Kedaulatan adalah kewenangan penuh negara atas wilayah daratan, perairan kepulauan, dan laut teritorial. Laut teritorial adalah perairan hingga 12 mil dari garis pangkal. Hukum nasional negara berlaku di wilayah itu.
Oleh
KRIS MADA/PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana kepada wartawan menyebut, China tidak melanggar kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara. Di sana, Beijing hanya melanggar hak berdaulat Indonesia. Kedaulatan adalah kewenangan penuh negara atas wilayah yang meliputi daratan, perairan kepulauan, dan laut teritorial. Laut teritorial adalah perairan hingga 12 mil dari garis pangkal. Hukum nasional negara berlaku di wilayah tersebut.
Hak berdaulat berlaku di luar laut teritorial seperti Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang bisa membentang hingga 200 mil dari garis pangkal. Di sana, suatu negara memperoleh hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya alam dan menerapkan hukum nasionalnya.
Kehadiran kapal-kapal TNI AL di Laut Natuna Utara bukan untuk menegakkan kedaulatan Indonesia. Kapal-kapal itu berada di sana untuk menegakkan hukum.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menetapkan, salah satu tugas TNI AL ialah menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Tokoh nelayan Natuna, Rodhial Huda, menyebut konsep kedaulatan tidak dikenal di laut lepas seperti ZEE. Di sana, suatu negara bisa menjalankan hak berdaulatnya jika mampu hadir. Pengerahan kapal perang dan kapal sipil adalah bentuk kehadiran negara di laut. Sayangnya, di Natuna tidak tersedia cukup kapal nelayan yang mampu berlayar hingga 200 mil laut dari pantai. Kapal-kapal nelayan Natuna dan Anambas pun tidak berani mendekat bila ada kapal nelayan asing di ZEE Indonesia gara-gara kalah besar.
Sesuai UNCLOS
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menegaskan, ZEE Indonesia berdasarkan Konvensi Internasional tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Sebaliknya, klaim China atas sebagian besar Laut China Selatan (LCS) dan Laut Natuna Utara tidak berdasarkan hukum internasional, termasuk UNCLOS yang telah diratifikasi Beijing.
Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) pada 2016 menegaskan hal itu. Lewat putusan yang dibuat atas gugatan Filipina terhadap klaim Beijing di LCS itu, PCA tidak mengakui hampir seluruh klaim China, seperti ”Sembilan Garis Putus” serta status pulau; karang, batu, beting, dan gosong yang ada di dalam lingkup klaim kedaulatan China termasuk hak maritim dan berbagai kepentingan di dalamnya. Dengan demikian, hampir seluruh klaim China di LCS dan Laut Natuna Utara, merujuk putusan PCA, adalah ilegal.
PCA menyatakan klaim ”Sembilan Garis Putus” oleh Beijing tidak sesuai dengan hak berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang didasarkan pada UNCLOS. Bahkan, secara historis, menurut PCA, China tidak pernah menjalankan hak eksklusifnya. PCA menyatakan, hak-hak historis di LCS yang diklaim Beijing terhapus jika tidak sesuai dengan ZEE yang ditetapkan berdasarkan UNCLOS.
Pakar hukum laut internasional yang juga mantan Menlu RI Hassan Wirajuda, dalam artikel di Kompas, 15 Juli 2016, berjudul ”Putusan PCA dan Implikasinya” menulis, ”Sembilan Garis Putus” adalah upaya Beijing memetakan klaim hak sejarahnya pada fitur maritim dan perairan LCS. Anehnya klaim itu tidak didukung dengan data koordinat geografis. Padahal, batas laut sangat tergantung dari koordinat geografis.
China tidak pernah mengajukan klaim hak sejarah selama perundingan UNCLOS. Setelah UNCLOS menetapkan secara persis lebar zona maritim, negara-negara itu kemudian menyesuaikannya dengan ketentuan UNCLOS 1982.
Hassan juga menjelaskan, traditional fishing area/ground/zone seperti diklaim China merupakan bentuk lain dari hak sejarah yang juga tidak ada dasarnya pada UNCLOS. Konvensi itu mengatur traditional fishing rights, bukan area, yang disepakati melalui perjanjian antara negara yang memberikan dan yang diberikan. Indonesia menjalankan itu dengan beberapa negara.
PCA lewat putusan 2016 juga menegaskan UNCLOS secara spesifik menjelaskan, hak fitur maritim terhadap perairan di sekitarnya ditentukan berdasarkan bentukan alamiahnya.
Reklamasi yang mengubah bentuk alamiah fitur yang disengketakan tidak mengubah alokasi zona maritim fitur itu. Dengan demikian, China tidak bisa mengklaim perairan di LCS berdasarkan pulau-pulau hasil reklamasi sejumlah gugusan karang di sana.
Masalah penegakan
Hassan memang menyatakan, ada masalah dengan putusan PCA. Sejak gugatan mulai disidangkan pada 2013, China secara terbuka menolak yurisdiksi PCA. Beijing juga menolak apa pun keputusan PCA atas gugatan Manila.
Memang, PCA menyatakan keputusan tetap berlaku walau China menolak yurisdiksi pengadilan itu. Masalahnya, PCA tidak punya perangkat untuk menjalankan putusannya. Berbeda dengan Mahkamah Kriminal Internasional (ICJ) yang memungkinkan pengenaan sanksi internasional terhadap pihak yang terkena keputusan pengadilan itu.
Tidak bisa pula berharap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bertindak atas putusan PCA. Sebagai anggota tetap DK PBB dan pemegang hak veto, China dapat membatalkan keputusan apa pun di PBB.
Namun, bukan berarti putusan PCA tidak bermakna sama sekali. Putusan itu memperkuat posisi Indonesia yang tidak mengakui ”Sembilan Garis Putus”. Indonesia memang tidak terikat langsung pada putusan 2016 itu. Namun, Indonesia dan China terikat pada UNCLOS yang menjadi dasar putusan itu.