Anemia Ibu Hamil di Indonesia Tinggi, Konsumsi Tablet Tambah Darah Masih Rendah
Hampir setengah dari ibu hamil di Indonesia mengalami anemia. Hal ini merupakan ancaman serius karena bisa memicu terjadinya kehamilan berisiko tinggi dan menyebabkan kematian ibu saat melahirkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir setengah dari ibu hamil di Indonesia mengalami anemia. Hal ini merupakan ancaman serius karena bisa memicu terjadinya kehamilan berisiko tinggi dan menyebabkan kematian ibu saat melahirkan. Risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah pun sangat besar.
Meski angka anemia pada ibu hamil tinggi, kepatuhan mengonsumsi tablet tambah darah masih rendah. Tablet tambah darah diperlukan agar kebutuhan zat besi pada ibu hamil bisa tercukupi sehingga mencegah anemia.
”Pembenahan pada sistem kesehatan, terutama terkait kesehatan ibu hamil, diperlukan agar masalah anemia pada ibu hamil bisa diatasi secara tuntas. Setidaknya ada tujuh hal yang perlu dibenahi, yakni terkait upaya kesehatan, pembiayaan, sumber daya manusia, ketersediaan obat dan alat kesehatan, manajemen dan regulasi kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat,” ujar Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari di Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi anemia pada ibu hamil 48,9 persen. Kondisi anemia ini semakin mengkhawatirkan pada ibu hamil usia 15-24 tahun yang mencapai 84,6 persen. Hal itu karena semakin dini usia perempuan hamil, semakin besar potensi mengalami anemia. Ibu hamil dikatakan anemia jika kadar hemoglobin dalam darahnya kurang dari 11 gram per desiliter.
Dari data yang sama menunjukkan, jumlah tablet tambah darah (TTD) yang diminum lebih dari 90 tablet sesuai anjuran WHO hanya 37,7 persen. Alasan utama tidak mengonsumsi TTD karena tidak suka dan bosan.
Country Director Nutrition International Sri Kusyuniati menuturkan, masalah rendahnya kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi TTD disebabkan karena lemahnya monitoring dari petugas kesehatan. Selain itu, pemahaman masyarakat mengenai gizi juga masih minim.
”Masih banyak pemahaman yang salah terkait TTD ini. Sebagian besar masyarakat masih menganggap TTD sebagai obat sehingga enggan mengonsumsi karena merasa tidak sakit. Di lain sisi, petugas kesehatan pun tidak memberikan edukasi yang tepat sehingga justru terjadi pembiaran,” katanya.
Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil bisa menciptakan lingkaran setan masalah gizi di Indonesia. Ibu hamil dengan anemia akan melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah. Akibatnya, anak tersebut rentan mengalami infeksi dan tumbuh kembang tidak optimal, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Anak yang lahir dari ibu anemia bisa mengalami tengkes atau stunting yang bisa menimbulkan gangguan kecerdasan. Ketika sudah berusia dewasa, mereka tidak akan produktif sehingga akan menjadi beban keluarga dan negara.
Anak yang lahir dari ibu anemia, tambah Sri, juga bisa mengalami tengkes atau stunting yang bisa menimbulkan gangguan kecerdasan. Secara lebih lanjut, ketika sudah berusia dewasa, mereka tidak akan produktif sehingga akan menjadi beban keluarga dan negara.
Pengawasan
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian P Dipo menyampaikan, pengawasan dan evaluasi terintegrasi menjadi salah satu fokus pembenahan untuk mengatasi persoalan gizi masyarakat, termasuk anemia pada ibu hamil. Tenaga kesehatan di puskesmas perlu memastikan data terkait sasaran yang menerima TTD dan cakupan yang telah dicapai bisa tercatat secara baik.
”Data itu juga jangan hanya disimpan, tetapi perlu dilaporkan dan didokumentasikan secara berkala. Ini penting sebagai bahan untuk pembuatan kebijakan bagi pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Intervensi yang diberikan pun diharapkan bisa tepat sasaran dan sesuai dengan kondisi masyarakat,” katanya.