Nasib Nelayan Natuna, Ditertawakan dan Diolok-olok Pencuri di Laut Sendiri
Derai tawa dan olok-olok pencuri itu terngiang terus di telinga nelayan lokal. Mereka sudah terlalu sering merasakan pahitnya terusir dari laut sendiri, Natuna.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Sungguh aneh di Natuna. Pencuri tak takut melihat tuan rumah datang. Di Laut Natuna Utara, pencuri bisa petantang-petenteng mengusir si tuan yang malang. Derai tawa dan olok-olok pencuri itu terngiang terus di telinga nelayan lokal. Mereka sudah terlalu sering merasakan pahitnya terusir dari laut sendiri.
”Mereka terlalu. Kalau kami enggak minggir, ya, ditabrak. Sudah lari pun, masih juga kami diolok-olok,” kata Taufik (40), mengomentari cuplikan video yang ditampilkan acara Mata Najwa, Rabu (8/1/2020).
Malam itu, kedai kopi di tepi Pelabuhan Lubuk Lumbang, Kecamatan Bunguran Timur, Natuna, sesak dengan para nelayan yang asik menyimak televisi. Tiga nelayan di antaranya, yaitu Taufik, Adri (55), dan Rudi (30), tak henti tertawa dan mengejek komentar para pejabat yang hadir dalam unjuk bincang itu.
Mereka adalah anak buah Kapal Motor Rajawali yang ikut merekam pesta puluhan kapal pencuri ikan di Laut Natuna Utara pada Kamis (26/12/2019). ”Kalau ada yang bilang nelayan Natuna enggak pernah ke laut lepas, pengin rasaya bawa orang itu ikut kapal kami. Biar mereka lihat kenyataan di laut,” ucap Adri.
Kapal ikan asing biasanya akan masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara bersamaan dengan datangnya musim angin utara pada akhir November hingga Januari. Pada periode itu, tinggi gelombang bisa mencapai lebih dari 6 meter. Hal ini memang menakutkan bagi sebagian nelayan.
”Ada juga sebagian yang tetap berani melaut. Gelombangnya memang lebih tinggi daripada tiang kapal, tetapi untuk yang sudah biasa seperti kami ini, ya, sambil menyanyi saja biar tak takut,” kata Rudi.
Namun, gelombang tinggi saat musim angin utara bukanlah yang paling menakutkan. Hal itu ada sejak leluhur nelayan Natuna pertama kali melaut. Satu-satunya hal yang bisa membuat nelayan kembali ke darat sebelum waktunya adalah tali jangkar yang putus saat lari karena dikejar kapal asing pencuri ikan.
Kapal nelayan di Natuna rata-rata berukuran 3 gros ton (gt) sampai 5 gt. Alat tangkapnya tradisional berupa pancing. Hanya dengan perlengkapan itu mereka sanggup bertahan satu hingga dua minggu untuk menangkap ikan karang yang bernilai tinggi, yaitu kakap merah, anguli, kerapu, dan sunu.
Sedangkan kapal asing dari Vietnam ataupun China yang mencuri ikan di Laut Natuna Utara rata-rata berukuran 30 gt sampai 100 gt, bahkan lebih. Mereka menangkap ikan berkelompok menggunakan pukat harimau. Satu kelompok pencuri biasanya terdiri atas lebih kurang 20 kapal asing.
”Kalau malam, tekong (nakhoda) tak bisa tidur tenang. Pasti waswas karena harus selalu siap potong tali jangkar untuk lari kalau ada kapal pukat yang mendekat,” ujar Rudi.
Pukat harimau mengeruk kekayaan laut sampai ke dasar. Sedikit saja nelayan lokal terlambat untuk menghindar, jangkar mereka bisa tersangkut, lalu terseret entah sampai mana kapal pukat itu berlayar.
Di perairan yang berjarak 60 mil laut (111 kilometer) dari Pulau Laut, kata Rudi, terumbu karang sudah hancur terkena pukat harimau dan tinggal menyisakan lumpur. Hal ini menjadi pukulan telak bagi nelayan lokal yang sehari-hari menangkap ikan karang. Butuh waktu lama agar habitat ikan karang itu bisa kembali seperti semula.
”Bayangkan jumlahnya ada puluhan atau ratusan. Karena sangat banyak, kalau malam mereka bentuknya seperti pulau yang terang benderang,” kata Taufik.
Bayangkan jumlahnya ada puluhan atau ratusan. Karena sangat banyak, kalau malam mereka bentuknya seperti pulau yang terang benderang.
Seperti belum cukup penderitaan nelayan lokal, kapal asing pencuri ikan itu, selain jauh lebih besar dan jauh lebih banyak, juga selalu dikawal kapal penjaga pantai. Hal itu membuat nelayan lokal jengkel bukan kepalang. Mereka sama sekali tak berkutik melihat lautnya dijarah setiap hari dan berulang-ulang.
Setelah Susi Pudjiastuti tak lagi menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, nelayan di Natuna bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Mereka kembali lagi ke masa saat kapal asing pencuri ikan marak. Nelayan yang berani sampai ke tengah ketakutan, sedangkan nelayan kecil di pinggir tak kebagian ikan.
Pencurian ikan yang merajalela itu membuat tangkapan nelayan lokal anjlok. Jika biasanya mereka bisa mengumpulkan 1,5 ton ikan karang, kini lebih sering tak mencapai 1 ton. Ikan tongkol yang biasanya sangat mudah didapat ketika musim angin utara juga habis dilibas pukat harimau kapal-kapal asing.
”Ya begitu, sekarang kami yang lari kayak pencuri. Kalau zaman Bu Susi tak ada cerita. Yang namanya pencuri, ya, ditangkap terus ditenggelamkan sekalian jadi mereka takut kembali ke sini lagi,” kata Adri.
Dampak pencurian ikan juga dirasakan nelayan dengan kapal di bawah 3 gt yang biasa melaut di bawah 30 mil (55 km). Salah satu nelayan itu, Bujang (65), mengatakan, kini dirinya jarang bisa mendapat tangkapan di atas 100 kg. Padahal, empat tahun belakangan, ia menikmati tangkapan rata-rata 150 kg setiap kali melaut.
”Waktu Bu Susi sering tenggelamkan kapal, memang betul ikan tambah banyak dan sampai ke pinggir. Kalau kapal asing tak ada masuk, hidup jadi nelayan itu sebenarnya enak,” ucap Bujang.
Waktu Bu Susi sering tenggelamkan kapal, memang betul ikan tambah banyak dan sampai ke pinggir. Kalau kapal asing tak ada masuk, hidup jadi nelayan itu sebenarnya enak.
Pencurian ikan oleh kapal asing bukan persoalan biasa yang bisa diselesaikan para diplomat dengan saling berkirim surat. Juga ini bukan saatnya penjaga pantai Indonesia mengobrol santai lewat radio dengan aparat asing. Bagi negara yang mengaku bangsa maritim seharusnya masalah itu tak dianggap sepele.
Dalam sebulan, sekitar satu minggu saja nelayan tinggal di darat. Untuk mereka laut adalah rumah yang sesungguhnya. Hidup dan mati keluarga mereka ditentukan hasil dari melaut. Setiap ikan yang dicuri nelayan asing adalah hilangnya cadangan masa depan anak-anak nelayan Natuna.