Kendati dibutuhkan, keberadaan industri tambang kerap menimbulkan masalah, mulai dari praktik penambangan ilegal, konflik agraria, hingga masalah lingkungan. Tak terkecuali, lahan bekas tambang yang tidak terurus.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
·3 menit baca
Bagaikan bom waktu, lubang bekas tambang akan terus menuai masalah. Ratusan nyawa telah menjadi korban lubang bekas penambangan. Lahan bekas tambang juga mencemari lingkungan yang dapat menambah rentetan polemik aktivitas penambangan bagi masyarakat.
Kendati industri pertambangan memang dibutuhkan Indonesia, kehadirannya kerap menimbulkan masalah yang sering kali menemui jalan buntu, mulai dari praktik penambangan ilegal, konflik agraria dengan masyarakat, hingga masalah lingkungan. Tak terkecuali, lahan bekas tambang yang tidak terurus sampai kini menjadi potensi masalah yang lebih luas.
Harian Kompas beberapa kali menyoroti permasalahan bekas lokasi galian yang telantar. Pada 2015, Kompas menemukan ada sekitar 400.000 hektar dari total 1 juta hektar di Provinsi Jambi yang beralih menjadi areal tambang batubara. Ironisnya, lokasi bekas tambang itu tidak disertai dengan pemulihan lingkungan.
Lompat ke pengujung 2018, Kompas mengingatkan kembali pihak-pihak terkait agar serius menangani kasus-kasus kematian anak di lubang bekas tambang di Kalimantan Timur. Sebab, sejak 2011 sudah 32 anak tewas tenggelam. Sementara baru satu kasus saja yang berhasil ditangani hingga vonis pengadilan.
Lebih lanjut, penanganan akibat aktivitas penambangan bukan hanya pada bekas galian yang ditinggalkan, melainkan juga pada efek domino lainnya. Pada November 2019, Kompasmenemukan bayi yang lahir dengan kelainan di kawasan tambang emas rakyat Mandailing Natal, Sumatera Utara. Bayi itu lahir abnormal dengan usus di luar perut atau gastroschisis. Dalam 3-4 tahun terakhir, jumlah kelahiran bayi abnormal di wilayah tersebut sebanyak 7 bayi.
Selain Kompas, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, terdapat 140 korban meninggal akibat lubang galian tambang yang tersebar di 12 provinsi. Sebagian besar korban adalah anak-anak, belum termasuk para korban yang belum berhasil diidentifikasi sepanjang 2014-2018. Di antara 12 provinsi itu, paling banyak korban ditemukan di Provinsi Bangka Belitung dengan total 57 jiwa.
Jumlah korban tersebut tidaklah mengherankan jika disandingkan dengan total lubang galian bekas tambang yang ada di Indonesia. Disebutkan ada 3.092 lubang bekas tambang yang belum dipulihkan kembali. Lebih dari setengah jumlah itu terdapat di Provinsi Kalimantan Timur.
Temuan-temuan di atas hanya mencakup masalah yang ditimbulkan oleh bekas galian tambang yang tidak direklamasi atau ditelantarkan oleh petambang. Belum lagi jika ditambahkan deretan konflik lainnya yang dapat dirunut dari awal keberadaan aktivitas penambangan di suatu lokasi.
Tidak dapat dimungkiri, keberadaan aktivitas penambangan di Indonesia kerap datang sepaket dengan konflik seperti persoalan agraria, masyarakat adat, pencemaran lingkungan, hingga kesehatan bagi masyarakat sekitar.
Sarat konflik
Tragedi meninggalnya Salim alias Kancil di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur, seharusnya menjadi penanda atas mendesaknya persoalan tambang di Indonesia. Pada 2015, Salim dikeroyok hingga tewas oleh sejumlah warga yang mendukung aktivitas penambangan di desanya. Sebelumnya, Salim, salah satu pemilik sawah di sana, bersama teman-temannya dengan gencar menolak adanya aktivitas penambangan pasir ilegal di sana.
Setahun kemudian, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya menerbitkan pernyataan terkait proses pengadilan terhadap pelaku pengeroyokan. KontraS menilai, lembaga negara terkait tidak serius dalam menangani kasus tersebut. Proses persidangan yang memakan waktu lama dan sejumlah kejanggalan menjadi alasan KontraS menyatakan adanya ketidakadilan bagi pihak korban.
Kasus tersebut menjadi salah satu di antara 71 kasus sepanjang 2014-2019 yang dicatat oleh Jatam. Koordinator Jatam, Merah Johansyah, menyebutkan, konflik sosial tersebut terjadi baik antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan, maupun sesama masyarakat sendiri.
Jika dampak buruk akibat tambang dipersempit lagi, para perempuan adalah subyek yang sangat dirugikan tetapi jarang terekspos. Dalam mayoritas budaya adat di Indonesia, perempuan menjadi pihak yang paling dekat bersentuhan urusan domestik (penyediaan pangan dan kebutuhan sehari-hari). Ketika menjalankan peran itulah para perempuan mau tidak mau juga menjadi pihak yang paling terdampak atas pencemaran air akibat aktivitas penambangan.
Lembaga Solidaritas Perempuan menekankan persoalan ini dalam e-bookRealita Pemiskinan Perempuan di Tengah Konflik SDA. Di dalamnya, Solidaritas Perempuan menemukan kasus perempuan mengalami gangguan kesehatan, seperti benjolan-benjolan muncul di daerah payudara, ketiak dan leher, sakit kepala dan gatal-gatal di seluruh tubuh akibat pencemaran Teluk Buyat. Bahkan, seorang ibu meninggal setelah payudaranya pecah yang diduga kuat tercemar logam berat di tubuhnya.
Bukan hanya itu, akibat buruk tambang juga merembet ke persoalan sosial lainnya. Hilangnya mata pencaharian akibat lahan yang hilang sudah banyak tercatat. Parahnya, para perempuan juga rentan pada praktik pelecehan seksual, prostitusi, dan kawin kontrak yang dilakukan oleh para pekerja tambang yang berasal dari luar daerah tersebut.
Berpihak
Dalam bukunya, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi (2010), Haryatmoko mengutip pemikiran filsafat Pierre Bourdieu. Dijelaskan bahwa dalam semua masyarakat selalu ada yang menguasai dan dikuasai.
Posisi tersebut bergantung pada situasi, sumber daya (kapital), dan strategi masing-masing pihak. Namun, dominasi kekuasaan yang menyimpang dalam sebuah sistem sebenarnya dapat dikendalikan.
Hakikatnya, pihak yang seharusnya berkuasa dapat mengembalikan kekuasaannya dengan memanfaatkan situasi, sumber daya, dan tentunya strategi yang dijalankan.
Berkaitan dengan aktivitas penambangan dan rentetan masalah/konflik yang menyertainya, lembaga dan pemerintah terkait seharusnya dapat memanfaatkan instrumen yang ada demi pengawasan yang lebih baik.
Akhirnya, aturan dan ketentuan izin penambangan dari awal hingga akhir sudah tersusun rapi dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Harapannya, lembaga dan pemerintah terkait mampu mengambil alih kekuasaan yang seharusnya demi kepentingan negara, alam, dan masyarakat. Ini perlu dilakukan, agar tak ada lagi korban-korban terperosok di lahan bekas galian tambang. (Litbang Kompas)