Masalah di wilayah bekas pertambangan terjadi sebagai akibat lemahnya pengawasan serta penegakan aturan. Karena itu, sejumlah instansi di daerah berjanji untuk meningkatkan pengawasan dan memperkuat penegakan hukum.
Oleh
Jumarto Yulianus, Sucipto, dan Rhama Purna Jati
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Berbagai masalah di wilayah bekas pertambangan terjadi sebagai akibat lemahnya pengawasan serta penegakan aturan. Karena itu, sejumlah instansi di daerah berjanji untuk meningkatkan pengawasan dan memperkuat penegakan hukum.
Lemahnya pengawasan dan penindakan itu juga disoroti Ombudsman RI. Masalah terkait reklamasi tambang, menurut Ombudsman RI, Selasa (14/1/2020), diperparah dengan pembiaran terhadap praktik penambangan ilegal.
Terkait peningkatan pengawasan wilayah bekas tambang, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur Wahyu Widhi Heranata mengatakan, tahun ini dana untuk inspektur tambang Kaltim yang mengawasi perusahaan ditambah menjadi Rp 1,5 miliar. ”Sebelumnya hanya Rp 650 juta. Tambahan ini memperketat pengawasan dari awal hingga akhir operasi tambang,” jelasnya.
Sayangnya, dari sisi jumlah petugas, masih terjadi kekurangan. Wahyu mengatakan, saat ini terdapat 37 inspektur tambang di Kaltim. Masing-masing inspektur mengawasi 5-6 perusahaan. Padahal, idealnya, seorang inspektur tambang mengawasi 2-3 perusahaan.
Selain itu, guna menghindari terulangnya kerusakan akibat tambang, menurut Wahyu, izin pertambangan di Kaltim pada masa mendatang akan lebih memperhatikan tata ruang di lokasi konsesi. Pembenahan ditempuh dengan menyeleksi ketat dokumen izin.
Bagi wilayah yang sudah terlanjur dikepung tambang, akan diperhatikan proses pemulihannya sehingga sesuai rencana kegiatan reklamasi dan pascatambang perusahaan. “Pengawasan pascatambang bakal diperketat dengan melihat apakah sesuai dengan rencana reklamasi dan pascatambang perusahaan itu,” ujar Wahyu.
Hingga akhir 2018, berdasarkan hasil pemantauan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terdapat 3.092 lubang bekas tambang batu bara yang belum direhabilitasi. Kaltim memiliki jumlah titik bekas tambang terbanyak. Di provinsi ini, ada 1.735 lubang bekas tambang. Kalsel menempati urutan kedua dengan 814 lubang, diikuti Sumatera Selatan (163 lubang), Kalimantan Tengah (163), serta Jambi (59).
Di sejumlah area bekas tambang, dijumpai lubang bekas galian yang belum ditutup dan terisi air berwarna kehijauan. Lubang ini antara lain mengancam jalan warga, seperti ditemukan di Desa Makmur Mulia, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel (Kompas, 13/1/2020).
Sulit melacak
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalsel Hanifah Dwi Nirwana mengakui, pertambangan yang telah berakhir menyisakan banyak lubang bekas tambang. Pelaksanaan reklamasi dan rehabilitasi area bekas tambang seharusnya tetap menjadi kewajiban perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). ”Kenyataannya, saat ini, cukup sulit melacak keberadaan perusahaan yang bertanggung jawab atas reklamasi karena banyak IUP berakhir sebelum pengalihan kewenangan dari kabupaten ke provinsi,” kata Hanifah saat dihubungi, Senin lalu.
Menurut dia, pemprov juga kesulitan melakukan reklamasi dengan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang yang ditempatkan perusahaan tambang pada pemerintah kabupaten karena nilainya sangat kecil. ”Nilainya tak sesuai dokumen reklamasi dan pasca-tambang,” ujar Hanifah.
Sejak kewenangan atas pertambangan dilimpahkan dari kabupaten ke provinsi dan berlaku efektif pada 1 Januari 2017, Pemprov Kalsel mematok besaran jaminan reklamasi mulai dari Rp 90 juta sampai Rp 110 juta per hektar (ha). Saat kewenangan pertambangan masih berada di pemerintah kabupaten, besaran dana hanya Rp 15 juta- Rp 20 juta per ha.
Kepala Seksi Pembinaan dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Hasanudin, mengatakan, dalam kenyataannya, banyak proses reklamasi yang tak optimal di provinsi itu karena lahan bekas tambang digunakan lagi oleh masyarakat untuk mencari sisa-sisa tambang timah. Perambahan terjadi karena hasil rehabilitasi area bekas tambang dirasakan tak memberi keuntungan ekonomi bagi warga sekitar.
Zaiwan, warga Desa Namang, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka belitung, menyatakan telah merehabilitasi 18 hektar dari 21 hektar lahan bekas tambang miliknya. Rehabilitasi dilakukan dengan menanam pohon singkong, pelawan, kayu putih, lada, dan tanaman lainnya. Ia mengeluarkan dana sekitar Rp 80 juta untuk mereklamasi dan merahibilitasi lahan bekas tambang. Selain menggunakan dana sendiri, Zaiwan dibantu sejumlah pihak untuk mereklamasi lahan bekas tambang.
Proses sulam, mengganti tanaman lama dengan tanaman baru, berkali-kali dijalaninya karena tak mudah bagi tanaman untuk hidup di tanah bekas tambang. “Butuh usaha ekstra menanam pohon di lahan bekas tambang,” kata Zaiwan.
Dalam rilis yang diterima Kompas, Selasa (14/1/2020), anggota Ombudsman RI La Ode Ida mengingatkan pemerintah pusat maupun daerah untuk menegakkan ketentuan terkait reklamasi pascatambang. Menurut dia, selama ini, kewajiban hukum dianggap hanya sebatas pada penempatan dana jaminan reklamasi pasca tambang, belum sampai pada pelaksanaan serta keberhasilan reklamasi dan pascatambang.
La Ode menyatakan, pengawasan pemerintah juga tidak efektif. Pemeriksaan lapangan tak dilakukan rutin dengan alasan keterbatasan anggaran serta SDM. Pembiaran aktivitas ilegal pun terjadi. Selain itu, koordinasi pengawasan, terutama dalam hal reklamasi pascatambang, lemah. Hal lain yang juga menyebabkan masalah di wilayah bekas tambang ialah penegakkan sanksi yang tidak tegas.