Dinamika Petahana dalam Pilkada
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana memiliki peluang kemenangan lebih besar dibandingkan penantangnya. Pemilihan kepala daerah yang diikuti petahana cenderung memberikan insentif elektoral kepada mereka. Tak heran, partai politik cenderung menempatkan petahana sebagai kandidat prioritas.
Fenomena serupa juga diprediksi akan terjadi di pemilihan kepada daerah serentak tahun ini. Pilkada 2020 berpotensi akan diramaikan kontestan dari petahana. Dari 270 pilkada, ada 128 kepala daerah petahana yang memiliki tiket untuk maju kembali di pilkada tahun ini karena baru satu periode menjabat.
Dari 128 kepala daerah petahana tersebut, 119 orang diusung koalisi partai politik di Pilkada 2015. Sisanya, lima kepala daerah diusung partai politik tunggal, sedangkan delapan kepala daerah melalui jalur perseorangan (nonpartai).
Kini, di Pilkada 2020 mereka berpeluang maju kembali untuk mempertahankan kursinya. Pengalaman sejak pilkada pertama 2005 menunjukkan, jarang kepala daerah petahana tidak memanfaatkan peluangnya untuk maju kembali. Bahkan, ketika petahana tak mendapat tiket partai politik pun, mereka tetap berlaga di pilkada melalui jalur perseorangan atau independen nonpartai.
Pengalaman sejumlah kepala daerah saat Pilkada 2015 memperkuat fakta itu. Tengok saja Pilkada Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur 2015. Rita Widyasari memenangi pilkada bupati melalui jalur perseorangan. Padahal, di pilkada sebelumnya (2010) Rita diusung koalisi Partai Golkar, Demokrat, dan 10 partai politik.
Tengok pula Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Jimmy Feidie Eman yang memenangi Pilkada 2015 lewat jalur perseorangan. Di Pilkada 2010, Eman memenangi pilkada diusung koalisi Golkar, Hanura, dan Gerindra. Serupa dengan pilkada Bupati Rembang, Jawa Tengah, yang dimenangkan Abdul Hafidz. Pada Pilkada 2010 Hafidz diusung Partai Demokrat, sementara di Pilkada 2015 ia mempertahankan kursinya melalui jalur nonpartai.
Bagaimanapun harus diakui, petahana memiliki peluang dan potensi yang lebih besar ketimbang pesaingnya. Mengingat, biasanya petahana lebih populer, dan tentu diiringi elektabilitas yang memadai karena selama satu periode menjabat ia sudah dikenal warganya. Setidaknya sebagai kepala daerah, saat menjalankan program-program kerja pemerintah, secara tidak langsung petahana membangun modal sosial di mata masyarakat.
Merujuk pelaksanaan Pilkada 2015, dari 269 daerah yang melaksanakan pilkada saat itu, tercatat 214 daerah dengan petahana kembali menjadi kontestan. Artinya, ada 81,4 persen pilkada yang digelar saat itu diramaikan petahana. Mereka maju, baik sebagai pasangan petahana lama, maju tapi pecah kongsi alias dengan pasangan baru, maupun hanya salah satu yang maju di pilkada.
Hasil Pilkada 2015 menunjukkan kekuatan modal sosial petahana. Dari 269 pilkada pada 2015, mayoritas dimenangi petahana. Catatan Litbang Kompas merekam, dari 238 petahana yang maju berlaga di pilkada tersebut, 132 petahana (55,5 persen) menang. Sebaliknya, jumlah kandidat dari kalangan bukan petahana tercatat 493 orang. Dari jumlah tersebut, 385 calon (78,1 persen) gagal di pilkada.
Peluang parpol
Besarnya peluang petahana secara tidak langsung juga membuka peluang bagi partai politik mengusung kembali mereka di pilkada. Jika mengacu hasil Pilkada 2015 dari daerah yang pada tahun ini akan menggelar pilkada, Partai Gerindra tercatat menjadi partai politik yang paling banyak memenangkan petahana yang diusungnya di pilkada itu meskipun sebagian besar dengan berkoalisi.
Partai pimpinan Prabowo Subianto ini memenangkan 50 petahana di Pilkada 2015, baik provinsi maupun kabupaten/ kota. PDI-P di posisi kedua, dengan tercatat mengantarkan kembali petahana merebut kursi kekuasaannya di 45 daerah. Menariknya, Nasdem yang baru dua kali mengikuti pemilu, menempati posisi ketiga partai terbanyak memenangkan petahana di pilkada. Partai ini berhasil mengantarkan 43 petahana merebut kembali kekuasaannya.
Praktis, mayoritas kontestan petahana yang menang di Pilkada 2015 beranjak dari koalisi parpol. Hanya segelintir petahana yang menang diajukan parpol tunggal alias tanpa koalisi. Di Pilkada 2020 ini petahana-petahana yang diusung partai tunggal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi parpol pengusung, apakah ia tetap akan mengusung petahana ini lagi, atau justru petahananya yang lompat pagar mencari parpol lain. Namun, umumnya petahana memiliki jabatan strategis di partai politik yang mengusungnya.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, menduga hal yang sama. Menurut Arya, sebagian besar petahana merangkap jadi pimpinan partai. Posisi merangkap ini memudahkan penerbitan rekomendasi partai kepada siapa tiket pilkada diberikan. Lihat saja Bupati Raja Ampat Abdul Faris Umlati yang di Pilkada 2015 menang diusung secara tunggal Partai Demokrat. Umlati juga Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Papua Barat.
Fenomena serupa ditemui pada kasus Alias Wello. Bupati Lingga, Kepulauan Riau, ini memenangi Pilkada 2015, diusung secara tunggal oleh Partai Nasdem. Wello sebelumnya dikenal sebagai pendiri partai ini di daerah.
Meski tidak menempati posisi puncak di partai, Wello masih tercatat sebagai Ketua DPW Ormas Nasdem Provinsi Kepri. Tentu, di Pilkada 2020, seperti halnya Demokrat di Raja Ampat dan Nasdem di Lingga ini, sedikit banyak akan berpeluang mengusung kembali petahana yang pernah diusungnya tersebut.
Menurut Arya, tingginya potensi kemenangan petahana dapat memperkecil peluang munculnya kompetitor kuat di tingkat lokal. ”Partai politik menjadi pragmatis dengan mengusung calon berpotensi menang seperti petahana,” ujarnya.
Bagaimanapun, petahana lebih diuntungkan untuk dilirik partai karena memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi. Selain itu, mereka juga punya akses kepada sumber pendanaan politik serta kepastian basis politik dengan kemampuan menggerakkan publik, birokrasi, dan finansial. Kita tunggu saja. (Litbang Kompas)