Nakhoda Tak Bisa Tidur, Waswas Kapal Asing Mendekat
Di Laut Natuna Utara, pompong nelayan tak berdaya menghadapi ganasnya ombak dan penangkapan ikan secara ilegal. Tak ada yang lebih dirindukan, selain janji ibu pertiwi menjaga anaknya agar tak terusir dari laut sendiri.
Oleh
Pandu Wiyoga
·3 menit baca
Rabu (8/1/2020) malam itu, kedai kopi di Pelabuhan Lubuk Lumbang, Kecamatan Bunguran Timur, Natuna, disesaki nelayan yang asyik menonton tayangan bincang-bincang di televisi yang mengupas kondisi terkini di Laut Natuna. Tiga nelayan, yakni Adri (55), Taufik (40), dan Rudi (30), tak henti tertawa dan menimpali komentar di acara itu.
Mereka anak buah Kapal Motor Rajawali yang ikut merekam pesat puluhan kapal ikan asing di Laut Natuna Utara, Kamis (26/12/2019). ”Kalau ada yang bilang nelayan Natuna tidak pernah ke laut lepas, ingin rasanya bawa ikut kapal kami. Lihat kenyataan di laut,” ujar Adri.
Kapal nelayan di Natuna rata-rata dari kayu berbobot 3-7 gros ton (GT) yang disebut pompong. Alat tangkapnya tradisional berupa pancing ulur. Dengan keterbatasan itu, mereka menangkap ikan hingga ke zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Lihat kenyataan di laut.
Jumlah nelayan yang melaut memang akan berkurang ketika musim angin utara datang akhir November hingga Januari karena tinggi gelombang bisa lebih dari 6 meter. Pada periode itu biasanya nelayan dengan kapal 5-7 GT saja yang tetap berani melaut. Sebenarnya, gelombang tinggi di musim angin utara bukan yang paling menakutkan. Satu-satunya yang bisa membuat mereka kembali ke darat sebelum waktunya adalah tali jangkar putus saat lari dikejar kapal ikan asing.
Kapal Vietnam dan China yang mengambil ikan di Laut Natuna Utara rata-rata berbobot 30-100 GT. Mereka menangkap secara berkelompok memakai pukat harimau. Satu kelompok sekitar 20 kapal. ”Kalau malam, tekong (nakhoda) tak bisa tidur tenang. Waswas karena harus selalu siap potong tali jangkar untuk lari kalau ada kapal pukat mendekat,” ujar Rudi.
Pukat harimau mengeruk kekayaan laut hingga dasar. Terlambat menghindar, jangkar pompong tersangkut, terseret entah sampai mana. Di perairan 60 mil dari Pulau Laut, ujar Rudi, terumbu karang hancur karena pukat harimau, menyisakan lumpur. Ini pukulan telak nelayan lokal yang sehari-hari menangkap ikan karang.
Para penangkap ikan secara ilegal itu seperti gerombolan bandit. ”Jumlahnya puluhan atau ratusan. Karena banyak, kalau malam seperti pulau terang benderang,” kata Taufik.Selain jauh lebih besar dan lebih banyak, kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal ini juga selalu dikawal kapal penjaga pantai.
Nelayan lokal tak berkutik melihat lautnya dijarah setiap hari. ”Natuna tidak kekurangan nelayan. Yang kurang itu penjaga pantai. Laut akan ramai kalau keamanan dan keselamatan terjamin,” kata Hendri, nelayan di Kelurahan Sepempang.
Namun, alih-alih menambah armada penjaga pantai, pemerintah justru berencana mendatangkan ratusan nelayan dari pantai utara Jawa. Ini justru berisiko menimbulkan konflik baru akibat perebutan wilayah dan beda alat tangkap.
Tangkapan merosot
Penangkapan ikan secara ilegal yang merajalela membuat tangkapan nelayan lokal anjlok. Biasanya sekali melaut terkumpul 1,5 ton ikan karang, tetapi kini tak sampai 1 ton. Ikan tongkol yang biasanya mudah didapat saat musim angin utara juga habis dilibas pukat harimau kapal asing.
”Ya, begitu, sekarang kami yang lari seperti pencuri. Dulu, yang namanya pencuri ditangkap terus ditenggelamkan sekalian. Jadi, mereka takut kembali ke sini lagi,” kata Adri. Dampak penangkapan ikan ilegal juga dirasakan nelayan kecil yang biasa melaut di bawah 30 mil. Bujang (65), misalnya, kini jarang mendapat tangkapan di atas 100 kg. Empat tahun belakangan, rata-rata 150 kg setiap melaut.
Ini ironis mengingat potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 711, meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, yang pada 2017 besarnya 767.126 ton, kini justru dinikmati nelayan asing.
Seperti bincang-bincang di televisi malam itu, masalah di Laut Natuna Utara tak akan selesai dengan ngobrol atau diplomasi tanpa aksi. Bagi para nelayan, setiap ekor ikan di perut Laut Natuna adalah masa kini dan masa depan.