Warga yang akan memilih kepala daerah perlu lebih serius mencermati kualitas dan komitmen sosok yang bakal dirujuk. Pasalnya, dalam satu dekade terakhir, hasil pilkada kurang signifikan mendongkrak kesejahteraan.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Sejalan dengan pergantian tahun, gaung pilkada yang sejatinya berlangsung pada September 2020 mulai riuh. Sekalipun belum ditetapkan, setiap sosok yang merasa paling layak menjadi kepala daerah sudah unjuk suara. Pemandangan ini masif di 270 daerah penyelenggara pilkada, baik di 9 provinsi, 37 kota, maupun 224 kabupaten.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD) 07-01-2020
Komisi Pemilihan Umum menggelar simulasi pengisian formulir hasil penghitungan suara di tingkat TPS untuk pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (7/1/2020). Simulasi tersebut sebagai salah satu tahapan terkait rencana penerapan rekapitulasi elektronik pada pilkada serentak September 2020.
Tingginya gairah menjadi pemimpin daerah di satu sisi perlu disikapi secara positif. Setidaknya, dengan antusiasme semacam ini dalam model pemilihan kepala daerah langsung, tersedia beragam alternatif pilihan calon pemimpin. Dengan semakin banyak calon, makin ketat pula derajat persaingan.
Idealnya, bersandar pada model rasionalitas semacam ini, pilkada memperluas peluang kemunculan para pemimpin mumpuni. Sosok-sosok pemimpin yang dilahirkan dalam mekanisme semacam inilah seharusnya menjadi yang terdepan dalam meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat di daerahnya.
Namun, di sisi lain, antusiasme calon pemimpin daerah dalam mekanisme pilkada langsung tidak selalu menjamin keberhasilan. Paling konkret, becermin pada berbagai hasil pilkada lampau. Satu dekade terakhir, di balik antusiasme penyelenggaraan pemilihan pemimpin daerah, terbukti bagian terbesar daerah (khususnya provinsi) belum mampu menciptakan peningkatan kesejahteraan yang signifikan.
Jika kemakmuran daerah dijadikan ukuran, umumnya memang terjadi peningkatan yang ditandai peningkatan rata-rata tahunan perekonomian daerah. Di setiap provinsi terjadi pertumbuhan. Hanya saja jika ditelisik lebih jauh, pertumbuhan yang dicapai belum mampu menyentuh setiap aspek yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan warga.
Beberapa dimensi dasar kesejahteraan, seperti peningkatan kualitas pendidikan, perekonomian, dan kesehatan penduduk, masih relatif berjalan lamban. Problem riil ekonomi warga selain penghasilan, seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial, belum drastis menyusut.
Dalam kerangka yang lebih besar, kehidupan demokratisasi politik yang meningkat sebagaimana yang ditunjukkan dalam rata-rata peningkatan Indeks Demokrasi di negeri ini cenderung kurang bermakna. Persoalan semacam ini pula yang paling menonjol tergambarkan dalam memahami esensi pilkada terhadap kondisi kesejahteraan di seluruh provinsi yang akan menggelar pilkada serentak kali ini.
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Diskusi akhir tahun “Konsolidasi Masyarakat Sipil dan Proyeksi Pemantauan Pilkada 2020” diselenggarakan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), di Jakarta, Senin (23/12/2019).
Bahkan, dari kesembilan provinsi pilkada yang dikaji, mayoritas termasuk daerah yang lamban pertumbuhannya. Dapat dikatakan, sepanjang sepuluh tahun terakhir, tidak tampak perubahan signifikan yang mampu mendudukkan daerah tersebut sebagai wilayah yang semakin sejahtera. Sekalipun, dalam konfigurasi perekonomian nasional, kesembilan provinsi ini bukan yang terbawah, melainkan daripada provinsi-provinsi lainnya, gerak perubahan relatif tertinggal.
Di Pulau Sumatera, empat provinsi penyelenggara pilkada, yaitu Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, dan Bengkulu, tidak terbebaskan dari permasalahan semacam ini. Secara nasional, kinerja kesejahteraan keempat provinsi tersebut bukan yang buruk.
Dari sisi perekonomian, segenap hasil kegiatan ekonomi dari seluruh sektor lapangan usaha di masing-masing provinsi, jika dibagi per kapita penduduknya, bahkan tergolong lumayan. Provinsi Kepulauan Riau dan Jambi bahkan masuk dalam 10 besar nasional. Sumatera Barat berada pada posisi tengah konfigurasi nasional. Dari keempat provinsi, Bengkulu yang terendah.
Sayangnya, di balik capaian ekonominya, keempat provinsi tersebut sama-sama tergolong lamban pertumbuhannya. Jika merujuk pada kondisi 10 tahun lalu, pertumbuhan Kepulauan Riau dan Jambi tidak signifikan dan cenderung melambat. Kondisi demikian semakin terasakan pada periode lima tahun terakhir. Sumatera Barat, meski cukup konsisten bertumbuh, nilai pertumbuhannya tergolong kecil. Bengkulu kembali menjadi provinsi yang relatif terendah.
