Utak-atik Kursi Berujung Korupsi
Kasus Wahyu Setiawan yang menyeret Harun Masikun mesti diperhatikan khusus karena jadi pintu masuk pengungkapan kasus-kasus lain. Akrobat-akrobat politik dengan memanfaatkan jaringan di lembaga/instansi perlu diwaspadai.

Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disaksikan Ketua KPU Arief Budiman (kiri), pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar, dan Juru Bicara KPK Ali Fikri menunjukkan barang bukti operasi tangkap tangan terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2020). KPK menetapkan Wahyu Setiawan sebagai tersangka dengan barang bukti uang Rp 400 juta dalam bentuk dollar Singapura.
Godaan kursi panas di Senayan memang berat. Setelah gagal dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 melalui Partai Demokrat, Harun Masiku mencoba peruntungan lewat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan lima tahun setelahnya. Alih-alih berhasil masuk Gedung Kura-kura, ia justru terjerat Komisi Pemberantasan Korupsi.
Akrobat Harun Masiku (48) untuk menjadi anggota legislatif mulai tersingkap saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan di Jakarta, Rabu (8/1/2020). Berdasarkan hasil pemeriksaan KPK, Harun bermaksud menyuap Wahyu sebesar Rp 900 juta untuk memuluskan keinginannya.
Harun merupakan calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2019, caleg dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I itu kalah dari Nazarudin Kiemas dan Riezky Aprilia (44.402 suara). Ia menempati peringkat ketiga setelah dua caleg PDI-P lainnya itu dengan raihan 5.878 suara.
Sekalipun meraih suara terbanyak, Nazarudin tak bisa ditetapkan sebagai anggota DPR. Sebab, ia meninggal 17 hari sebelum pileg digelar pada 17 April 2019. Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, penggantian Nazarudin merupakan titik pangkal suap yang dilakukan Harun.

Surat suara pemilihan calon anggota legislatif DPR RI di daerah pemilihan Sumatera Selatan 1. Harun Masiku maju sebagai caleg PDI-P dengan nomor urut 6.
Mengacu Pasal 426 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diganti oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
Calon terpilih itu diganti dengan calon dari daftar calon tetap partai politik peserta pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya. Adapun peraih suara terbanyak kedua adalah Riezky.
Namun, kata Lili, salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P meminta kuasa hukum partai berinisial Don untuk menguji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan itu dikabulkan MA. Pada 19 Juli 2019, MA menetapkan, partai adalah penentu suara dan pengganti antarwaktu (PAW).
”Penetapan MA itu kemudian menjadi dasar PDI-P berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti caleg yang sudah meninggal tersebut,” ujar Lili.
Akan tetapi, KPU tak mengabulkan permintaan tersebut. Dalam rapat pleno yang digelar pada 31 Agustus 2019, KPU justru menetapkan Riezky sebagai pengganti Nazarudin.

Pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar (tengah) bersama Ketua KPU Arief Budimam (kiri) dan Juru Bicara KPK Ali Fikri memberikan keterangan terkait operasi tangkap tangan terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2020). KPK menetapkan Wahyu Setiawan sebagai tersangka dengan barang bukti uang Rp 400 juta dalam bentuk dollar Singapura.
PDI-P pun bersikukuh. Dua pekan setelah penetapan KPU, partai kembali mengajukan fatwa MA. Setelah fatwa tersebut keluar, PDI-P mengirim surat penetapan caleg ke KPU.
Suap
Di samping upaya hukum yang digencarkan partai, Harun pun menjajaki kemungkinan lain. Ia berusaha memberikan dokumen dan fatwa MA itu kepada komisioner KPU Wahyu Setiawan melalui beberapa perantara. Mereka adalah Saeful, salah seorang staf Sekretariat DPP PDI-P dan Agustiani Tio Fridelina, orang kepercayaan Wahyu yang juga mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2008-2012.
Dokumen dan fatwa MA itu kemudian disampaikan Saeful kepada Agustiani. Adapun Wahyu menerimanya dari Agustiani dan menyanggupi untuk membantu proses penetapan Harun melalui mekanisme PAW.
”Untuk membantu Harun, Wahyu meminta dana operasional sebesar Rp 900 juta,” ujar Lili.
Lili menambahkan, Harun memenuhi permintaan itu. Pada akhir Desember 2019, ia menyerahkan uang Rp 850 juta kepada Saeful. Sejumlah uang itu kemudian dibagi ke sejumlah pihak, antara lain Rp 150 juta untuk kuasa hukum partai Don, Rp 450 juta untuk Agustiani, dan Rp 250 juta untuk dana operasional.
Adapun Wahyu diduga menerima Rp 200 juta pada pertengahan Desember 2019, kemudian Rp 400 juta pada akhir Desember 2019. Keduanya diterima dari Agustiani. Namun, usaha itu tetap gagal. KPU menolak permohonan PDI-P melalui rapat pleno pada 7 Januari 2020.
”Setelah gagal di rapat pleno, Wahyu menghubungi Don, menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi pengganti antarwaktu,” ujar Lili.
Setelah gagal di rapat pleno, Wahyu menghubungi Don, menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi pengganti antarwaktu.
Baca juga : Wahyu Setiawan Tersangka, Diduga Terima Rp 600 Juta untuk Urus PAW PDI-P
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan sudah membaca fatwa MA yang diajukan PDI-P. Akan tetapi, hal tersebut tak bisa dijalankan karena bertentangan dengan UU Pemilu.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto pun membenarkan, partai memang ingin menggantikan Riezky dengan Harun. Harun dinilai sebagai sosok yang bersih dan memiliki rekam jejak baik.
”Pertimbangan kami karena ada putusan MA. Ketika ada yang meninggal, MA menyerahkannya kepada partai. Tanpa ada putusan MA itu, kami tidak mungkin mengambil keputusan,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto memberikan keterangan terkait penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Kantor DPP PDI-P, Jakarta, Sabtu (21/12/2019). Rakernas dan peringatan HUT Ke-47 PDI-P akan berlangsung di Jakarta pada 10-12 Januari 2020. Tema yang akan diusung adalah ”Solid Bergerak Wujudkan Indonesia Negara Industri Berbasis Riset dan Inovasi Nasional”.
Nama Hasto pun sempat dikaitkan dengan kasus ini karena Saeful merupakan stafnya. Namun, ia menolaknya. Menurut dia, persoalan hukum yang menjerat staf, anggota, dan kader PDI-P sudah tidak menjadi tanggung jawab partai.
Mendekati penguasa
Berdasarkan dokumen daftar riwayat hidup bakal calon anggota legislatif KPU, Harun lahir di Jakarta pada 1971, tetapi besar di Sulawesi Selatan. Ia menempuh pendidikan dasar dan menengah di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Jenjang pendidikan tinggi ia mulai di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada 1989-1994. Pada periode yang sama, ia juga menjabat sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.
Harun melanjutkan pendidikan pascasarjana di University of Warwick, Inggris, jurusan hukum ekonomi internasional. Peraih British Chevening Award pada 1998 itu juga pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Pelajar Indonesia United Kingdom West Midland 1998-1999.
Sepulang dari Inggris, ia bekerja sebagai pengacara di sejumlah kantor hukum dan pernah pula menjadi tenaga ahli anggota Komisi III DPR pada 2011. Riwayat politik praktisnya dimulai dengan menjadi kader Partai Demokrat pada 2009. Saat itu, ia juga menjadi bagian dari tim sukses pemenangan Pemilu dan Pilpres Partai Demokrat 2009 di Sulawesi Selatan.
Setelah ikut mengantarkan Demokrat sebagai pemenang pada 2009, Harun pun ikut berkontestasi dalam Pileg 2014. Saat itu, ia mewakili daerah Sulawesi Selatan III yang meliputi Kabupaten Sidenreng Rappang, Enrekang, Tana Toraja, Toraja Utara, Luwu Utara, Luwu Timur, Pinrang, Palopo, dan Luwu. Namun, ia gagal.

