Penggunaan Rokok Elektronik Bukan Solusi untuk Menghentikan Kebiasaan Merokok
Banyak cara dilakukan perokok aktif untuk menghentikan kebiasaan merokok. Menghentikan kebiasaan ini dengan mengonsumsi rokok elektronik tidak menyelesaikan masalah karena mengandung nikotin dan karsinogen.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebiasaan merokok bisa dihentikan melalui beberapa tindakan medis. Langkah ini tidak bisa dilakukan dengan mengonsumsi rokok elektronik. Sebab, rokok elektronik dianggap mengandung nikotin dan karsinogen yang sama bahayanya dengan rokok konvensional.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan layanan kesehatan di sekitarnya jika ingin berhenti merokok. Layanan kesehatan seperti puskesmas bisa menjadi alternatif dalam memberikan bantuan konseling dan psikoterapi tanpa obat.
”Kalau niat berhenti merokok, masyarakat bisa datang ke layanan primer, seperti puskesmas, yang sudah melayani program berhenti merokok di sana,” katanya di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Untuk fase lanjutan, masyarakat bisa berkonsultasi dengan dokter spesialis paru-paru di rumah sakit. Di sana, masyarakat bisa mendapatkan terapi tambahan dan obat-obatan berhenti merokok yang sudah direkomendasikan. Konsumsi obat tersebut berhenti setelah kebiasaan merokok juga terhenti.
”Beberapa obat yang direkomendasikan seperti vareniklin, bupropion, atau nicotine replacement therapy (NRT). Relatif tidak mahal, Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan,” katanya.
Menurut Agus, obat berhenti merokok hanya bisa diberikan oleh para dokter spesialis paru-paru yang telah mendapatkan pelatihan berhenti merokok. Saat ini setidaknya sudah ada 100 dokter spesialis paru-paru yang dilatih oleh PDPI. Adapun program berhenti merokok biasanya berlangsung selama tiga bulan.
”Cara yang ditempuh juga bisa melalui hipnoterapi atau akupuntur. Modalitas yang dilakukan bisa disesuaikan dengan layanan yang tersedia di rumah sakit,” ujarnya.
Agus menjelaskan, selama ini masyarakat yang hendak berhenti merokok kesulitan untuk mengatasi rasa ketagihan mereka. Program berhenti merokok berfungsi untuk mengatasi kesulitan tersebut. Dengan begitu, risiko penyakit yang mungkin muncul juga secara tidak langsung ikut menurun.
Bahkan, Agus menilai, jika perokok mampu berhenti merokok selama sepuluh tahun, risiko penyakit kanker hampir mirip dengan orang yang tidak pernah merokok. Artinya, semakin dini orang berhenti merokok, risiko penyakit di paru-paru atau jantung akan berkurang drastis. ”Secara fisiologis, kalau kita berhenti merokok, racun dalam paru-paru akan luruh. Tubuh akan melakukan eliminasi asalkan belum menjadi penyakit,” katanya.
Kendati demikian, Agus mengingatkan bahwa program berhenti merokok belum dipastikan 100 persen berhasil. Baik di Indonesia maupun di luar negeri, keberhasilannya diklaim sekitar 50 persen. Menurut dia, keberhasilan dipengaruhi oleh empat faktor, yakni adiksi, putus nikotin, perilaku, dan lingkungan. Dua faktor terakhir dinilai paling menentukan.
Kandungan sama
Penggunaan rokok elektronik untuk membantu kebiasaan merokok masyarakat dinilai kurang tepat. Agus menilai, rokok elektronik memiliki beberapa persamaan dengan rokok konvensional. Keduanya sama-sama memiliki kandungan nikotin di dalamnya.
Kandungan nikotin tersebut memberikan dampak ketagihan dan dampak jangka panjang yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskular. Selain itu, di dalam nikotin juga terdapat nitrosamin, yakni senyawa karsinogen yang dapat memicu kanker. Hal ini sekaligus menjadi persamaan lain antara rokok elektronik dan rokok konvensional. ”Studi-studi di luar negeri banyak membuktikan bahwa rokok elektronik mengandung karsinogen seperti halnya rokok konvensional dalam tarnya,” ujarnya.
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menilai, keberadaan industri rokok elektronik di Indonesia adalah bentuk dari ekspansi bisnis rokok elektronik global. Bersama Korea Selatan dan Filipina, Indonesia menjadi sasaran ekspansi dari perusahaan rokok elektronik raksasa asal Amerika Serikat. ”Padahal, mereka dilarang mendirikan kios rokok elektronik di negara asalnya. Tetapi, di Indonesia ada banyak kios mereka,” ujarnya.
Menurut Abdillah, Asia menjadi sasaran ekspansi mereka lantaran 60 persen perokok konvensional ada di benua ini. Adapun Indonesia dipilih karena 65 persen laki-lakinya merupakan perokok. ”Sebelum mereka masuk ke dalam sebuah negara, mereka akan mempelajari negara tersebut dengan baik,” lanjutnya.
Abdillah mendorong pemerintah lebih tegas melindungi warga negaranya dari pengaruh rokok elektronik. Terlebih, saat ini di kalangan anak remaja kemunculan rokok elektronik tengah menjadi tren meski harganya relatif mahal.
Pengguna ganda
Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Komnas Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo mengatakan, keberadaan rokok elektronik tidak semata-mata mengganti penggunaan rokok konvensional oleh masyarakat. Justru banyak warga masyarakat yang menjadi pengguna keduanya. ”Para remaja tingkatannya lebih banyak. Dalam dua tahun, penggunanya meningkat dari 1,2 persen pada 2016 menjadi 10,9 persen pada 2018,” ungkapnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Cut Putri Arianie mengatakan, Kemenkes tidak dapat melarang peredaran rokok elektronik di pasaran. Dibutuhkan peran dari banyak pihak untuk mengendalikan atau melarang penggunaan rokok elektronik tersebut di dalam negeri. ”Kemenkes sendiri konsisten melarang peredaran suatu produk yang belum terbukti aman untuk dikonsumsi,” ujarnya.
Menurut Cut, kampanye atau edukasi melawan penggunaan rokok konvensional ataupun rokok elektrik selama ini sudah digalakkan. Meski begitu, ia mengakui, kampanye atau iklan rokok jauh lebih menarik minat masyarakat ketimbang yang mereka lakukan.