Menggugat Keserentakan Pemilu
Permohonan uji materi yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atas keserentakan pemilu memantik lagi wacana desain pemilu demokratik yang konstitusional. Pemilu 2019 lalu jadi titik tolak evaluasi.

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini (kanan) bersama Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari (kiri) menyampaikan keterangan terkait permohonan pengujian UU Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (12/11/2019).
JAKARTA, KOMPAS – Permohonan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atas keserentakan pemilu memantik kembali wacana mengenai desain pemilu demokratik yang konstitusional. Penyelenggaraan Pemilu 2019 menjadi titik tolak evaluasi atas pemilu serentak lima kotak yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 lalu.
Perludem yang diwakili oleh Titi Anggraini selaku direktur eksekutif, berharap MK mempertimbangkan benar-benar faktor implementasi dan permasalahan yang terjadi di dalam penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak. Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan Pasal 3 Ayat (1), Pasal 201 Ayat (7), dan Pasal 201 Ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
“Kami optimistis dengan argumen hukum kami, sebab kami tidak hanya mendasarkan pada Pasal 22 E Ayat (2) UUD 1945, tetapi juga melihat praktik pemilu serentak sebagai bagian dari desain tata kelola pemerintahan daerah sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 UUD 1945,” kata Titi, Rabu (15/1/2020) di Jakarta.
“Kami optimistis dengan argumen hukum kami, sebab kami tidak hanya mendasarkan pada Pasal 22 E Ayat (2) UUD 1945, tetapi juga melihat praktik pemilu serentak sebagai bagian dari desain tata kelola pemerintahan daerah sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 UUD 1945”
Pemohon merujuk sejumlah kesulitan praktikal yang ditemui penyelenggara dalam pemilu serentak sebagai contoh dari kurang efektifnya pemilu serentak lima kotak. Waktu pencoblosan di dalam bilik suara yang lebih lama, serta tingginya suara tidak sah menjadikan pemilu serentak itu justru jauh dari tujuan pemilu. Banyaknya suara tidak sah mengindikasikan suara rakyat tidak optimal tersalurkan melalui pemilu.

