Mengelola Anggaran di Negeri Bencana
Bencana alam di Indonesia meningkat tajam dalam sepuluh tahun terakhir. Pengembangan sistem peringatan dini perlu dilakukan untuk menekan risiko bencana, termasuk menambah anggaran bencana, yang kini masih terbatas.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2009-2019, total kejadian bencana yang melanda Indonesia mencapai 24.100 kejadian. Musibah-musibah itu didominasi banjir, tanah longsor, puting beliung, dan kebakaran hutan/lahan.
Yang menarik, tercatat peningkatan jumlah kejadian bencana dalam rentang 10 tahun, antara 2009 dan 2019, hingga tiga kali lipat. Pada 2009 terjadi 1.245 peristiwa bencana, adapun 2019 sebanyak 3.622 kejadian. Dari data tersebut bisa disimpulkan, makin hari makin sering terjadi bencana di Indonesia sehingga masyarakat diminta lebih waspada.
Pada 2019, yang terdata 3.622 kejadian hingga pertengahan Desember, menyebabkan 475 orang meninggal, 108 hilang, 3.408 luka-luka, dan ribuan orang mengungsi. Dari semua kejadian itu, 99 persen termasuk bencana hidrometeorologi.
Setiap kejadian bencana menyebabkan banyak kerugian, termasuk dampak secara ekonomi dan ancaman kemiskinan. Sesuai dengan data laman Statista dalam dua dekade terakhir, besar kerugian ekonomi secara global akibat bencana alam mencapai 1,87 triliun dollar AS atau setara dengan Rp 26.000 triliun.
Jika dirata-rata secara menyeluruh, tiap tahun kerugian ekonomi karena bencana alam sebesar 93,25 miliar dollar AS atau Rp 1.304 triliun. Dari seluruh jumlah tersebut, hanya 28,5 persen saja yang diasuransikan. Artinya, usaha pemulihan pascabencana pasti memerlukan dana besar, dan rentang waktu agak lama.
Kondisi senada juga dihadapi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan di UU APBN dan Nota Keuangan 2020, rata-rata kerugian yang diakibatkan bencana alam periode 2000-2016 mencapai Rp 22.850 miliar per tahun. Sedangkan realisasi dana cadangan penanggulangan bencana di APBN periode 2005-2018 adalah sekitar Rp 2.500 miliar per tahun.
Kondisi finansial kebencanaan di Indonesia masuk kategori minim dalam usaha menjamin penghidupan pascabencana. Bila dibandingkan dengan besar kerugian dan penggantian oleh pemerintah, 89 persen kerugian ekonomi akibat bencana belum tertutupi.
Prediksi bencana
Ragam bencana di Indonesia sangat kompleks, di mana satu bencana mampu menyebabkan terjadinya bencana lain. Pendekatan prediksi ini menggunakan pantauan dan proyeksi kondisi alam, seperti pola cuaca dan geologi. Pantauan BMKG menjelaskan kondisi cuaca 2020, dengan kecenderungan curah hujan berpola normal, tanpa defisit atau surplus curah hujan. Catatan kedua, musim kemarau tahun ini diperkirakan dimulai antara April dan Mei.
Catatan khusus bagi wilayah Aceh dan Riau yang memiliki dua periode musim kemarau, di mana periode pertama akan terjadi bulan Februari-Maret. Implikasi kondisi tersebut adalah ancaman bencana kebakaran hutan dan asap.
Sementara puncak musim hujan diprediksi terjadi pada bulan Januari 2020, sehingga berpotensi tinggi terjadi banjir, longsor, dan puting beliung. Total ada 489 kabupaten/kota, yang masuk dalam daerah bahaya sedang-tinggi banjir, dengan total penduduk terpapar sebanyak 63,7 juta jiwa.
Untuk bencana longsor, 441 kabupaten/kota berada di daerah bahaya sedang-tinggi dengan jumlah penduduk terpapar sedikitnya 57,4 juta jiwa. Sementara kejadian puting beliung memiliki potensi hampir seragam di seluruh wilayah.
