Modifikasi Cuaca 24 Jam Cegah Hujan Lebat di Jabodetabek
Banjir masih berpotensi terjadi di Jabodetabek karena potensi hujan lebat masih ada, bersamaan pasang naik maksimum. Teknologi modifikasi cuaca dilakukan lebih intensif untuk mencegah hujan lebat di Jabodetabek.
Oleh
M Zaid Wahyudi/Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hujan dengan intensitas sedang hingga lebat masih berpotensi terjadi hingga akhir pekan ini. Sekalipun curah hujan diperkirakan tidak selebat sebelumnya, risiko banjir cukup tinggi karena berbarengan dengan pasang naik maksimum di Teluk Jakarta pada 9-12 Januari 2020.
Menurut Deputi Bidang Meteorologi R Mulyono R Prabowo, di Jakarta, Rabu (8/1/2020), ketinggian pasang maksimum tersebut bisa mencapai 0,6 meter sehingga berpotensi menghambat laju aliran air sungai masuk ke Teluk Jakarta.
Mengantisipasi kondisi itu, Tim Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI Angkatan Udara, dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akan melakukan operasi TMC selama 24 jam penuh, siang dan malam.
Kepala Balai Besar TMC BPPT Tri Handoko Seto di Jakarta, Rabu, mengatakan, operasi TMC untuk mengurangi potensi hujan lebat guna mencegah banjir di Jabodetabek dilakukan sejak 3 Januari lalu. Hal ini dilakukan dengan menjatuhkan awan yang berpotensi menimbulkan hujan di luar wilayah Jabodetabek atau sebelum awan itu memasuki Jabodetabek.
Hasilnya, belum ada hujan lebat lagi setelah hujan lebat 31 Januari 2019 dan 1 Januari 2020. Operasi modifikasi cuaca juga diklaim berhasil menurunkan intensitas hujan sedang-lebat yang seharusnya tiba di wilayah Jabodetabek, seperti pada Senin (6/1/2020).
Operasi modifikasi cuaca juga diklaim berhasil menurunkan intensitas hujan sedang-lebat yang seharusnya tiba di wilayah Jabodetabek, seperti pada Senin (6/1/2020).
Berdasarkan data yang ada, pertumbuhan awan berpotensi hujan terkonsentrasi di bagian barat Jabodetabek. Karena itu, penyemaian awan dengan penaburan garam natrium klorida (NaCl) dilakukan di wilayah barat dan utara Jabodetabek.
”Hujan terjadi di area penyemaian di atas Selat Sunda dan Kepulauan Seribu,” kata Kepala BPPT Hammam Riza beberapa waktu lalu. Selain itu, hujan juga diturunkan di wilayah perairan timur Lampung serta Teluk Jakarta.
Potensi masih ada
Menanggapi peringatan cuaca yang disampaikan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Senin (6/1/2020), tentang prediksi hujan lebat pada 12 Januari, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab mengatakan, secara umum potensi hujan dengan intensitas lebat memang masih ada.
”Kalau dilihat potensinya tanggal 9-10 Januari peluang hujan lebat lebih tinggi dibandingkan tanggal 12 Januari,” katanya. ”Untuk peringatan dini Kedutaan Besar Amerika,” katanya, ”kami kurang tahu dari mana sumber datanya.”
Analisis BMKG menunjukkan, pada 9-10 Januari 2020, potensi hujan dengan intensitas sedang-lebat disertai angin kencang dan kilat dapat terjadi mulai dini hari menjelang pagi hari terutama di wilayah Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Tangerang, Bekasi, sebagian Depok dan Bogor.
Intensitas hujan dapat menurun pada pagi menjelang siang hari, dan berpeluang kembali meningkat pada sore menjelang malam.
Pada 9-10 Januari 2020, potensi hujan dengan intensitas sedang-lebat disertai angin kencang dan kilat dapat terjadi mulai dini hari menjelang pagi hari.
Adapun pada 11-12 Januari 2020, hujan di wilayah Jabodetabek relatif berkurang dibandingkan dengan periode tanggal sebelumnya. Hujan dengan intensitas ringan-sedang masih dapat terjadi terutama di wilayah Bogor, Depok, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Bekasi, dan Tangerang.
Tim Operasi TMC BPPT memprediksi pada Minggu (12/1/2020) akan terjadi hujan sangat deras di Jabodetabek. Curah hujan diperkirakan 50-100 milimeter per hari.
Namun, hujan tersebut tidak selebat hujan pada 31 Desember 2019 dan 1 Januari 2020. ”Hujan sangat deras itu tetap berpotensi menimbulkan genangan atau banjir di sejumlah titik,” kata Tri Handoko.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi BNPB Agus Wibowo mengatakan, masyarakat tidak perlu panik menanggapi peringatan dini cuaca dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. ”Namun, kita tetap perlu waspada,” katanya.
Agus mengatakan, operasi teknologi modifikasi cuaca akan terus dilakukan untuk menghindari hujan dengan intensitas lebat di wilayah Jabodetabek.
Tri Handoko mengatakan, operasi TMC 3-7 Januari 2020 sudah dilakukan sebanyak 23 sorti atau penerbangan dengan total garam NaCl yang disebarkan sebanyak 37.600 kilogram. Hingga kini, stok garam di Pos Komando TMC di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, masih ada 17.400 kilogram.
Lebih berisiko
Terkait upaya modifikasi cuaca selama 24 jam, Tri Handoko mengatakan, menyemai awan dalam operasi TMC saat hari terang saja tidak mudah dan sangat berisiko.
Selama proses penyemaian itu, pesawat harus dijaga agar tidak menjauh dari awan. Jika dalam penerbangan umum biasanya menghindari awan, Tim TMC justru harus mendekati bahkan masuk ke awan.
Melakukan penyemaian awan di malam hari yang gelap tentu jauh lebih berisiko. Saat malam, Tim TMC tidak bisa melihat awan sehingga hanya mengandalkan data yang ditampilkan radar. Persoalannya, ”Radar tidak bisa membedakan antara awan dan obyek keras lain, misalnya gunung,” kata Tri Handoko.
Belum lagi data yang ditampilkan radar ada jeda sepersekian detik dibandingkan kondisi riil. Situasi itu terjadi dalam kondisi pesawat sedang terbang atau bergerak.
Selain itu, pesawat CASA 212 A-2015 dan pesawat CN 295 A-2901 yang digunakan untuk menyemai awan harus terbang pada ketinggian 10.000 kaki atau sekitar 3.000 meter. Pada ketinggian itu, di sekitar Jabodetabek masih terdapat sejumlah gunung dengan ketinggian lebih dari 3.000 meter.