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini (kanan) bersama Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari (tengah) didampingi kuasa hukum Fadli Ramadhanil (kiri) menyampaikan keterangan terkait permohonan pengujian UU Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (12/11/2019). Pokok persoalan di dalam permohonan ini adalah, meminta agar frasa "atau sudah/pernah kawin" sebagai salah satu syarat pemilih dihapuskan di dalam UU Pilkada.
Baca Juga: Evaluasi Pemilu Serentak 2019
Dalam hasil rekapitulasi nasional yang ditetapkan KPU, 21 Mei 2019, jumlah suara sah dan tidak sah dalam Pemilu Presiden (pilpres) 2019 ialah 158.012.506 suara. Jumlah suara tidak sah mencapai 3.754.905 suara, atau 2,37 persen dari total suara dah dan tidak sah. Jumlah suara tidak sah itu bahkan lebih besar untuk Pemilu Legislatif (pileg) 2019, yakni 17.503.953 suara, dari total 157.475213 suara sah dan tidak sah.
Di sisi lain, kesulitan teknis yang dialami penyelenggara, seperti keterlambatan distribusi logistik, membuat secara praktikal pemilu lima kotak ini memberikan beban berat kepada penyelenggara, sehingga hak-hak pemilih turut terciderai. Dari catatan Kompas, kesulitan distribusi logistik antara lain terjadi di Papua, Papua Barat, Jambi, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Selatan.
Data lain yang menonjol dalam penyelenggaraan pemilu serentak ialah kematian ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada tahun lalu. Sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara dari keterangan pers yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, sebanyak 527 anggota KPPS meninggal dunia. Penyebab kematian mereka bervariasi, kendati diakui beban kerja yang berat turut memperbesar risiko kematian para petugas tersebut.
Kajian lintas disiplin yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan kematian sebagian besar petugas dikarenakan penyakit kardiovaskular. Dalam keterangan pers yang digelar di kantor KPU, 25 Juni 2019, anggota tim peneliti Abdul Gaffar Karim membantah ada penyebab lain di luar penyebab alami, misalnya, karena diracun, atau sabotase tertentu yang dimaksudkan untuk mengganggu jalannya pemilu.
Kajian UGM ini menangkal rumor yang berkembang tentang banyaknya petugas yang meninggal dunia dikarenakan sebab-sebab yang tidak alami. Kajian tersebut sekaligus mengonfirmasi beratnya beban pekerjaan yang dialami oleh petugas dapat memicu penyakit kariovaskular yang sejak semula berpotensi diderita oleh mereka.
Sejumlah persoalan teknis dan praktikal ini melandasi pemohon meminta MK untuk meninjau kembali tafsir keserentakan pemilu di dalam konstitusi. Terkait hal ini, Pasal 22 E Ayat (2) berbunyi, “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini (kanan) dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Ilham Saputra (tengah) saat merilis 14 caleg mantan terpidana korupsi yang belum diumumkan ke publik di Kantor KPU, Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Pasal tersebut antara lain yang dijadikan rujukan MK dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengatur pemilu diselenggarakan serentak lima kotak, sesuai dengan maksud asli (original intent) pengubah konstitusi.
Pemohon pada intinya meminta MK untuk tidak hanya berpatokan pada Pasal 22 E Ayat (2) dalam menafsirkan konstitusionalitas pemilu serentak. Sebab, konstitusi juga mengatur pula adanya urusan pemerintahan daerah (pemda) di dalam Pasal 18 UUD 1945. Dengan demikian, pemilu tidak hanya memilih penyelenggara urusan pemerintahan pusat atau nasional, tetapi juga untuk memilih penyelenggara urusan pemerintahan daerah atau lokal.
"Dengan kata lain, terdapat dua jenis pemilu, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk memilih presiden, DPR, dan DPD. Adapun pemilu lokal untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD"
Dengan kata lain, terdapat dua jenis pemilu, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk memilih presiden, DPR, dan DPD. Adapun pemilu lokal untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD. Penyelenggaraan kedua jenis pemilu ini pun tidak berbarengan, atau ada jeda waktu tertentu.
Baca Juga: Menata Ulang Pemilu Serentak
Dua ahli yang dhadirkan pemohon dalam sidang MK Senin (13/1/2020) lalu, yakni pengajar hukum tata negara (HTN) Universitas Andalas Khairul Fahmi, dan pendiri Perludem Didik Supriyanto, pada dasarnya sepakat pilpres dan pileg diselenggarakan serentak. Namun, mereka memberi catatan khusus terkait dengan pemilu serentak yang menyertakan pula pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Fahmi mengatakan, keserentakan pemilu harus dipertahankan pada tataran nasional, sebab pemilu serentak antara pilpres dan pileg selaras dengan semangat penguatan sistem presidensial. Namun, seharusnya pemilu serentak nasional itu tidak menyertakan pemilihan anggota DPRD.
Ahli lainnya, Didik Supriyanto menilai, pemilu serentak nasional dan lokal akan menutup kesempatan kontrol bagi pemilih. Pemilih hanya memiliki satu kesempatan dalam lima tahun untuk sekaligus menentukan siapa yang akan duduk di jabatan publik, baik legislatif maupun eksekutif di tingkat lokal maupun nasional. Bila ada pemisahan pemilu lokal dan nasional, pemilih bisa memberikan “hukuman” kepada peserta pemilu yang mereka pilih di tingkat nasional bilamana mereka tidak melaksanakan janji-janjinya.