Paralel dengan capaian ekonominya, beberapa dimensi kualitas pembangunan bagi kesejahteraan penduduk pun dihadapkan pada masalah serupa. Dengan menggunakan indikator skor Indeks Pembangunan Manusia, misalnya, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat merupakan dua provinsi dengan capaian kualitas kesejahteraan penduduk di atas rata-rata nasional. Jambi dan Bengkulu masih di bawah rata-rata, tetapi kedua provinsi tersebut tidak berada dalam posisi terendah dari konfigurasi nasional.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menjelang Pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan pada 2020 mendatang baliho, spanduk, dan poster sejumlah tokoh masyarakat maupun partai politik marak di ruang-ruang publik seperti di pinggir jalan di Kota Tangerang Selatan, Banten seperti terlihat pada Minggu (24/11/2019). Di dalam media yang mereka pasang tersebut ada yang terang-terangan menyebut sebagai bakal calon wali kota dan ada yang tidak terlalu terang menyatakan sebagai bakal calon wali kota. Spanduk, poster, dan baliho seperti di Tangerang Selatan ini juga marak di sejumlah daerah yang akan melaksankan pemilihan kepada daerah serentak pada 2020 mendatang.
Menjadi persoalan justru di sisi pertumbuhannya. Capaian sepanjang 10 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan peningkatan yang melambat. Jika dibandingkan dengan rata- rata pertumbuhan IPM nasional, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat kini relatif lebih kecil. Sebaliknya, pertumbuhan Jambi dan Bengkulu dalam 10 tahun tampak masih di atas pertumbuhan nasional. Hanya, jika dicermati capaian lima tahun terakhir, cenderung melemah.
Catatan terhadap keempat provinsi di Sumatera akan semakin panjang jika dikaitkan dengan iklim demokratisasi di masing-masing wilayah. Kecuali Kepulauan Riau, provinsi lainnya masih menyisakan problem dalam kualitas demokrasinya. Sekalipun sepanjang 10 tahun terakhir cenderung meningkat, tetapi masih berada di bawah nasional.
Jika ditelusuri, persoalan yang dialami keempat provinsi di Sumatera umumnya juga terjadi di provinsi lain penyelenggara pilkada. Di Pulau Kalimantan, Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara juga dihadapkan pada pergulatan peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan meskipun di wilayah itu demokratisasi tergolong baik.
Secara ekonomi, ketiga provinsi di Kalimantan ini juga tidak buruk. Bahkan, Kalimantan Utara tergolong makmur. Jika diranking secara nasional, Kalimantan Utara berada di urutan keempat terbesar PDRB per kapitanya setelah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau. Sementara, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan berada di papan tengah. Kondisi demikian diperkuat dengan penduduk miskinnya. Pada ketiga provinsi ini relatif kecil, berada pada kisaran 4-7 persen, jauh di bawah proporsi penduduk miskin nasional yang pada awal 2019 mencapai 9,4 persen.
Di balik capaian kondisi ekonomi ketiga provinsi tersebut, sayangnya tidak terekam catatan peningkatan aspek lain yang mengesankan. Dari sisi kualitas pembangunan kesejahteraan penduduknya, ketiga provinsi ini masih di bawah rata-rata nasional. Laju peningkatan setiap tahun yang berhasil ditoreh pun relatif lebih kecil. Jika disandingkan, kedua indikator menunjukkan jika kemakmuran ekonomi di ketiga wilayah Kalimantan ini belum banyak menyentuh kondisi kesejahteraan setiap warganya.
Dari seluruh provinsi yang menyelenggarakan pilkada, problem perekonomian dan kesejahteraan di Sulawesi tidak termasuk yang paling kompleks. Hanya saja, beberapa persoalan, seperti di Sulawesi Tengah, didapati masih menjadi kendala yang belum terpecahkan selama ini.
Proporsi penduduk miskin, misalnya, masih sangat tinggi, jauh di atas proporsi nasional. Bahkan, sepanjang 10 tahun terakhir masih di atas dua digit. Data 2019 menunjukkan, di Sulawesi Tengah masih 13,5 persen. Artinya, dalam kurun 10 tahun, provinsi ini hanya mampu menurunkan kurang dari 5 persen saja.
Dari segenap uraian itu, tampak jika setiap provinsi yang tengah mencari pemimpin daerahnya tidak akan terlepas dari belitan persoalan. Berdasarkan indikator kesejahteraan, PDRB per kapita, dan IPM, ataupun beberapa indikator penunjang lainnya, kemajuan yang dicapai sejauh ini relatif kurang mengesankan. Sudah amat mendesak dibutuhkan suatu perubahan yang lebih signifikan.
Itulah mengapa, dalam pilkada kali ini lembar baru nasib kesejahteraan rakyat tengah dipertaruhkan. Di balik keriuhan penjaringan pemimpin daerah, sudah saatnya para warga menjadi lebih kritis dalam mencermati dan memilih sosok pemimpin. (Litbang Kompas)