Benderang Tenaga Surya di Muara Enggelam
Kehadiran pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS di Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, memberi harapan dan kemudahan beraktivitas bagi warga yang selama ini terisolasi. Pengelolaan yang baik bisa membuat warga menambah panel surya secara mandiri.
Lampu-lampu di rumah panggung dan rumah apung menyala saat langit mulai gelap, akhir November 2019 lalu. Sejumlah nelayan pulang membawa hasil ikan tangkapan di atas ketinting. Beberapa warga menyalakan televisi dan radio. Tak lama berselang, suara azan pertanda Maghrib terdengar dari masjid desa.
Desa yang terletak di tepi Danau Melintang ini terisolasi dan jauh dari daratan. Saat pasang, permukaan air Danau Melintang naik hingga 7 meter. Itu membuat rumah-rumah di sana dibangun dengan tiang penyangga mencapai 8 meter. Tak ada jalan aspal di desa ini, hanya jembatan kayu ulin yang memanjang sekitar 1,5 kilometer.
Motor yang dimiliki warga hanya digunakan di jembatan kayu ulin itu. Jika ingin bepergian ke desa lain, biasanya motor dibawa menggunakan perahu bermesin dan dikendarai ketika sampai di darat. Daratan terdekat adalah Kecamatan Kota Bangun, ditempuh sekitar 1,5 jam menaiki perahu kayu bermesin 15 tenaga kuda.
Keterisolasian itu membuat warga di sana harus bertahan hidup tanpa aliran listrik selama bertahun-tahun. Pada mulanya, warga hanya menggunakan lampu teplok dengan bahan bakar minyak sekitar tahun 1970-an. Setelah itu, warga menggunakan genset komunal yang dikelola desa sejak awal tahun 2000.
”Dulu, kalau pakai genset biayanya Rp 8.000 satu malam, tetapi hanya menyala pada malam hari dari pukul 17.00 Wita sampai 06.00 Wita,” kata Jaring (60), salah satu warga. Setiap rumah kebagian jatah listrik 600 watt.
Pada masa-masa itu, warga harus bersiasat pada siang hari. Untuk mendengarkan radio, mereka memanfaatkan baterai. Jika butuh listrik untuk menghaluskan kayu pada siang hari, mereka harus membeli bahan bakar sendiri untuk menyalakan genset.
Suasana berubah sejak 2015. Pengajuan pembangkit listrik tenaga surya warga terwujud. Desa Muara Enggelam mendapat bantuan seperangkat pembangkit listrik tenaga surya senilai Rp 3,5 miliar dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan daya 30 kilowatt-peak (kWp). PLTS itu dikelola secara komunal dan dialirkan ke setiap rumah milik 175 keluarga. Sejak saat itu, tak ada deru genset pada sore hari.
Lokasi panel surya diletakkan di lahan seluas 100 meter persegi di belakang kantor pemerintah desa. Terdapat juga penangkal petir di lokasi itu untuk menjamin keamanan panel saat hujan. Energi dari panel surya dialirkan ke sebuah ruangan seluas 36 meter persegi. Di ruangan itu terdapat puluhan solar inverter yang mengubah arus DC dari panel surya menjadi arus AC sebelum dialirkan ke rumah warga.
Sejak saat itu, warga bisa menggunakan listrik selama 24 jam dengan biaya yang lebih murah dibandingkan menggunakan genset komunal. Setiap rumah bisa memilih berapa kebutuhan listrik masing-masing. Untuk kebutuhan listrik 700 watt, warga membayar Rp 6.000 per hari; 600 watt Rp 5.000 per hari, dan 350 watt Rp 3.000 per hari.
Dikelola BUMDes
Kepala Desa Muara Enggelam Juhar mengatakan, biaya yang dibayarkan warga digunakan untuk perawatan dan penambahan daya yang dikelola badan usaha milik desa (BUMDes). Pada 2018, panel surya di Muara Enggelam ditambah sebanyak 45 unit.
”Biayanya berasal dari dana pendapatan BUMDes sekitar Rp 350 juta dan dana modal dari pemerintah desa Rp 300 juta. Penambahan dayanya mencapai 12 kWp,” kata Juhar.
Kehadiran listrik yang menyala 24 jam ini menolong warga yang seluruhnya berprofesi sebagai nelayan tangkap tradisional. Ketika malam hari, mereka biasanya mengemas dan membagi ikan-ikan hasil tangkapan sebelum akhirnya dijual. Dengan daya listrik yang cukup besar, mereka tak perlu khawatir untuk menyalakan kipas angin selagi bekerja.
”Saat mencuci ikan juga butuh menyalakan pompa air yang butuh daya cukup tinggi. PLTS sangat membantu sekali dan lebih hemat dibandingkan menggunakan genset komunal,” kata Barda (53), salah satu pengepul ikan.
Meski tinggal jauh dari pusat pemerintahan, warga desa tak ingin ketinggalan informasi. BUMDes akhirnya membuat usaha TV kabel dengan biaya Rp 20.000 per bulan. Berbagai program televisi, baik dalam maupun luar negeri bisa ditonton warga. Saluran edukasi juga dipilih untuk sarana belajar anak-anak.
Percontohan
Desa Muara Enggelam menjadi salah satu desa dari 99 desa terbaik dalam pelayanan publik melalui PLTS yang dikelola. Predikat yang diberikan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu membuat nama desa ini dikenal banyak pemerintah desa di Indonesia.
Peneliti dan pemerintah desa dari berbagai wilayah pernah bertandang ke desa ini untuk belajar manajemen pengelolaan PLTS. Para pengunjung itu juga belajar manajemen keuangan agar bisa mengelola uang untuk menambah daya listrik dan perawatan.
Ketua BUMDes Muara Enggelam Ramsyah mengatakan, penghasilan dari PLTS ini rata-rata Rp 200 juta per tahun. Selain untuk perawatan dan penambahan daya, uang itu juga digunakan untuk membuka unit usaha lain, seperti sarang burung walet.
”Kehadiran listrik juga mendukung usaha sarang burung walet yang baru kami jalankan untuk menyalakan pengeras suara agar burung-burung walet datang dan bersarang,” kata Ramsyah.
Kelemahan PLTS adalah bergantung pada sinar matahari. Saat musim hujan tiba, warga harus bersiasat untuk berhemat. Biasanya, mereka mengurangi intensitas penggunaan alat elektronik, seperti televisi, kipas angin, atau penanak nasi elektronik. Mereka lebih mengutamakan listrik untuk kebutuhan lampu, alat komunikasi, dan pompa air. Jika butuh tambahan daya, pada masa itu mereka menggunakan bantuan genset.
Desa Muara Enggelam termasuk desa tertinggal. Namun, keberadaan desa ini seolah menjadi mutiara di tengah banyaknya eksploitasi lahan untuk pertambangan batubara di Kalimantan Timur yang menggerus banyak sumber air warga. Desa ini membuktikan, setidaknya energi ramah lingkungan bisa digunakan untuk komunitas-komunitas kecil dan bisa dikembangkan secara mandiri tanpa merusak lingkungan.