Masyarakat di wilayah bekas tambang mendapati lingkungan sekitar mereka menjadi rusak. Warga pun kini harus berjuang untuk mengatasinya.
Oleh
Jumarto Yulianus, Sucipto, dan Rhama Purna Jati
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Meski tambang memberi kontribusi tidak sedikit bagi perekonomian, ribuan lubang bekas tambang yang tersebar di seluruh Indonesia merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Keberadaan lubang-lubang itu menunjukan, pemerintah pusat serta daerah perlu lebih memperbaiki implementasi rehabilitasi pascatambang.
Di seluruh Indonesia, setidaknya terdapat 3.092 lubang bekas tambang batubara yang belum direhabilitasi. Angka ini merupakan hasil pemantauan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) hingga akhir 2018.
Menurut Jatam, Kalimantan Timur tercatat sebagai provinsi dengan jumlah titik bekas tambang paling banyak. Di provinsi ini, terdapat 1.735 lubang bekas tambang. Kalimantan Selatan menempati urutan kedua dengan 814 lubang, diikuti Sumatera Selatan (163 lubang), Kalimantan Tengah (163), dan Jambi (59).
Litbang Kompas mencatat, ada beberapa kabupaten dengan pertambangan berkontribusi besar terhadap produk domestik regional bruto (PDRB), yakni Muara Enim (55 persen) dan Musi Banyuasin (54 persen) di Sumatera Selatan; Paser (74 persen) dan Kutai Timur (81 persen) di Kalimantan Timur; serta Tabalong (44 persen) dan Balangan (62 persen) di Kalimantan Selatan. Secara umum, daerah-daerah tersebut mengalami kenaikan PDRB per kapita pada periode 2013 hingga 2018.
Di samping rumah
Meski demikian, di lokasi bekas tambang, ditemui kehidupan masyarakat yang kurang menggembirakan. Di Kecamatan Satui, Kabupaten tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, misalnya, lazim dijumpai pemandangan lubang tambang bekas batubara yang menganga. Dari Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan, Kecamatan Satui berjarak sekitar 165 kilometer.
Sahruji (48), warga Desa Makmur Mulia, Kecamatan Satui, menuturkan, lubang bekas tambang batubara yang berada persis di samping rumahnya dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi setelah aktivitas pertambangan berhenti pada 2013. “Setelah berhenti karena dirazia, lubangnya dibiarkan,” ujarnya.
Lubang bekas tambang batubara bak kolam raksasa ini hanya berjarak 10 meter dari rumah Sahruji. Air di kolam kehijauan. Sahruji menanam aneka pohon, seperti mangga, di antara rumahnya dan lubang tambang. ”Kedalaman lubang 50 meter. Was-was atas kemungkinan longsor,” katanya.
Menurut H Kaspul (45), warga Makmur Mulia lainnya, keberadaan lubang tambang bekas batubara itu mengancam kehidupan warga. ”Empat orang jadi korban. Tiga di antaranya anak-anak,” tuturnya.
Pada akses menuju permukiman warga setempat yang hanya berjarak 1 kilometer dari jalan raya, beberapa titiknya tergerus lubang tambang. Jalan berlubang itu ditutupi dengan karung-karung berisi tanah. Perbaikan dilakukan atas swadaya warga setempat. ”Susah mengharapkan pemerintah. Jangankan menutup lubang bekas tambang, jalan saja tak diperbaiki,” ujar Sahruji.
Di Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, lokasi tambang telah pindah lebih jauh dari permukiman. Namun, warga masih merasakan kondisi tak menggembirakan.
Berjarak hanya 50 meter di belakang pemukiman warga, ada gundukan tanah bekas galian. Pada 2015, lahan itu ditanami pohon oleh perusahaan tambang karena aktivitas mereka pindah menjauh. Pohon-pohon itu kini memiliki tinggi sekitar 5 meter.
Meski demikian, sebagian warga tetap mengandalkan air mandi dan cuci dari bantuan perusahaan karena air dari sumur berminyak. “Ada sumur yang sudah bisa untuk mandi dan cuci, tetapi sebagian warga masih mengandalkan air dari perusahaan karena air sumur mereka bau,” kata Ketua RT 10, Desa Mulawarman, Slamet Mulyono, Minggu (5/1/2019).
Sebagian warga masih mengandalkan air dari perusahaan karena air sumur mereka bau.
Setiap dua rumah di wilayah itu mendapatkan 1.200 liter air dua hari sekali bagi keperluan mandi dan cuci. Untuk minum, warga harus membeli air isi ulang. Padahal, sebelum tambang masuk pada 2004, masyarakat Desa Mulawarman mandi, mencuci, bahkan masak dengan air sungai atau sumur.
Digali lagi
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, rehabilitasi dan reklamasi diupayakan pada lubang bekas galian tambah timah, tetapi tak berhasil. Lahan bekas tambang digunakan lagi oleh segelintir oknum untuk mencari sisa timah.
Kepala Seksi Evaluasi Daerah Aliran Sungai dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Baturusa Cerucuk, Maman Sudirman, Kamis (9/1), mengatakan, kegiatan tambang timah rakyat di Bangka Belitung (Babel) kian masif. Dampaknya, ada kian banyak lubang menganga di Kepulauan Babel.
BPDASHL Baturusa Cerucuk mencatat, di Provinsi Kepulauan Babel pada 2018, ada 12.607 lubang tambang. Luas totalnya ialah 15.579 hektar.
Menurut Maman, upaya reklamasi dan rehabilitasi terus dilakukan, tetapi ada pula usaha untuk mengeruk kembali lahan yang direklamasi. ”Bahkan, sebuah kawasan yang baru direhabilitasi dan ditanami bibit selama dua bulan telah menjadi lubang tambang lagi,” ucapnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, kementeriannya merancang reklamasi lahan bekas tambang untuk tahun 2020 seluas 7.000 hektar. Di lahan bekas tambang, akan ditanam tumbuhan bioenergi.
Sementara itu, data Kementerian ESDM menunjukkan, pada 2019, dari rencana reklamasi 7.000 hektar, luasan yang terealisasi ialah 6.748 hektar atau 96,40 persen.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara ESDM Bambang Gatot Ariyono, kementerian itu memperhatikan masalah lahan bekas tambang. Meskipun pemerintah pusat tak bisa menindak pemegang izin usaha pertambangan yang tak memenuhi ketentuan, ESDM terus mendorong mereka untuk menaati aturan.
“Kami juga meminta pemerintah provinsi tak melayani mereka,” kata Bambang.