Hujan yang masih mengguyur Kabupaten Bogor menyisakan trauma pada warga yang menjadi korban. Banjir susulan masih membayang. Kejadian di pembuka tahun 2020 membuat warga tidak bisa tidur nyenyak.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
Aji (31), warga Desa Kalongsawah, masih ingat persis kejadian pada Rabu pekan lalu. Hari pertama di tahun baru seharusnya dipenuhi kegembiraan. Nyatanya, rumah yang ia tempati bersama ibu dan adik bungsunya justru penuh pasir dan lumpur.
”Takut kalau hujan deras akan menyapu desa kami. Tidak ada harta benda yang bisa kami selamatkan. (Selasa, 31/12/2019) malam sampai (Rabu) pagi itu panik dan kami langsung meninggalkan rumah dan mencari tempat aman,” ujar Aji sembari mengais timbunan pasir demi menyelamatkan surat-surat berharga, piring, atau gelas yang tersisa.
Rasa takut juga dirasakan Andi (45). Sejak banjir dan longsor menerjang Desa Harkatjaya, ia bersama pria lainnya berjaga dan membantu petugas membuka jalur. Ia masih takut hujan deras susulan bakal mengakibatkan longsor lagi. Kebetulan rumah ayah empat anak ini tidak jauh dari tebing. Sekitar 10 meter dari rumahnya, ke arah bawah, ada tebing yang sudah ambles dan menimpa sejumlah rumah.
”Anak istri ngungsi. Kami pria berjaga di sini sembari membantu petugas dan menerima bantuan dari sukarelawan. Kalau malam, gelap karena listrik mati. Kalau hujan deras, saya takut banjir dan longsor lagi,” ujar Andi.
Jalan berliku
Di Kampung Pasir Kupa, Desa Harkatjaya, Eka (23) bersama tujuh warga Desa Urug, Kecamatan Sukajaya, sekitar pukul 16.30 kemarin, bersiap kembali menuju desanya membawa lilin dan bahan kebutuhan pokok. Kemarin adalah kedua kalinya mereka turun ke Kampung Pasir Kupa untuk mengambil logistik. Tertutupnya jalan membuat bantuan tertahan di Kampung Pasir Kupa.
Hingga pukul 18.30, petugas masih berusaha membuka jalur menuju Desa Urug. Setidaknya 10 alat berat dikerahkan di titik longsor. Bagi Eka dan kawan-kawan, butuh 2 jam berjalan kaki mencapai Desa Urug. Waktu perjalanan kian panjang jika hujan deras. Mereka juga harus berkejaran dengan waktu agar tiba di kampung sebelum senja lantaran penerangan minim akibat listrik padam.
”Semoga enggak hujan, bakal repot. Takut ada longsor juga. Kami harus segera sampai desa karena ada keluarga kami yang menunggu makanan dan lilin untuk penerangan,” ujarnya. Bantuan makanan sangat penting bagi warga Desa Urug karena persediaan makanan terus menipis, sementara lumbung padi rusak. Cahaya pun sangat diperlukan lantaran mereka tidak mampu terus membeli lilin yang harganya Rp 40.000 sebungkus.
”Bersyukur ada bantuan logistik meski kami harus berjalan kaki menuju Kampung Pasir Kupa,” kata Eka yang berharap jalur menuju desanya segera terbuka sehingga memudahkan distribusi bantuan. Namun, perjalanan Eka dan kawan-kawan untuk mengambil logistik di Kampung Pasir Kupa mungkin akan lebih jauh jika tak ada Iwan (50) dan Abimanyu (50), sukarelawan dari Perpolisian Masyarakat.
Kedua orang inilah yang pertama kali membuka jalur Parigi menuju Kampung Pasir Kupa. Dibantu masyarakat sekitar dengan peralatan seadanya, mereka membuka jalur yang tertimbun tanah. Logistik dan alat berat pun bisa masuk ke Kampung Pasir Kupa.
Saat menyusur jalur Parigi, ada tiga titik longsor yang sudah dibuka, enam titik rawan longsor, dan dua titik jalur yang ambles. Jalan menuju Kampung Pasir Kupa yang berlubang, licin, dan berlumpur membuat siapa saja yang menuju kampung ini harus berhati-hati.
Bersyukur ada bantuan logistik meski kami harus berjalan kaki menuju Kampung Pasir Kupa
Perjuangan Iwan dan Abimanyu tidak sampai di situ. Tujuh hari terakhir mereka tak berhenti menyalurkan logistik ke Desa Urug. Seusai mengantar bahan pokok, mereka melewati Desa Babakan. Di desa itu, mereka bertemu warga yang sakit hingga ibu hamil yang harus ditolong.
”Perjalanan membawa ibu serta tiga anaknya ke desa terdekat yang aman untuk mengungsi perlu 3,5 jam dengan medan terjal. Beberapa kali harus melewati lumpur setinggi 60 sentimeter, bahkan pernah masuk kubangan lumpur setinggi 1 meter. Makanya, perlu hati-hati dan pilih jalur,” tutur Abimanyu.
Di hari ketiga, ada warga di Tajur yang terisolasi dan mencari bantuan. ”Terlihat cahaya senter, kami nekat melewati jalur tebing longsor dan langsung ke atas bukit untuk membantu mereka,” ujarnya. Rasa kemanusiaan ini mendorong Iwan, Abimanyu, dan warga yang juga korban untuk melawan trauma demi kepentingan bersama.