Prediksi kegempaan didasarkan pada penemuan 214 sumber gempa baru sehingga jumlah sesar aktif di seluruh Indonesia sebanyak 295 sesar. Berdasar jumlah sesar aktif, setidaknya empat wilayah diprediksi rawan gempa tahun ini, yaitu Jawa (37 segmen), Sulawesi (48 segmen), Papua (79 segmen), serta Nusa Tenggara dan Laut Banda (49 segmen).
Ancaman erupsi gunung api digambarkan dengan keberadaan 75 kabupaten/kota di daerah bahaya sedang-tinggi dengan jumlah penduduk terpapar sebanyak 3,5 juta jiwa. Kewaspadaan terhadap erupsi gunung api harus selalu dilakukan karena di Indonesia terdapat 127 gunung api aktif (13 persen dari total gunung api di dunia).
Strategi pembiayaan
Mengingat besarnya potensi bencana dan keterbatasan anggaran dana cadangan penanggulangan bencana alam yang ”hanya” berkisar Rp 2.000-Rp 5.000 miliar tiap tahun, pemerintah menetapkan strategi dan kebijakan pembiayaan yang memuat sedikitnya empat instrumen.
Pertama, penyediaan pembiayaan yang memadai dan berkelanjutan. Pembiayaan itu terdiri dari kombinasi skema yang efisien dan efektif, ditanggungnya risiko bencana yang sering terjadi atau berdampak kecil oleh pemerintah, penggunaan instrumen kontingensi, pembentukan polling fund, dan transfer melalui asuransi.
Kedua, perlindungan barang milik negara (BMN) dan barang milik daerah (BMD) melalui transfer risiko atas BMN/BMD yang memiliki nilai ekonomis dan kemanfaatan tinggi. Adapun yang ketiga, berupa perbaikan pengelolaan fiskal bencana dan saluran distribusi dana yang optimal dan transparan.
Terakhir, mendorong keterlibatan peran pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat dalam skema pembiayaan yang lebih luas serta pengembangan pasar asuransi domestik. Seluruh usaha tersebut merupakan implementasi UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana alam di antaranya perlindungan masyarakat dan pemulihan kondisi dari dampak bencana alam, melalui pengalokasian anggaran penanggulangan bencana alam dalam APBN/ APBD.
Mitigasi
Di luar manajemen pembiayaan bencana, banyaknya ancaman bencana di Indonesia perlu diimbangi sistem manajemen bencana yang baik agar mampu menekan dampak yang ditimbulkan. Khusus gempa dan tsunami, BMKG telah menyiapkan sistem monitoring dan pengembangan basis data skenario tsunami.
Sistem monitoring dibangun melalui pemasangan peralatan di banyak tempat. Tindakan lanjutannya, tak lain yakni penguatan sistem peringatan dini gempa bumi (EEWS) dan sistem peringatan tsunami nontektonik (InaTNT). Dari BNPB, upaya preventif menghadapi bencana yang akan terjadi pada masa mendatang adalah melakukan pemelajaran kolaborasi melalui ekspedisi ke wilayah-wilayah rawan bencana. Selain itu, membentuk keluarga tangguh bencana.
Ekspedisi BNPB dilakukan dengan mendatangi 584 desa rawan tsunami, serta membentuk kolaborasi dengan banyak sukarelawan. Sementara program keluarga tangguh bencana berfokus pada proses diseminasi pengetahuan, penyadaran akan ancaman, dan peningkatan kapasitas sosial masyarakat.
Bencana alam di Indonesia sudah menjadi keniscayaan. Menyadari dan bersiap adalah tindakan yang tepat dilakukan oleh setiap warga. Namun, penguatan teknologi dan jaminan penghidupan pasca-bencana menjadi tumpuan masyarakat untuk menjalani hidup di wilayah penuh bencana.
Di tengah keterbatasan anggaran bencana dan mitigasi menjadi batu penjuru yang perlu dikelola dengan serius. Mitigasi bukan hanya mencegah banyaknya korban akibat bencana, tetapi juga menekan dampak kerugian sekaligus menekan anggaran yang harus dikucurkan guna menanggulangi dan memulihkan perekonomian pasca bencana. (Litbang Kompas)