Makanan yang Dimasak Bersuhu Tinggi Bisa Picu Obesitas
Cara mengolah makanan yang tidak tepat bisa merusak kandungan gizi di dalam makanan, bahkan dapat memicu terjadinya penyakit. Makanan yang diolah dengan suhu tinggi pun sebaiknya tidak dikonsumsi terlalu sering.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cara mengolah makanan yang tidak tepat bisa merusak kandungan gizi di dalam makanan, bahkan dapat memicu terjadinya penyakit. Makanan yang diolah dengan suhu tinggi pun sebaiknya tidak dikonsumsi terlalu sering karena bisa memicu obesitas.
Patricia Budihartanti Liman mengungkapkan hal tersebut saat mempertahankan disertasi doktornya yang berjudul ”Peran Asupan dan Plasma Carboxymethyl Lysine dan Parameter Inflamasi sebagai Mediator Obesitas pada Wanita Suku Minangkabau dan Sunda” di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Atas disertasi itu, Patricia berhak menyandang gelar doktor dalam bidang Ilmu Gizi. ”Cara mengolah makanan dengan suhu tinggi, kadar air rendah, dan waktu pemasakan yang lama, seperti digoreng, dipanggang, atau dibakar, dapat meningkatkan kadar Carborxymethyl lysine (CML) dalam makanan sebesar 10-100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya sebelum diolah. Kadar CML yang tinggi inilah yang bisa memicu terjadinya obesitas,” katanya.
CML merupakan struktur karbohidrat pereduksi yang berikatan dengan protein yang bisa terbentuk di dalam makanan. CML ini dapat memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan melalui efek peradangan pada tubuh sehingga menyebabkan obesitas ataupun penyakit tidak menular lainnya, seperti diabetes dan kanker.
Patricia mengatakan, merujuk pada basis data CML dalam makanan, kelompok makanan yang berasal dari daging merah memiliki kadar CML lebih tinggi daripada makanan yang berasal dari daging ayam. Sementara kadar CML pada makanan dari daging ayam lebih tinggi daripada kelompok makanan dari ikan ataupun telur.
Dalam penelitian yang dilakukan pada perempuan suku Minangkabau dan Sunda diketahui beberapa jenis makanan dengan CML tinggi yang sering dikonsumsi. Makanan dengan kandungan tinggi CML di masyarakat Minangkabau di antaranya rendang, ikan bilis goreng, dan kalio. Sedangkan makanan Sunda yang tinggi CML antara lain cimol, ikan peda goreng, dan bakso.
Pengetahuan mengenai diet sehat diperlukan untuk mencegah penyakit tidak menular.
”Pengetahuan mengenai diet sehat diperlukan untuk mencegah penyakit tidak menular. Salah satunya dengan memberikan pengetahuan mengenai proses pemasakan terhadap kesehatan. Pembatasan konsumsi makanan tinggi CML, seperti makanan yang diolah dengan suhu tinggi dan waktu lama, perlu diinformasikan secara lebih masif,” tuturnya.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Murdani Abdullah, yang juga menjadi promotor dalam sidang promosi tersebut, mengungkapkan, basis data CML yang telah disusun dalam penelitian ini bisa menjadi pedoman masyarakat dalam memilih asupan makanan yang dikonsumsi.
Murdani mengatakan, masyarakat pun bisa lebih sadar untuk memilih cara mengolah makanan yang baik untuk tubuhnya.
”Penelitian lebih lanjut diharapkan bisa terus dilakukan, terutama dalam melakukan pemeriksaan kadar CML pada jenis makanan lainnya. Dengan begitu, upaya menurunkan risiko penyakit tidak menular melalui perubahan perilaku masyarakat, yang salah satunya dengan mengubah cara mengolah masakan, bisa diterapkan secara akurat,” kata Murdani.