Indonesia harus memiliki kebijakan energi berkelanjutan dan konsisten melaksanakan bila ingin mencapai tujuan menjadi negara kaya pada 2045.
Oleh
·2 menit baca
Ketersediaan energi menjadi syarat tidak dapat ditawar untuk menjadi negara maju. Pasokan energi berkelanjutan dan berdaya saing harus terus diupayakan melalui pencarian sumber-sumber energi baru dan berkelanjutan.
Harian ini melaporkan, Selasa (14/1/2020), kondisi hulu minyak dan gas bumi (migas) kita makin kritis. Produksi siap jual (lifting) kedua sumber energi itu terus merosot sejak 2016. Pada 2019, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, lifting minyak dan gas pada 2019 adalah 746.000 barel dan 1.060 barel setara minyak bumi per hari, di bawah target 775.000 barel dan 1.250 barel setara minyak.
Indonesia masih mengandalkan minyak dan gas bumi serta batubara sebagai sumber utama energi primer. Dalam rencana Kebijakan Energi Nasional, sumber energi fosil masih berperan 75 persen dan sisanya dari energi baru dan terbarukan (EBT). Pada tahun 2050, peran energi fosil masih 69 persen.
Produksi minyak bumi kita saat ini 800.000 barel per hari, sementara konsumsi 1,5 juta barel. Konsumsi elpiji sekitar 7 juta ton per tahun dan separuh di antaranya harus diimpor.
Pemerintah terus berupaya menurunkan penggunaan energi fosil, terutama yang berasal dari minyak bumi. Indonesia telah menjadi pengimpor neto minyak mentah dan menyebabkan defisit neraca perdagangan migas. Penggunaan bahan bakar nabati, seperti minyak sawit, terus ditingkatkan sebagai campuran minyak diesel.
Sebagai negara pengimpor minyak mentah, Indonesia menghadapi risiko fluktuasi harga di pasar internasional dan kepastian pasokan. Ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran membuat harga minyak mentah fluktuatif. Muncul kekhawatiran ketegangan meningkat menjadi perang meskipun sejumlah pihak meminta kedua negara menahan diri.
Di dalam negeri, upaya meningkatkan produksi dengan mencari sumber baru minyak dan gas bumi sempat tidak berkembang karena pemerintah pada 2017 menerapkan sistem bagi hasil bruto (gross split) dalam lelang wilayah baru. Sistem yang bertujuan memberi pemasukan lebih besar bagi negara tersebut tidak menarik bagi investor. Sumber migas Indonesia kini berada di kawasan yang lebih sulit dijangkau sehingga biaya eksplorasi dan penambangan lebih mahal.
Sekarang pemerintah membolehkan lagi investasi dengan sistem biaya produksi dapat dipulihkan (cost recovery). Peraturan yang berubah-ubah seperti ini tidak cocok untuk menarik investasi padat modal dan berisiko tinggi, seperti industri migas.
Kepastian peraturan dan kontrak adalah hal yang tidak dapat ditawar bila kita ingin ada investasi hulu migas. Pemerintah juga dituntut segera menyederhanakan birokrasi. Hal serupa harus pula dilakukan untuk mendorong investasi EBT karena Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.