Penambahan enam ruas tol dalam kota bisa mengurangi kepadatan lalu lintas di Jakarta. Di sisi lain, tol dinilai kurang sejalan dengan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dan berpotensi meningkatkan pencemaran udara.
Oleh
Antonius Purwanto/Litbang Kompas
·4 menit baca
Penambahan enam ruas tol dalam kota bisa mengurangi kepadatan lalu lintas di Jakarta. Di sisi lain, tol baru dinilai kurang sejalan dengan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dan berpotensi meningkatkan pencemaran udara.
Usulan pembangunan enam ruas tol muncul pada 2005. Namun usulan proyek itu tak kunjung dikerjakan dan sempat menuai polemik.
Titik terang pembangunan enam ruas tol itu mulai terlihat setelah pemerintah pusat mengambil alih proyek dari Pemprov DKI Jakarta. Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Perubahan Nomor 58 Tahun 2017 yang kemudian direvisi melalui Perpres nomor 56 Tahun 2018.
Proyek enam tol baru itu meliputi Kampung Melayu-Kemayoran (9,6 km), Semanan-Sunter (20,2 km), Kampung Melayu-Duripulo (12,7 km), Sunter-Pulogebang (9,4 km), Ulujami-Tanah Abang (8,7 km), dan Pasar Minggu-Casablanca (9,2 km).
Saat ini, proses pengerjaan proyek terbagi dalam tiga seksi sepanjang 31,1 kilometer. Jumlah itu baru separuh dari total keseluruhan ruas tol yang memiliki panjang 69,8 kilometer.
Pembangunan enam ruas tol baru dipandang positif oleh hampir 60 persen responden jajak pendapat Kompas akhir Desember lalu. Lebih dari separuh dukungan berasal dari responden pengguna tol.
Tol baru itu dinilai akan membantu memecah kepadatan lalu lintas barat-timur Jakarta dan menambah kapasitas tol yang ada saat ini.
Selain itu, tol berkonstruksi layang tersebut akan menjadi jalur alternatif logistik barat-timur yang sudah padat. Saat ini, hanya ada dua tol di jalur tersebut, yaitu Tol Pelabuhan dan Tol Lingkar Luar (JORR).
Selain mengurangi beban tol dalam kota, enam ruas tol baru tersebut dianggap bisa mengurai kemacetan di ibu kota. Hal itu disampaikan oleh 64 persen responden.
Proyek enam ruas tol dalam kota akan menambah satu persen panjang jalan dari total panjang jalan nasional dan provinsi (6.956 kilometer) dan 3,7 persen dari total jalan di Jakarta yang seluas 48,5 juta meter persegi.
Akan tetapi, tidak semua responden mempunyai pandangan positif. Sekitar 36 persen responden justru menyatakan pendapat berbeda. Penambahan tol baru dinilai akan menambah beban lalu lintas dalam kota dan meningkatkan pergerakan mobil masuk ke pusat kota.
Pembangunan tol baru juga tidak akan mengurai kemacetan secara efektif seperti dinyatakan sekitar seperempat lebih responden. Alasannya, jika jalan bertambah, akan memicu penambahan kendaraan pribadi. Simpul-simpul kemacetan baru diperkirakan muncul seiring meningkatnya kendaraan pribadi.
Jika enam ruas tol baru ini selesai dibangun, penambahan jalan tidak akan signifikan memenuhi kebutuhan lalu lintas kendaraan bermotor di ibu kota. Pertumbuhan jalan tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan pribadi yang mencapai 5-7 persen per tahun.
Penambahan tol baru dikhawatirkan akan meningkatkan polusi udara dan berdampak pada kesehatan masyarakat. Hal itu dinyatakan oleh hampir 47 persen responden.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) tahun 2016 pernah memperkirakan keseluruhan tol di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sepanjang 565 kilometer menghasilkan karbondioksida (CO2) sekitar 16,62 juta ton per tahun.
Jika ditambah dengan adanya enam ruas tol baru ini, kontribusi karbodioksida akan bertambah sekitar 3 juta ton per tahun.
Kendati tol baru dalam kota bisa mengurangi kemacetan, namun hanya sebagian kecil responden yang menganggapnya sebagai prioritas utama. Jalan baru yang dibangun tak akan mampu menampung jumlah dan pertumbuhan kendaraan yang beredar.
Kebijakan pembatasan kendaraan pribadi justru dinilai oleh tiga dari lima responden sebagai prioritas utama dalam menyelesaikan persoalan kemacetan. Kebijakan pembatasan kendaraan pribadi itu meliputi sistem ganjil-genap, pajak progresif, maupun sistem jalan berbayar (electronic road pricing/ERP).
Kebijakan pembatasan kendaraan pribadi bisa dimanfaatkan untuk mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum. Menurut catatan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, sebulan setelah perluasan kebijakan ganjil-genap, September 2019, jumlah penumpang bus transjakarta naik 12 persen.
Cara lain dengan membuat transportasi umum menjadi menarik, yakni dengan membuat angkutan umum menjadi lebih mudah diakses, nyaman, dan berkualitas. Hal itu disampaikan oleh 32 persen responden.
Menurut studi Transjakarta, sekitar 73 persen penduduk sudah bisa mengakses angkutan JakLingko kurang dari 500 meter dari tempat tinggal mereka. Hal itu berarti angkutan umum sudah semakin mendekati masyarakat. Kondisi bus yang nyaman dengan fasilitas pendingin ruangan juga semakin menarik minat warga untuk menggunakannya.
Mengurai kemacetan di DKI Jakarta memang bukan perkara mudah. Pembangunan ruas tol baru bukanlah solusi utama. Saat ini yang dibutuhkan adalah kehadiran transportasi massal yang memadai dan dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi.