Penemuan limbah barang beracun dan berbahaya (B3) dari fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) yang tidak diolah dan dibuang secara benar mendesak untuk diselesaikan. Tidak hanya mengancam kondisi lingkungan, limbah ini berpotensi untuk mengganggu kesehatan atau bahkan berujung pada kematian ketika terpapar manusia.
Menurut PP 101/2014 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, limbah dipahami sebagai zat, energi, atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi atau jumlahnya dapat membahayakan lingkungan hidup serta, kesehatan, serta kelangsungan hidup. Selayaknya bidang industri lain, industri medis, baik rumah sakit maupun farmasi, pun menghasilkan limbah yang berbahaya.
Limbah B3 dari fasyankes sendiri dapat digolongkan menjadi beberapa jenis. Klasifikasinya meliputi limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, serta limbah kimiawi.
Selain itu ada juga limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat tinggi. Setiap jenis limbah B3 tersebut memiliki tingkat kebahayaan dan potensi risiko kesehatan yang berbeda beda.
Jenis limbah infeksius merupakan limbah yang terkontaminasi organisme patogen yang biasanya tidak terdapat di lingkungan umum. Selain itu, organisme tersebut ada dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia rentan.
Selanjutnya, limbah sitotoksik merupakan limbah dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan dan pemberian obat sitotoksis untuk kemoterapi kanker yang mempunyai kemampuan untuk membunuh dan menghambat pertumbuhan sel hidup.
Limbah benda tajam merupakan objek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, maupun pisau bedah.
Yang disebut sebagai limbah radioaktif merupakan bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida. Selain itu, limbah dengan kandungan logam berat tinggi merupakan limbah yang mengandung logam berat yang berbahaya, seperti misalnya Kromium (Cr), Arsen (As), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), dan Nikel (Ni).
Mengukur Limbah
Menurut kriteria World Health Organization (WHO), pengelolaan limbah rumah sakit dikatakan baik ketika persentase limbah medis berada di angka 15 persen. Namun, di Indonesia angka ini mencapai 72,7 persen. Parahnya, pemeriksaan kualitas limbah hanya dilakukan oleh 57,5 persen rumah sakit.
Tak heran, pada tahun 2014, rerata nasional produksi limbah rumah sakit mencapai 376.089 ton/hari untuk limbah padat dan 48.985,70 ton/hari untuk limbah cair.
Merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.56 Tahun 2015, pengolahan limbah B3 fasyankes melalui 6 tahapan proses. Tahapan ini meliputi tahap pengurangan dan pemilahan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, penguburan, dan penimbunan.
Namun, tidak semua limbah B3 yang dihasilkan fasyankes diolah sendiri. Padahal, menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan KEP-58/MENLH/12/1995, setiap rumah sakit diwajibkan menyediakan sarana pengelolaan limbah cair maupun limbah padat agar seluruh limbah yang akan dibuang ke saluran umum harus memenuhi baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan.
Serupa dengan limbah dari industri lain, limbah medis B3 mengandung bahan-bahan organik dan anorganik. Untuk mengetahui tingkat pencemaran limbah medis B3 akibat bahan organik dapat dilakukan berbagai uji, salah satunya uji air kotor. Umumnya, parameter yang digunakan adalah Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan bebas NH3 (amoniak).
Parameter BOD mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan atau mengoksidasikan zat organik yang terlarut dan yang tersuspensi dalam air. Air tercemar limbah zat organik mengandung bakteri di dalamnya yang akan menghabiskan oksigen terlarut.
Hal ini akan menyebabkan air tersebut menjadi anaerobik dan menimbulkan bau busuk pada air. Dapat disimpulkan, semakin tinggi nilai BOD di dalam air limbah, semakin tinggi pula tingkat pencemaran yang ditimbulkan.
Walau berbeda, parameter COD secara prinsip serupa dengan BOD. COD mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam satu liter sampel air. Angka COD yang ditunjukkan menjadi acuan bagi pencemaran air oleh zat organik yang secara alami dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis.
Akibatnya, oksigen yang terlarut dalam air berkurang. Semakin rendah nilai oksigen terlarut berarti terjadi peningkatan beban pencemaran. Hal itu terjadi karena koagulan yang bekerja harus bereaksi terlebih dahulu dengan polutan dalam air dan menyebabkan konsumsi oksigen bertambah. Dengan demikian, semakin besar oksigen yang terlarut dapat diartikan bahwa tingkat pencemaran air tersebut relatif rendah.
Setiap rumah sakit diwajibkan menyediakan sarana pengelolaan limbah cair maupun limbah padat
Setelah diolah, semestinya kadar COD, BOD, dan kandungan Amonia berada di bawah atau paling tidak sama dengan standar yang telah ditentukan. Sayangnya, tak semua limbah yang diolah memenuhi standar tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Prayitno dkk (2012) menunjukkan beberapa contoh hasil olahan limbah cair beberapa rumah sakit di Kota Malang yang masih memiliki kadar COD, BOD, dan Amonia yang lebih tinggi dari standar.
Apabila limbah tersebut dibuang ke sumber air atau tanah, masyarakat dan lingkungan di sekitar rumah sakit pun akan terpapar bahan berbahaya.
Penyakit
Limbah B3 memiliki risiko membahayakan kesehatan apabila terpapar manusia dan makhluk hidup lain. Selain dapat melukai, limbah benda tajam seperti jarum suntik dapat menyebarkan penyakit berbahaya.
Beberapa penyakit yang dapat ditularkan dari limbah jarum suntik adalah infeksi Hepatitis B dan C, serta HIV. Tidak hanya itu, buangan limbah cair dari fasyankes juga dapat menimbulkan risiko penularan penyakit seperti kolera, tifoid, malaria, serta penyakit kulit.
Selain kedua jenis limbah tersebut, limbah fasyankes yang tak kalah bahaya adalah limbah dengan kandungan logam berat. Jenis limbah ini, terutama yang mengandung merkuri, sangat berbahaya jika terpapar manusia terutama bayi dan janin.
Dampak merkuri bagi kesehatan meliputi kerusakan sistem syaraf pusat, kerusakan ginjal, dan kerusakan paru-paru. Untuk bayi dan janin, paparan merkuri dapat menyebabkan cacat mental, kebutaan, dan cerebral palsy yang berujung pada meningkatnya angka kematian bayi. (Litbang Kompas)