Penegakan Hukum Tak Cukup Atasi "Klitih" di Yogyakarta
Aksi kekerasan jalanan atau biasa disebut klitih di Yogyakarta sulit diselesaikan hanya lewat penegakan hukum. Butuh dialog dengan keluarga para pelaku untuk mengurai akar masalah yang mendorong mereka melakukan klitih.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, aksi kekerasan jalanan atau biasa disebut klitih di DIY tak bisa diselesaikan hanya lewat penegakan hukum. Butuh dialog dengan keluarga para pelaku untuk mengurai akar masalah yang mendorong mereka melakukan klitih.
"Kami akan membangun dialog dengan orangtua dan saudara-saudara anak-anak itu (pelaku klitih). Jadi akan ada dialog untuk mengetahui sebenarnya keluarga itu punya masalah apa," kata Sultan HB X saat ditemui di kompleks Kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta, Senin (13/1/2020).
Beberapa tahun terakhir, aksi kekerasan jalan yang kerap disebut klitih berulang kali terjadi di DIY. Para pelaku biasanya merupakan anak muda atau pelajar dan sebagian masih di bawah umur. Saat beraksi, para pelaku klitih biasanya mengendarai sepeda motor dan menggunakan senjata tajam.
Belakangan, aksi klitih kembali marak di sejumlah wilayah. Pada 4-5 Januari lalu, misalnya, sebanyak 10 anak muda melakukan klitih di wilayah Kabupaten Sleman, DIY. Para pelaku merusak sebuah warung makan di Sleman serta melukai dua orang pemuda secara acak di dua lokasi berbeda. Polisi pun menangkap 10 pelaku yang ternyata tergabung dalam sebuah geng.
Sementara itu, Minggu (12/1) dini hari, kepolisian juga menangkap 10 anggota geng pelajar yang hendak melakukan klitih di Kota Yogyakarta. Dari tangan para pelaku, aparat menyita berbagai jenis senjata tajam dan tumpul, misalnya pedang, celurit, gergaji, penggaris besi yang dipertajam, stik, dan balok kayu.
Sultan menyatakan, berdasarkan data kasus klitih di DIY,mayoritas pelaku berasal dari keluarga bermasalah. Oleh karena itu, terjadinya klitih di DIY kemungkinan berkait persoalan yang terjadi pada keluarga para pelaku. "Mayoritas (pelaku klitih) itu berasal dari latar belakang broken home (keluarga yang bermasalah)," katanya.
Menurut Sultan, tindakan tak terpuji yang dilakukan para pelaku klitih, misalnya melakukan kekerasan dan mengonsumsi minuman keras, bisa jadi merupakan bentuk pelarian dari masalah yang dihadapi dalam keluarga. "Anak-anak itu pulang pagi dan sebagainya mungkin karena tidak merasa nyaman tinggal di rumah. Kekerasan itu mungkin bentuk pelarian, mereka minum minuman keras kan juga bisa saja sebagai pelarian," ujarnya.
Oleh karena itu, untuk mengatasi klitih, perlu dialog dengan keluarga para pelaku. "Mungkin di keluarga (pelaku) ada sesuatu hal yang perlu kita dialogkan secara terbuka. Apa yang mungkin bisa dibantu dalam upaya memperbaiki kondisi itu," ungkap Sultan yang juga Raja Keraton Yogyakarta.
Sultan menambahkan, dialog dengan keluarga para pelaku dibutuhkan karena masalah klitih tak bisa diselesaikan hanya dengan penegakan hukum. Menurut dia, penegakan hukum tidak menyentuh akar masalah klitih.
Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana mengatakan, aksi klitih yang marak di DIY itu sangat memprihatinkan dan berpotensi mencoreng citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Oleh karena itu, butuh berbagai langkah untuk menghentikannya. "Peristiwa klitih di Yogyakarta sangat memprihatinkan dan harus segera dihentikan dengan sistematis," ujarnya.
Huda memaparkan, untuk menanggulangi masalah klitih, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Salah satunya dengan mengidentifikasi para pelajar yang berpotensi menjadi pelaku klitih, lalu melakukan pembinaan terhadap mereka.
Menurut Huda, pelajar yang berpotensi melakukan klitih biasanya anggota geng atau dari sekolah tertentu. Pelajar-pelajar ini bisa dibina khusus dari segi kedisiplinan, wawasan hukum, mental, melalui kerja sama dengan aparat. Pembinaan juga bisa melalui acara outbond atau kemah kedisiplinan.
Langkah lain yang bisa dilakukan menanggulangi klitih, lanjut Huda adalah menertibkan penggunaan sepeda motor di kalangan pelajar yang belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Penertiban itu perlu karena para pelaku klitih biasanya beraksi dengan sepeda motor. Di sisi lain, Pemda DIY perlu memfasilitasi angkutan umum untuk memudahkan para pelajar berangkat ke sekolah.
"Angkutan umum itu bisa berupa bus sekolah atau kerja sama dengan penyedia jasa secara mandiri untuk transportasi ke sekolah agar pelajar tidak menggunakan sepeda motor. Sebagai awalan, saya usulkan pemda menggratiskan Bus Trans-Jogja untuk pelajar," kata Huda.
Di sisi lain, Huda menambahkan, penanggulangan klitih juga mesti melibatkan orangtua para pelaku. Oleh karena itu, dia mengusulkan pertemuan rutin antara orangtua, pihak sekolah, dan aparat keamanan. Pelibatan orangtua siswa penting karena pada dasarnya orangtua adalah penanggungjawab utama pendidikan.
Sementara itu, aparat kepolisian berjanji menindak tegas para pelaku klitih, meski masih di bawah umur. Kepala Kepolisian Resor Kota Yogyakarta, Komisaris Besar Armaini, menyatakan, selain penegakan hukum, kepolisian juga akan membina para pelajar agar peristiwa klitih tak terus berulang.
"Ini fenomena yang perlu diperhatikan. Tidak bisa dimungkiri, sebagian generasi muda kita seperti ini. Ini harus diperhatikan. Harus kita selamatkan. Kita perlu membina mereka,” ujar Armaini.