Kehidupan sebagian warga di daerah tambang batubara di Kalimantan Selatan tak banyak berubah, mulai dari sebelum, saat tambang beroperasi, hingga pascatambang.
Oleh
JUMARTO YULIANUS dan SUCIPTO
·4 menit baca
Kehidupan sebagian warga di daerah tambang batubara di Kalimantan Selatan tak banyak berubah, mulai dari sebelum, saat tambang beroperasi, hingga pascatambang. Hidup sebagian warga yang terdampak tambang batu bara tetap jauh dari kemakmuran.
Sabtu (4/1/2020) siang, beberapa warga Desa Makmur Mulia, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, duduk sambil mengobrol di teras rumah milik Sahruji. Mereka membahas jalan desa yang tak kunjung diperbaiki.
Rumah Sahruji terletak di RT 06 Dusun 2, Desa Makmur Mulia. Rumah kayu ini terletak persis di samping kolam besar yang airnya kehijauan. Kolam terbentuk dari lubang tambang bekas batubara. Kedalamannya sekitar 50 meter.
Akses menuju permukiman warga di RT 06 Dusun 2 sepanjang 200 meter masih berupa jalan tanah berbatu. Di jalan ini, ada dua lokasi yang terancam longsor karena tergerus lubang bekas tambang.
Menurut Sahruji, ada sembilan keluarga yang terancam tak mempunyai akses jika jalan desa itu longsor karena tak kunjung diperbaiki. ”Itu satu-satunya jalan kami karena daerah permukiman kami sudah dikelilingi lubang tambang,” tuturnya.
Sembilan rumah warga yang berada di lingkar tambang itu umumnya adalah rumah kayu sederhana. Dinding papan rumah-rumah beratapkan seng karatan tersbeut kebanyakan tidak dipoles cat. Hanya satu rumah yang terbuat dari beton. Sebagian besar temboknya pun tersusun dari batako yang belum diplester semen.
H Kaspul (45), warga Makmur Mulia, mengatakan, tidak ada yang berubah dengan kehidupan warga ketika tambang batubara beroperasi hingga tambang berhenti beroperasi. ”Bahkan, dari sebelum ada tambang, kehidupan kami tetap begini,” tutur pedagang keliling tersebut.
Menurut dia, tambang batubara mulai merambah Dusun 2 Makmur Mulia sekitar tahun 2010. Sebagian rumah warga pun tergusur. Mereka meninggalkan rumah yang sudah ditempati bertahun-tahun setelah menerima pembayaran ganti rugi atas tanah, bangunan, serta kebun dari calo.
Warga pergi karena tidak mungkin bertahan setelah terdesak aktivitas pertambangan yang kian mendekati permukiman. ”Pembayaran itu benar-benar ganti rugi, bukan ganti untung atau minimal \'ganti sama\'. Setelah keluar dari sini, warga belum tentu bisa mendapat rumah dan tanah seperti sebelumnya,” tuturnya.
Mereka meninggalkan rumah yang sudah ditempati bertahun-tahun setelah menerima pembayaran ganti rugi atas tanah, bangunan, serta kebun dari calo.
Saat tambang masih beroperasi beberapa tahun lalu, menurut Sahruji, warga menerima kompensasi uang debu dan uang bising. Setelah tambang berhenti, warga mulai merasakan dampak kerusakan lingkungan. Tak hanya akses jalan terancam putus, aliran air bersih juga tak lancar.
Warga lalu memanfaatkan air di kolam tambang untuk mandi dan mencuci. Air dari kolam disedot ke tandon, lalu dialirkan ke rumah. Untuk keperluan masak dan minum, menurut Kaspul, warga biasanya membeli air di depot air minum isi ulang. ”Kadang-kadang air PDAM mengalir saat tengah malam,” ujarnya.
Jual tanah
Di Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Ngadinah (63) dulu memiliki tempat tinggal dan kebun. Total luas lahan yang dipunyainya adalah 2 hektar, yang diperolehnya setelah meninggalkan Pati, Jawa Tengah, karena mengikuti program transmigrasi pada 1981.
Sejak 2001, banyak perusahaan tambang melakukan survei di Desa Mulawarman guna mempersiapkan kegiatan eksplorasi setelah mendapat izin konsesi tambang. Tanah-tanah warga dibeli, termasuk milik Ngadinah. Aktivitas tambang batu bara kemudian dimulai tahun 2004.
Dari uang hasil penjualan tanah, Ngadinah membeli lahan 2 hektar di Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kertanegara, yang berjarak 110 kilometer dari Desa Mulawarman. Ia terpaksa membeli tanah di Kota Baru karena banyak lahan di Tenggarong Seberang menjadi konsesi tambang batu bara. Gara-gara lokasinya terlalu jauh, tanah di Kota Baru itu tidak mampu dirawat dan dimanfaatkan oleh Ngadinah.
Ngadinah dan keluarga akhirnya hanya mengandalkan hidup dari lahan tersisa di sekitar bekas rumahnya, sekitar 200 meter persegi. Ia menanaminya pohon rambutan, singkong, dan cabai. “Kalau ada lahan kosong, kita tanami apa saja untuk hidup,” katanya, Minggu (5/1/2020).
Pengajar Program Studi Pembangunan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Sri Murlianti, mengatakan, dampak kegiatan tambang di sekitar pemukiman warga tetap terasa meski pertambangan sudah berakhir. Menurut dia, pemerintah perlu membuat survei yang ketat sebelum izin tambang diberikan agar pemukiman warga tidak terganggu.
“Kebanyakan lokasi tambang berada di daerah transmigrasi. Itu ironi. Pemerintah dulu mendatangkan mereka, kemudian pemerintah juga memberi izin tambang di sana. Setelah tambang berakhir, pasti hidup rakyat tetap sulit karena kondisi lahan sudah tak seperti dulu,” ungkap Sri.