut dia, pemerintah negara-negara di dunia perlu melakukan perbaikan kebijakan demi meminimalkan risiko dari bahaya gelombang utang. Pasalnya, tren suku bunga global rendah sepanjang 2020 ini diproyeksikan dapat memicu gelombang penarikan utang dari negara-negara berkembang.
”Berdasarkan sejarah, gelombang akumulasi utang masa lalu cenderung memiliki akhir yang tidak bahagia, terlebih lagi kondisi ekonomi di sepanjang 2020 diproyeksikan belum sepenuhnya pulih dari perlambatan,” ujarnya.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, total utang dari negara-negara berkembang naik menjadi sekitar 115 persen dari PDB dunia 2010 dan 170 persen dari PDB dunia pada 2018. Utang dari negara-negara berpenghasilan rendah pun melonjak setelah sempat alami penurunan tajam sepanjang periode 2000-2010.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dari setiap negar perlu segera mengambil langkah untuk meminimalisir risiko penumpukan utang. Pengelolaan utang yang baik dan transparansi utang dapat menutup biaya pinjaman, meningkatkan kesinambungan utang, dan mengurangi risiko fiskal.
“Pengaturan dan pengawasan aliran utang yang kuat serta tata kelola perusahaan swasta yang baik dapat membantu mengendalikan risiko, memastikan bahwa utang digunakan secara produktif, dan mengidentifikasi kerentanan sejak dini,” ujarnya.