Diskusi Bahas Perempuan - Diskusi dengan mengambil tema \'Seleksi Penyelenggara Pemilu dan Upaya Mewujudkan Komitmen Afirmasi Keterwakilan Perempuan; berlangsung di Jakarta, Minggu (10/6/18). Hadir sebagai pembicara (dari kiri ke kanan) Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Ketua Bawaslu Abhan Misbah, pegiat Pemilu Wahidah Suaib dan Direktur Komite Pemantau Legislatif Syamsuddin Alimsyah.
“Pemilih bisa memberikan kontrol dalam pemilu lokal, yakni dengan tidak lagi memilih peserta pemilu yang tidak melaksanakan janji-janjinya. Hal ini bisa mengatasi kelemahan sistem presidensial di mana eksekutif berpotensi menyalahgunakan kekuasaaan karena model jabatan yang fixed term (masa jabatan yang pasti),” kata Didik.
Perdebatan lama
Persoalan keserentakan pemilu pun sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Sebelum memutus soal pemilu serentak lima kotak, MK juga menyatakan pemilu yang terpisah antara pilpres dan pileg juga konstitusional.
Pemilu serentak pun sebenarnya sudah pernah disinggung dalam Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008. Permohonan ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, dan Partai Republika Nusantara. Saat itu, mereka memohon pengujian Pasal 9 UU Pilpres terkait ambang batas presiden, dan Pasal 3 ayat (5) terkait pelaksanan pilpres yang dilaksanakan setelah pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD).
"MK dalam putusan itu antara lain menilai penyelenggaraan pileg yang tidak bersamaan pilpres, adalah bentuk dari konvensi ketatanegaraan. Penyelenggaraan pileg yang terpisah atau lebih dulu dari pilpres ketika itu dimaknai tidak bertentangan dengan konstusi"
Dalam putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, MK menolak permohonan pemohon. MK dalam putusan itu antara lain menilai penyelenggaraan pileg yang tidak bersamaan pilpres, adalah bentuk dari konvensi ketatanegaraan. Penyelenggaraan pileg yang terpisah atau lebih dulu dari pilpres ketika itu dimaknai tidak bertentangan dengan konstusi.
Namun, terdapat tiga hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar. Ketiganya berpendapat MK seharusnya mengabulkan permohonan pemohon, karena bila konsisten mengikuti original intent dari penyusun atau pengubah konstitusi, Pasal 22 E secara eksplisit menerangkan penyelenggaraan pemilu serentak, yakni antara pemilu presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Dari pendapat tiga hakim itu, disinggung pula adanya pendapat yang berkembang di masyarakat untuk penyederhanaan pemilu, yang diungkapkan oleh sejumlah politisi, termasuk Jusuf Kalla. Usulan itu termasuk agar pemilu serentak dapat digelar di tingkat nasional yakni DPR, DPD dan dan Presiden serta Wakil Presiden. Sedangkan, pemilu serentak tingkat daerah untuk memilih calon anggota DPRD dan kepala daerah.

Sekalipun tidak secara eksplisit mendukung adanya pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal, tiga hakim MK itu menyebutkan sejumlah usulan penyederhanaan pemilu yang berkembang di masyarakat. Perbedaan pendapat tiga hakim itu dengan enam hakim lainnya juga menunjukkan variasi penafsiran hakim terhadap konstitusi terkait dengan keserentakan pemilu. Enam hakim MK ketika itu menyatakan pileg dan pilpres yang dipisah tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pada putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, pendapat MK “bergeser,” karena dalam putusannya, MK mengatakan pemilu yang konstitusional itu ialah pemilu serentak, sesuai dengan maksud asali pembuat atau pengubah UUD. Pemilu serentak itu dimaknai dengan pemilu lima kotak, yakni memilih presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Lebih jauh Titi mengatakan, perdebatan sejak lama mengenai makna keserentakan pemilu itu menunjukkan tafsir MK terhadap konstitusi dapat bergeser atau berubah. Faktor-faktor praktikal, dan tidak semata-mata normatif dalam melihat suatu pelaksanaan UU, pada dasarnya juga dilihat dan dipertimbangkan oleh MK. Dengan demikian, permohonannya agar MK memberikan tafsir pemisahan pemilu lokal dan pemilu nasional, bukan sesuatu yang tidak mungkin dikabulkan.
Dalam beberapa putusan MK terakhir, mahkamah dinilai sangat mempertimbangkan kelogisan dan kemampuan pengaturan pemilu terhadap pemenuhan asas pemilu khususnya asas jujur dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Putusan MK mengenai jumlah panitia pemilihan kecamatan (PPK), misalnya, MK masuk ke dalam persoalan teknis. MK beralasan jumlah anggota PPK yang hanya tiga di pemilu serentak 5 surat suara adalah tidak logis dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang adil sebagaimana diamantkan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.
“Putusan MK soal pencalonan mantan napi di pilkada (Putusan MK No 56/PUU-XVII/2019) juga menjadi yurisprudensi bagaimana MK mempertimbangkan praktik hukum, sosial, dan politik yang ada di masyarakat sebagai dasar untuk mengubah putusan yang mereka pernah buat sebelumnya,” kata Titi.

