Pulihkan Kepercayaan Publik pada Penyelenggara Pemilu
Banyak penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik sepanjang 2019. Hal ini diperparah dengan ditangkapnya komisioner KPU, Wahyu Setiawan, oleh KPK. Kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu harus segera dipulihkan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Komisioner KPU, Bawaslu, dan DKPP hadir dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/2/2020). Rapat membahas persiapan Pilkada 2020. Selain itu, isu-isu aktual seperti tertangkap tangannya komisioner KPU, Wahyu Setiawan, oleh KPK menjadi bahasan dalam rapat tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II DPR mempertanyakan banyaknya penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik. Selain kasus dugaan korupsi yang melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, banyak penyelenggara pemilu di daerah yang terbukti melanggar kode etik. Berkaca pada hal ini, penyelenggara pemilu dituntut untuk memperbaiki diri, apalagi tahun ini pemilihan kepala daerah akan digelar serentak di 270 daerah.
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/1/2020), sepanjang 2019, DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada 43 penyelenggara pemilu.
Selain itu, DKPP memberhentikan sementara tiga penyelenggara pemilu. DKPP juga mengeluarkan 387 sanksi peringatan berupa teguran tertulis. Semua sanksi itu dijatuhkan karena mereka terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
Ada setidaknya sembilan modus pelanggaran. Tiga modus yang paling sering ditemukan adalah kelalaian pada proses pemilu (32 persen), pelanggaran hukum (18 persen), dan manipulasi suara (17 persen).
Komisioner KPU, Bawaslu, dan DKPP hadir dalam rapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/2/2020).
”Dari paparan DKPP, pengaduan pelanggaran tertinggi itu masalah rekap penghitungan suara dan pemungutan suara. Sementara itu, modusnya adalah kelalaian, pelanggaran hukum, dan manipulasi suara. Padahal, itu merupakan esensi tugas KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) untuk memperbaiki kepercayaan publik,” tutur anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Mohammad Muraz.
Selain DKPP, hadir pula dalam rapat Komisi II DPR itu jajaran komisioner KPU dan anggota Bawaslu.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sodiq Mujahid, melihat, sejumlah temuan itu menunjukkan integritas masih menjadi persoalan utama pada tubuh penyelenggara pemilu. Hal itu kian bermasalah karena, menurut dia, tidak ada tindak lanjut yang jelas terhadap temuan DKPP.
Menurut dia, KPU perlu membuat pemetaan mengenai titik rawan integritas dan kecurangan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi. Pemetaan itu semakin mendesak menjelang penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang akan diselenggarakan pada September mendatang.
Banyaknya penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik diperparah dengan ditangkapnya Wahyu Setiawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa hari lalu. Wahyu diduga menerima suap untuk memproses permohonan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari PDI-P.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Johan Budi, mengaku kecewa. Menurut dia, korupsi yang melibatkan Wahyu menggunakan modus yang tak biasa. Umumnya, korupsi dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa. Oleh karena itu, kasus tersebut berpotensi melibatkan pihak lain di KPU.
Kepercayaan publik
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Teti Rohatiningsih, menambahkan, persoalan korupsi itu telah mencoreng kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. KPU khususnya perlu mengembalikan kepercayaan itu terutama karena penyelenggaraan Pilkada 2020 kian dekat.
Menurut anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P, Cornelis, salah satu caranya adalah Wahyu Setiawan harus segera dipecat.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Ketua KPU Arief Budiman merangkul Pelaksana Tugas Ketua DKPP Muhammad (kanan) sebelum rapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/2/2020).
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, KPU telah mengajukan permohonan pemberhentian Wahyu kepada tiga institusi, antara lain Presiden Joko Widodo sebagai pihak yang berhak mengangkat dan memberhentikan komisioner.
Permohonan lainnya disampaikan kepada DPR, yang sebelumnya bertugas menguji kelayakan dan kepatutan komisioner, serta DKPP karena kasus Wahyu merupakan pelanggaran etik.
Sementara itu, untuk menjaga integritas, KPU menjamin seluruh tahapan pemilu, termasuk yang terdekat, yaitu Pilkada 2020, dilaksanakan secara transparan. Pengambilan keputusan dalam rapat pleno pun dijanjikan digelar secara terbuka di hadapan publik.
”Wahyu Setiawan juga sudah menyatakan bahwa ini masalah pribadi, bukan institusi. Sebab, institusi sudah mengambil kebijakan (menolak PAW Harun Masiku),” kata Arief.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Pelaksana Tugas Ketua DKPP Muhammad
Sementara Pelaksana Tugas Ketua DKPP Muhammad mengatakan, DKPP akan menyidangkan Wahyu mulai Rabu (15/1/2020). Sidang digelar setelah laporan dari KPU dan Bawaslu atas dugaan pelanggaran kode etik oleh Wahyu memenuhi syarat untuk disidangkan oleh DKPP.
Komunikasi dengan KPK juga telah dilakukan untuk mendapatkan kepastian izin menyidangkan Wahyu.
Putusan DKPP nantinya akan dikirim kepada Presiden Joko Widodo. Presiden yang berwenang menerbitkan surat keputusan pemberhentian, pengangkatan, dan PAW komisioner KPU. ”Jika sidang bisa digelar besok, pekan ini juga DKPP akan mengirim surat ke Presiden terkait putusan kami,” kata Muhammad.