Program tol laut di Saumlaki, Maluku, hingga kini belum terlalu dirasakan manfaatnya oleh warga. Harga sejumlah barang kebutuhan pokok masih sama, bahkan ada yang lebih tinggi.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·4 menit baca
Joko Widodo mengungkapkan gagasan tol laut dalam kampanye Pemilihan Presiden 2014. Ia menginginkan agar tol laut memangkas disparitas harga di wilayah dengan tingkat kemahalan tinggi, yang kebanyakan berada di bagian timur Indonesia. Namun, hingga periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, program prioritasnya itu belum begitu terasa manfaatnya oleh masyarakat Maluku. Penikmat manfaat malah kebanyakan pebisnis.
Informasi yang dihimpun Kompas dari Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, Senin (13/1/2020), harga beras medium Rp 13.500 per kilogram. Harga saat ini lebih mahal sebelum tol laut melayani daerah itu. Harga sebelumnya Rp 11.500 per kilogram.
Beras merupakan salah satu komponen yang diangkut kapal tol laut. Sejak beroperasi pada awal 2016, tol laut mengangkut barang kebutuhan pokok dan barang penting seperti bahan bangunan.
Besaran subsidi bahkan mencapai 50 persen dibandingkan tarif komersial.
Lewat program tol laut, pemerintah memberikan subdisi untuk angkutan barang kepada pengguna jasa tersebut. Besaran subsidi bahkan mencapai 50 persen dibandingkan tarif komersial. Sebagai contoh, tahun 2017, tarif tol laut untuk satu peti kemas berukuran 20 kaki rute Surabaya, Jawa Timur, ke Saumlaki sebesar Rp 7,5 juta. Jika tarif komersial biasa, pengusaha harus membayar hingga Rp 15 juta.
Dengan demikian, diharapkan pengusaha yang mengangkut barangnya menggunakan jasa tol laut dapat menurunkan harga jual barang kepada masyarakat. Pasalnya, mereka telah mendapat potongan biaya angkut satu peti kemas hingga Rp 7,5 juta.
Tentu saja, tidak mungkin berharap harga turun drastis. Lagipula, ongkos angkut hanya salah satu variabel pembentuk harga. Akan tetapi, setidaknya warga Saumlaki dapat menikmati harga beras di bawah Rp 10.000 per kilogram.
Meski demikian, kenyataannya tidak sama sekali. Harga beras malah terus melonjak, lebih mahal dibandingkan sebelum tol laut beroperasi. Tak hanya beras, semua barang kebutuhan pokok dan barang penting bernasib serupa, yakni semakin mahal dari waktu ke waktu.
Padahal, Kementerian Perhubungan mencatat, sejak 2016 hingga 2019, subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk program tol laut telah mencapai Rp 1,26 triliun. Bukan jumlah yang sedikit. Lantas, apa yang terjadi?
Kami sempat menurunkan harga, tapi tidak berpengaruh karena barang kami sedikit.
Informasi yang dihimpun Kompas, sekitar 90 persen barang kebutuhan pokok yang beredar di Saumlaki dikendalikan dua pengusaha besar. Mereka menguasai muatan tol laut. Beberapa pengusaha kecil yang ikut dalam program tol laut mengaku awalnya menurunkan harga, tetapi kemudian terseret oleh dua kekuatan besar itu. Mereka kalah dan pada akhirnya ikut-ikutan tidak menurunkan harga jual kepada masyarakat.
”Kami sempat menurunkan harga, tapi tidak berpengaruh karena barang kami sedikit,” ujar seorang pengusaha kecil. Pengusaha kecil itu pun tidak bisa berbuat lebih karena masih ada hubungan ketergantungan dengan pengusaha besar yang leluasa mengendalikan harga di Saumlaki.
Tanggung jawab penyelenggara tol laut selesai saat barang yang diangkut tiba di pelabuhan tujuan. Tidak ada tindak lanjut untuk memantau ke mana saja barang yang diangkut dengan subsidi itu akan dijual. Tidak ada pula penetapan standar harga jual barang di pasar.
Semuanya diserahkan kepada pengusaha untuk mengatur sendiri. Peluang ini menjadi kesempatan pengusaha. Mereka dengan leluasa menetapkan harga jual, tentu dengan motif meraup untung sebesar-besarnya.
Standar harga dan pengawasan distribusi barang-barang yang diangkut tol laut tidak pernah dilakukan di Maluku sejak tol laut beroperasi hingga saat ini. Pemerintah daerah juga tampak tidak terlalu peduli. Bupati Kepulauan Tanimbar Petrus Fatlolon, dalam suatu kesempatan, malah menyalahkan tingginya harga itu kepada pemerintah pusat. ”Saya juga heran kenapa seperti itu,” ujarnya.
Persoalan harga yang tidak turun dan monopoli pengusaha sudah diketahui oleh pemerintah pusat, termasuk Presiden Jokowi. Pada Maret 2019, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi terbang menggunakan pesawat khusus dari Jakarta ke Saumlaki untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, tidak tampak ada perubahan. Harga tetap tinggi.
Masyarakat yang diharapkan menerima manfaat tol laut tidak merasakannya. Manfaat itu hanya dinikmati pengusaha karena keuntungan mereka jadi berlipat, yakni ongkos angkut diringankan, sementara harga jual tetap atau bahkan lebih tinggi.
Masih belum terlambat untuk memperbaiki tata kelola tol laut agar setiap rupiah dari subsidi yang berharga itu dapat efektif dinikmati rakyat, bukan pengusaha.