Sembilan hakim kontitusi dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) dalam salah satu sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Jalan perubahan
Dari kacamata lain, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengatakan, desain dan sistem pemilu idealnya tidak terus berubah-ubah. Dengan demikian ada waktu bagi penyelenggara dan pemilih untuk menyesuaikan diri dengan desain pemilu. Pemilu serentak antara pilpres dan pileg, baru pertama kali dilakukan pada 2019. Oleh karena itu, sebenarnya untuk mengubah desain pemilu itu dinilai terlalu cepat. Namun, kalau toh mau diubah, harus dipahami setiap desain atau sistem pemilu pasti memiliki kekurangan.
Baca Juga: Pemisahan Pemilu Serentak Mendesak
Terkait pemilu serentak, August pada dasarnya lebih setuju adanya pemisahan antara pemilu lokal dan pemilu nasional. Namun, bagaimana cara desain itu diwujudkan, apakah melalui uji materi di MK ataukah melalui amandemen konstitusi, itu dua hal yang sama-sama terbuka untuk dilakukan.
“Idealnya ialah melalui amandemen konstitusi, sebab Pasal 22 E Ayat (2) menyatakan secara eksplisit pemilu serentak lima kotak. Tetapi menyangkut tafsir konstitusi tentu bisa bermacam-macam. Pertanyannya, apakah MK mau menggeser tafsir atas konstitusi tersebut,” kata August.

Para hakim konstitusi bersiap membacakan putusan dalam sidang putusan perkara nomor 56/PUU-XVII/2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (11/12/2019). Dalam sidang itu, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yang diajukan oleh dua lembaga swadaya masyarakat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). MK menyatakan bahwa mantan narapidana harus menunggu selama 5 tahun setelah bebas jika ingin maju Pilkada.
“Idealnya ialah melalui amandemen konstitusi, sebab Pasal 22 E Ayat (2) menyatakan secara eksplisit pemilu serentak lima kotak. Tetapi menyangkut tafsir konstitusi tentu bisa bermacam-macam. Pertanyannya, apakah MK mau menggeser tafsir atas konstitusi tersebut”
Bilamana MK tidak mengubah pandangannya mengenai pemilu serentak lima kotak, jalan lain yang bisa ditempuh ialah amandemen konstitusi. Perubahan pada Pasal 22 E Ayat (2) mengenai makna pemilu dan desain pelaksanaannya akan memberikan kepastian tafsir atas desain pemilu yang diinginkan oleh konstitusi.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menambahkan, MK tidak jarang mengubah pandangannya atas suatu perkara, atau menafsirkan sesuatu yang belum diatur di dalam konstitusi. Sebagai contohnya ialah tafsir MK terhadap Pasal 24C Ayat (1) yang menyatakan MK menguji UU terhadap UUD. “Pasal itu juga “saklek” sebenarnya, namun MK membuat putusan bahwa MK juga bisa menguji perppu (peraturan pemerintah penganti undang-undang),” katanya.
Contoh lain ialah ketentuan mengenai pilpres dua putaran bila suara minimal 20 persen di setengah jumlah provinsi tidak terpenuhi, dimaknai berbeda oleh MK. MK memaknai ketentuan di dalam konstitusi itu tidak berlaku dalam hal hanya ada dua pasangan calon. Padahal, menurut Bayu, konstitusi tidak mensyaratkan adanya pembatasan jumlah pasangan calon bagi berlakunya ketentuan tersebut.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono mengatakan, MK tidak tertutup kemungkinan mengubah pandangannya atas suatu perkara. “Prinsipnya, tidak ada larangan bagi MK mengubah putusan dengan argumentasi konstitusional yang jelas di dalam putusannya. Misalnya, karena ada perkembangan hukum baru yang menurut MK dipandang relevan. Konsistensi bagi MK dalam putusan itu penting, namun bukan sebuah kemutlakan. Itulah wujud living constitution untuk menemukan keadilan,” ujarnya.

Sidang pembacaan putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (11/12/2019)