Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy keberatan atas seluruh tuntutan hukuman yang diajukan kepadanya
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy keberatan atas seluruh tuntutan hukuman yang diajukan kepadanya. Saat membacakan nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (13/1/2020), ia menuding ada konstelasi politik untuk melemahkan posisi partai politik berkedok penegakan hukum.
Bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didakwa melakukan korupsi terkait pengisian jabatan di lingkungan Kementerian Agama itu dituntut pidana penjara empat tahun dengan denda Rp 250 juta subsider lima bulan kurungan. Ia pun wajib membayar uang pengganti sebesar Rp 46,4 juta yang harus dibayarkan dalam waktu satu bulan, atau disita harta bendanya, atau diganti penjara selama satu tahun. Selain itu, Jaksa juga meminta majelis hakim untuk mencabut hak politik Romy selama lima tahun setelah menjalani hukuman.
Dalam pleidoinya, Romy membantah seluruh dakwaan Jaksa dan menolak seluruh tuntutan yang diajukan kepadanya. Menurut dia, dakwaan dan tuntutan tidak didasarkan pada fakta persidangan.
Romy menolak disebut menerima uang sebesar Rp 255 juta dari mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur Haris Hasanuddin. Sebab, ia tak pernah mengetahui saat Haris meletakkan uang Rp 5 juta di rumahnya sedangkan Rp 250 juta yang ia terima pada Februari 2019 sudah dikembalikan secara langsung, tidak melalui KPK.
Begitu pula atas uang Rp 91,4 juta yang dari mantan Kepala Kantor Kemenag Gresik, Jawa Timur, Muafaq Wirahadi. Sejumlah uang itu diterima oleh pihak yang memanfaatkan dirinya. “Pada dasarnya, tidak pernah ada uang tersebut di tangan saya,” kata Romy.
Romy pun mempermasalahkan pasal yang digunakan untuk menjerat dirinya. Salah satunya Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi terkait penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara.
Sekalipun Jaksa menggugurkan premis itu karena posisinya sebagai anggota Komisi XI DPR bukanlah mitra Kemenag, Romy tetap dijerat karena sebagai ketua umum partai. Padahal jabatan tersebut tidak termasuk dalam kategori penyelenggara negara.
Selanjutnya, Romy mengklaim bahwa dirinya tak pernah mengintervensi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Ia hanya menyampaikan aspirasi sejumlah pihak yang mendorong Haris dan Muafaq untuk menempati jabatan di Kemenag. Salah satu dorongan, ia sebut berasal dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Ketiadaan pengaruh itu dikuatkan dengan pengakuan Lukman dalam persidangan bahwa ia tak bisa diintervensi, sekalipun Romy adalah pimpinan Lukman di partai. Independensi Lukman tampak dari kesamaan pola pengangkatan pejabat di Kemenag. Para pejabat diangkat karena sebelumnya sudah pernah menjadi pelaksana tugas di posisi tersebut, termasuk Haris dan Muafaq.
Selain itu, Romy menduga ada sejumlah fakta imajiner yang dibuat untuk mencocokkan tuntutan dengan dakwaan. Di antaranya pertemuan dengan Muafaq di Hotel Aston, Bojonegoro pada 16 Januari 2019 yang diperantarai oleh Haris. Saat itu, ia memang pergi ke lokasi itu namun tidak ditujukan secara khusus untuk menemui Muafaq, karena ia menjadi pembicara dalam pembinaan pegawai Kemenag.
Deparpolisasi
Lewat kasus yang menjeratnya, Romy mengendus indikasi pelemahan partai politik. Penentuan waktu operasi tangkap tangan (OTT) pun terasa politis, yaitu pada Maret 2019 atau sebulan sebelum Pemilu 2019 digelar. Padahal, jika merujuk pada pemberian uang dari Haris kepada Romy dan pengembaliannya, itu sudah terjadi pada Februari 2019.
Kasus itu berdampak pada raihan suara PPP dalam Pemilu 2019, yaitu 4,52 persen. Perolehan kursi di DPR menurun drastis dari 39 kursi pada periode 2014-2019 menjadi 19 kursi pada periode 2019-2024 sekaligus menempatkan PPP pada peraih suara terendah dari sembilan partai politik yang masuk ambang batas parlemen. Di tingkat DPRD, perolehan kursi pun anjlok dari 1.300 kursi menjadi 300 kursi.
Pola serupa juga terjadi lima tahun sebelumnya. Jelang Pemilu 2014, KPK juga menangkap mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali. “Ini adalah operasi politik berbaju penegakan hukum, dilakukan kepada PPP baik karena kebencian personal pada ketua umumnya, atau kebencian ideologis kepada PPP, maupun kebencian berjamaah karena langkah politik yang diambil PPP dalam Pemilihan Presiden 2019,” ujar Romy.
Selain berdampak pada raihan suara, Romy beranggapan kasus ini juga berdampak pada ketidakpercayaan terhadap kader partai untuk menduduki jabatan publik. Sebagaimana saat ini, posisi Menteri Agama tidak diisi kader partai.
Romy berharap, pleidoi yang ia bacakan selama lebih dari 60 menit itu dipertimbangkan oleh majelis hakim. “Saya memohon Yang Mulia untuk membebaskan saya dari segala tuduhan, memulihkan seluruh martabat dan kehormatan saya, serta mengembalikan saya kepada anak dan istri saya yang sampai hari ini tetap saya larang untuk hadir di majelis ini,” kata dia sambil terisak saat mengingat keluarganya.
Kuasa hukum Romy, Maqdir Ismail menambahkan, pleidoi itu layak dipertimbangkan oleh majelis hakim. Sepanjang persidangan, tidak ada saksi yang mengatakan Romy melakukan perbuatan tercela. Romy dianggap bukan pelaku utama dalam kasus kejahatan ini, dia justru mengungkap keterlibatan pihak-pihak lain.
Atas pembelaan tersebut, Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri mempersilakan Jaksa Penuntut Umum untuk menyampaikan replik. Menurut rencana, replik akan dibacakan pada Senin, 20 Januari 2020.