Satu Juta Hektar DAS di Kalbar dalam Kondisi Kritis
Daerah aliran sungai atau DAS di Kalimantan Barat banyak yang dalam kondisi kritis. Rehabilitasi lebih masif mendesak dilakukan untuk mencegah kehancuran yang kian parah.
Data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari sekitar 14 juta hektar (ha) luas DAS di Kalbar, sekitar 1,01 juta ha dalam kondisi kritis. Sebagian besar yang kritis di DAS Kapuas di sepanjang 1.143 kilometer.
Kepala Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas Evi Budiaryanti mengatakan, indikasi kondisi DAS Kapuas yang kritis tampak dari banjir yang sering terjadi di wilayah hilir. Hal itu sinyal adanya kondisi kritis di hulu. Pada saat yang sama, air sungai juga keruh. ”Kami telah melakukan upaya rehabilitasi. Namun, laju degradasi lebih cepat daripada upaya rehabilitasi. Rehabilitasi memerlukan waktu yang lama karena proses pohon tumbuh memerlukan waktu,” ujar Evi.
Pada 2017, upaya rehabilitasi dilakukan di DAS Kapuas seluas 800 ha. Pada 2018 dilakukan rehabilitasi seluas 300 ha. Kemudian, dilanjutkan pada 2019 seluas 11.000 ha. Rehabilitasi dilakukan dengan menanam pohon bernilai ekonomi, misalnya jengkol dan petai. Ada juga pohon tengkawang. Upaya rehabilitasi dilakukan berkelanjutan.
Rehabilitasi itu dilakukan di kabupaten-kabupaten yang dilintasi Kapuas dan melibatkan berbagai pihak. Tak hanya dari pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat. Maka, tanaman yang ditanam juga yang bernilai ekonomi bagi masyarakat. Kondisi yang lebih mencengangkan diungkap Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalbar. Dari luasan DAS Kapuas dan sub-DAS Kapuas yang total mencapai 10 juta ha, sekitar 70 persennya disebutkan dalam kondisi kritis.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Nikodemus Ale, hampir semua DAS di 14 kabupaten/kota di Kalbar mengalami degradasi. ”Kondisi sungai berubah. Debit air berubah. Hal itu terjadi karena DAS rusak karena aktivitas pembukaan lahan untuk pertambangan emas ilegal dan perkebunan. Aktivitas itu berada di bantaran sungai,” ungkap Nikodemus.
Bahkan, di kawasan penyangga yang menjadi sumber air juga digarap. Aktivitas itu marak sekali di sekitar sungai. Pemberian izin tidak memperhatikan aspek keberlangsungan sungai. Pembukaan perkebunan sampai di bantaran sungai. ”Kapuas sebagai DAS utama menerima beban degradasi lingkungan dari semua sub-sub-DAS. Sebab, praktik pertambangan ilegal juga terjadi di sub-sub-DAS. Semua mengalir ke Kapuas,” ujarnya.
Penggunaan zat kimia dari aktivitas pertambangan ilegal di sub-sub-DAS semuanya tumpah ke Kapuas. Ini memengaruhi kesehatan masyarakat yang dilintasi Kapuas. Padahal, masyarakat masih mengakses air sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Saat Kompas menyusuri beberapa lokasi di Kapuas, bantaran sungai banyak yang longsor akibat pertambangan emas ilegal. Bantaran sungai ada yang tergerus hingga 10-20 meter ke arah daratan. Kondisi seperti itu ditemukan di sejumlah lokasi yang terpencar.
Pohon di bantaran Kapuas banyak tumbang ke sungai. Pohon-pohon itu sebelumnya menjadi tempat mengikatkan tali rakit yang berisi alat menambang emas. Ada pula pohon yang tumbang akibat bantaran sungai yang longsor. Selain aktivitas pertambangan emas ilegal, ada pula perkebunan sawit di bantaran Kapuas. Jarak kebun hanya beberapa meter dari sungai. Harusnya minimal berkisar 50-100 meter dari sungai. Hal itu berpotensi mengotori sungai karena pupuknya bisa menyebar.
Semua pihak
Penyelamatan DAS memerlukan kerja sama semua pihak. Yang bertanggung jawab tidak hanya forum DAS. Penyelamatan sungai juga memerlukan kebijakan dari Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan dan Energi, serta Dinas Kehutanan. Di satu sisi, Walhi turut berperan mengawasi, memberikan penyadaran masyarakat, serta mendampingi jika ada kasus yang dapat merusak sub DAS.
Guru Besar Fakultas Pertanian Magister Ilmu Lingkungan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Gusti Anshari menuturkan, Kapuas kaya keanekaragaman hayati. Di situ juga terdapat bahan-bahan tambang, misalnya emas. Kondisi Kapuas tidak lepas dari bentang alam di sekitarnya yang terdiri dari hutan dan gambut. Di saat kawasan hutan dan gambut di sekitarnya sudah rusak, sistem hidrologi di Kapuas turut terganggu.
”Melihat sungai, harus dilihat bentang alam di sekitarnya juga. Jika gambut dan hutannya rusak, tidak bisa menyimpan air. Dengan kondisi bentang alam yang rusak, air semuanya masuk ke sungai,” katanya. Selain itu, saat musim kemarau debit air cepat berkurang. Kalau musim hujan, air sungai cepat naik. Hal itu karena kondisi bentang alamnya tidak mendukung lagi. Apalagi, dahulu pernah ada penebangan kayu liar serta konversi lahan.
Dengan kondisi itu, menurut dia, perencanaan tata ruang DAS menjadi penting. Perlu ada kejelasan mana kawasan yang dibuka dan yang harus dikonservasi. Perizinan yang tidak sesuai peruntukan lahan dihentikan. ”Sungai penting diselamatkan karena banyak masyarakat yang bergantung dari sungai, khususnya dalam usaha perikanan,” ujarnya.
Upaya penyelamatan DAS perlu dibarengi dengan sosialisasi kepada warga dan penegakan hukum. Pada saat yang sama, kearifan lokal menjaga lingkungan bisa direplikasi. Misalnya, penerapan hukum adat untuk menjaga kelestarian danau dan sungai. Semua langkah itu diperlukan untuk pemulihan DAS yang kritis di wilayah Kalbar.