Rusia dan Turki Mediasi Dua Kubu Berseteru di Libya
Dua pihak yang bertikai di Libya bertemu di Moskwa untuk membahas detail gencatan senjata, Senin (13/1/2020). Gencatan senjata ini diharapkan bisa diterapkan secara permanen.
Oleh
·3 menit baca
MOSKWA, SENIN— Dua pemimpin kelompok yang bertikai di Libya bertemu di Moskwa, Rusia, Senin (13/1/2020), untuk membahas gencatan senjata setelah hampir satu tahun berperang. Menteri luar negeri dan menteri pertahanan Rusia serta Turki juga turut ambil bagian.
Kedua pemimpin yang bertikai itu adalah Khalifa Haftar, Komandan Tentara Nasional Libya (LNA), dan Fayez al-Serraj yang mengepalai Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli.
Kantor berita Interfax melaporkan, menurut Lev Dengov, pimpinan kelompok kontak Rusia di Libya, kedua pihak akan membahas ”kemungkinan penandatanganan gencatan senjata dan rinciannya”. Akan tetapi, belum jelas apakah keduanya bersedia bertatap muka langsung dalam pertemuan.
Pertemuan tersebut digelar menyusul masih terjadinya serangan udara dan kekerasan di sekitar Tripoli setelah gencatan senjata yang diinisiasi oleh Rusia dan Turki dimulai, Sabtu (11/1/2020). Kedua faksi—satu sama lain—saling menuduh melanggar gencatan senjata.
Usulan gencatan senjata dari Rusia dan Turki muncul di tengah makin dalamnya campur tangan kekuatan asing dalam konflik di Libya.
Pasca-penggulingan Moammar Khadafy, sejak tahun 2014 Libya jatuh ke dalam konflik dari dua ”pemerintahan”, LNA dan GNA. Konflik di antara kedua kekuatan itu menghancurkan ekonomi, memicu penyelundupan migran dan milisi, serta mengganggu pasokan minyak. Usulan gencatan senjata dari Rusia dan Turki muncul di tengah makin dalamnya campur tangan kekuatan asing dalam konflik di Libya.
Pemerintahan LNA di timur didukung oleh Perancis, Rusia, dan negara kunci di Arab, seperti Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Sementara Turki, Italia, dan Qatar mendukung pemerintahan Tripoli.
Di Ankara, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, Ankara sedang berupaya memastikan gencatan senjata di Libya menjadi permanen.
Presiden Rusia Vladimir Putin juga membahas situasi di Libya dengan Kanselir Jerman Angela Merkel yang berkunjung ke Moskwa, Sabtu pekan lalu. Putin menyambut baik rencana Jerman menggelar pertemuan puncak perdamaian Libya awal tahun ini di Berlin.
Kremlin menekankan pentingnya menghormati gencatan senjata dan mendukung rencana pertemuan tingkat tinggi perdamaian Libya di Berlin.
Terkait itu, Putin membahas situasi Libya melalui telepon dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte untuk menggalang dukungan.
”Kami membahas pentingnya mengakhiri eskalasi di lapangan untuk menjamin gencatan senjata yang lama,” kata Conte. ”Untuk menjamin kesatuan, stabilitas, dan kedaulatan Libya, tanpa melibatkan komunitas internasional yang lebih besar, gencatan senjata bisa saja berbuntut pada tindakan berbahaya,” ujar Conte lagi.
Ragu
Upaya sejumlah negara menghadirkan gencatan senjata bahkan perdamaian di Libya ternyata belum mampu membuat rakyat Libya optimistis. Perasaan lega dan skeptis bercampur aduk. ”Gencatan senjata tentu disambut baik, tetapi ongkos yang dikeluarkan besar. Begitu banyak nyawa melayang sia-sia,” kata Maya Barakat, apoteker di Tripoli.
”Saya tak yakin mereka yang telah kehilangan anak, ayah, saudara, atau suami akan begitu saja mengatakan ’baik, ini sudah berakhir, mari kita melanjutkan hidup’,” paparnya. (AP/REUTERS/AFP/ADH)