Profil Harun Masiku saat maju sebagai calon anggota legislatif DPR RI dari Partai Demokrat pada Pemilu 2014. Harun maju dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan 3.
Partai Demokrat sempat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas kekalahan Harun. Demokrat menduga, ada pengurangan perolehan suara Harun sehingga ia meraih 32.728 suara.
Dalam permohonannya, Demokrat menjelaskan, jika suara hilang tersebut dikembalikan, perolehan Harun bisa mencapai 37.728 suara. Jumlah tersebut melebihi ambang batas perolehan suara sehingga ia bisa melaju ke Senayan. Namun, dalam Putusan Nomor 10-07-27/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014 Provinsi Sulawesi Selatan, Mahkamah yang diketuai Hamdan Zoelva menolak permohonan tersebut.
Sekalipun gagal, asa Harun untuk melenggang ke Senayan belum pupus. Ia kembali mencalonkan diri pada 2019 melalui PDI-P yang telah dua kali berturut-turut menjadi pemenang pemilu.
Lantas, apa yang membuat Harun bersikukuh ingin menjadi anggota legislatif? Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon mengaku sama sekali tidak mengenal sosok Harun semasa menjadi kader Demokrat.
”Jujur saya tidak mengenal Harun. Sulit juga berkomentar kalau tidak kenal individu yang bersangkutan,” kata Jansen.
Hingga saat ini, Harun dan motifnya memang masih menjadi misteri. Sekalipun sudah menetapkannya sebagai tersangka, KPK pun belum bisa menangkap Harun.
Baca juga : Yang Janggal dari Penangkapan Wahyu Setiawan
Peringatan
Sepak terjang Harun tentu tidak mulus jika ia berhadapan dengan sistem yang bersih. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpendapat, aksi Harun dimungkinkan karena sistem pengawasan internal KPU belum berjalan efektif.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini
Oleh karena itu, kasus ini menjadi peringatan bagi KPU untuk membenahi sistem kerjanya secara komprehensif. Hal itu mulai dari penguatan sistem pengawasan, penciptaan aturan yang menjamin akuntabilitas kerja, hingga pembuatan kode etik perilaku yang ketat dan tegas. Seluruhnya berlaku baik untuk komisioner maupun sekretariat.
Kasus ini menjadi peringatan bagi KPU untuk membenahi sistem kerjanya secara komprehensif.
Selain itu, menurut Titi, KPU juga harus memperbaiki sistem rekrutmen komisioner. Penentuan calon terpilih perlu dijamin bebas dari kepentingan politik. Sebagaimana diketahui, Wahyu merupakan mantan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), organisasi ekstra kampus onderbouw (organisasi sayap) PDI-P.
”Sebaiknya mulai dipikirkan juga tentang masa jeda selama lima tahun bagi mantan anggota KPU untuk terlibat dalam aktivitas politik,” kata Titi.
Baca juga : Kredibilitas KPU Tercoreng
Ia mengingatkan, kasus ini rentan dipolitisasi untuk menggerogoti praktik dan instrumen demokrasi langsung. Oleh karena itu, perlu strategi komunikasi publik yang baik dari KPU agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang proporsional, tidak berspekulasi agar kepercayaan publik tetap bisa terjaga.
Selain itu, ini juga menjadi pengingat keras bagi PDI-P sebagai partai besar. Berkaca dari pengalaman memenangi pemilu dua kali berturut-turut, PDI-P mesti waspada dan berhati-hati terhadap tindak-tanduk para kadernya.
Bila tak berhati-hati, PDI-P mungkin bisa mengalami nasib serupa Demokrat. Pada 2009, Demokrat muncul sebagai partai pemenang pemilu dengan perolehan 20,85 persen suara. Namun, setelah berkuasa, Partai Demokrat justru didera kasus korupsi.
Sejumlah kadernya ditangkap KPK pada rentang 2011-2014, perolehan suara Demokrat pada Pemilu 2014 melorot menjadi 10,19 persen. Jumlah itu terus mengalami penurunan. Pada Pemilu 2019, perolehan suara Demokrat kembali anjlok ke angka 7,77 persen.

Kasus Wahyu Setiawan yang menyeret Harun Masikun mesti menjadi perhatian khusus karena menjadi pintu masuk pengungkapan kasus-kasus lainnya.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, mengemukakan, secara psikologis, logika partai penguasa atau pemenang pemilu akan merasa kuat karena memiliki segalanya. Partai penguasa memiliki segala sumber daya, relasi, dan kolega.
Oleh sebab itu, bisa dipastikan semua pihak akan menjadikan penguasa sebagai rekan atau partner utama. ”Tapi satu hal yg pasti, penegakan hukum kita sudah mengalami kemajuan signifikan. Tak pandang bulu. Siapa pun akan diproses jika melanggar,” kata Adi.
Salah satu ujian bagi partai pemenang pemilu di periode kedua kekuasaan adalah bagaimana mempertahankan praktik politik bersih dan berintegritas.
Peneliti dan pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menjelaskan, dukungan publik kepada partai pemenang pemilu di periode kedua berkuasa cenderung meningkat. Terlebih lagi di periode kedua partai pemenang pemilu menguasai banyak sumber daya politik, posisi-posisi penting, jaringan politik, dan sumber-sumber pendanaan politik.
”Karena itu, salah satu ujian bagi partai pemenang pemilu di periode kedua kekuasaan adalah bagaimana mempertahankan praktik politik bersih dan berintegritas,” ujar Arya.
