Perseteruan antara Amerika Serikat dan Iran tampak sedikit mereda setelah sempat memanas. Washington memutuskan tidak membalas serangan Teheran. Agresi Iran hanya diganjar sanksi baru AS.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·2 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Perseteruan antara Amerika Serikat dan Iran tampak sedikit mereda setelah sempat memanas. Washington memutuskan tidak membalas serangan Teheran. Agresi Iran hanya diganjar sanksi baru AS.
Presiden AS Donald Trump dalam konferensi pers mengatakan, AS tidak harus membalas puluhan serangan rudal yang ditembakkan ke sejumlah pangkalan militer yang dipimpin AS di Irak, Rabu (8/1/2020) dini hari. Apalagi, tidak ada warga negara ataupun personel militer yang terluka akibat serangan itu.
”Fakta bahwa kami memiliki militer dan peralatan hebat, tidak berarti kami harus menggunakannya. Kekuatan Amerika, baik militer maupun ekonomi, adalah pencegah terbaik. Iran tampaknya akan mundur, yang merupakan hal yang baik untuk semua pihak terkait dan dunia,” kata Trump di Washington, Rabu (8/1/2020) waktu setempat.
Trump tampak berupaya meredakan krisis yang terjadi. AS membunuh Komandan Pasukan Quds Iran Mayor Jenderal Qassem Soleimani dalam serangan udara di Baghdad, Irak, Jumat (3/1/2020). Kematian Soleimani, tokoh penting dalam militer Iran, membuat Teheran bersumpah mengambil tindakan balas dendam.
Berdasarkan laporan Pentagon, Teheran menembakkan 16 rudal jarak pendek ke Irak. Teheran mengaku menembakkan 15 rudal. Sekitar 11 rudal di antaranya menghantam Pangkalan Udara Ain al-Asad. Satu rudal menghajar fasilitas militer di Erbil. Tidak ada kerusakan besar.
Trump tidak secara langsung mengancam Iran dengan serangan balasan. ”AS akan segera menjatuhkan sanksi ekonomi tambahan terhadap rezim Iran,” katanya, tanpa memberi keterangan lebih lanjut.
Sejak 2018, hubungan Iran dan AS semakin memanas setelah Washington mundur dari kesepakatan nuklir JCPOA dan memberlakukan sanksi internasional kepada Teheran. Negara-negara tidak dapat mengimpor minyak dari Iran. Alhasil, perekonomian Iran terganggu.
Tak lama setelah serangan Iran, Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan, serangan itu mengakhiri respons Teheran atas kematian Soleimani. Teheran dinyatakan tidak mencari eskalasi atau perang. Agresi tersebut merupakan upaya perlindungan diri melawan serangan asing.
Keinginan deeskalasi yang mulai terlihat dari kedua pihak tetap tidak menghilangkan tekanan bagi sekitar 5.200 personel tentara AS yang ditempatkan di Irak. Mereka juga menghadapi ancaman dari militan Syiah dan politikus pro-Iran.
Ulama Syiah Irak Moqtada al-Sadr mengimbau agar kelompok-kelompok milisi tidak lagi melancarkan serangan. ”Saya meminta faksi-faksi Irak tenang, sabar, dan tidak memulai aksi militer,” kata Sadr, yang dianggap sebagai sekutu Iran.
Namun, mantan diplomat senior AS, Nicolas Burns, mengatakan, masih terlalu dini untuk menyatakan AS berhasil menyampaikan pesan ancaman yang kredibel ke Teheran. ”Iran memiliki sejarah brutal dalam menggunakan pasukan proksi untuk menyerang AS dan lainnya. Mereka bisa melakukannya dalam beberapa minggu atau bulan mendatang,” ujar Burns.
Sengaja meleset
Sejumlah pejabat AS dan negara Eropa menduga Iran sengaja melesetkan serangan untuk menghindari korban jiwa dari pihak AS. Tujuannya, untuk menghindari eskalasi yang semakin menjadi-jadi. Sejumlah pengamat menilai, Teheran juga enggan berkonflik dengan kekuatan militer AS yang tangguh.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan pandangan tersebut. ”Saya yakin serangan Iran dimaksudkan menyebabkan kerusakan struktural, menghancurkan kendaraan, peralatan, pesawat terbang, dan membunuh personel. Itu penilaian pribadi saya sendiri,” kata Ketua Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Angkatan Darat Mark Milley.
Seorang juru bicara militer Iran juga membantah dugaan bahwa Teheran dan Washington telah berkoordinasi sebelum serangan terjadi. Stasiun televisi Iran melaporkan, serangan rudal tersebut merupakan serangan terlemah dari semua skenario agresi yang disusun.
Negara-negara telah menyerukan agar Iran dan AS menahan diri, seperti China, Jerman, Inggris, Perancis, dan Indonesia. Lewat pidato kepada lebih dari 180 diplomat asing, Paus Fransiskus mendesak agar kedua negara mengedepankan dialog agar konflik tidak meluas di Timur Tengah, Kamis (9/1/2020). (REUTERS/AFP)