Pertarungan dari Laut Tengah ke Libya
Merasa ”ditinggal” oleh negara-negara di pesisir Laut Tengah, Turki mengejar kesepakatan dengan Libya. Selain didorong kepentingan politik regional, misi Turki adalah mengamankan pasokan energi, gas alam, dan minyak.
Parlemen Turki hari Kamis (2/1/2020) dengan komposisi 325 suara setuju dan 184 suara menolak akhirnya menyetujui kesepakatan keamanan dan kemaritiman antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan PM Libya Fayez al-Sarraj pada akhir November lalu.
Pasca-persetujuan parlemen tersebut, Erdogan kini bisa segera mengirim bantuan peralatan militer canggih ataupun pasukan Turki ke Tripoli- Libya untuk membela pemerintahan PM Sarraj dan sekaligus mencegah kota Tripoli jatuh ke tangan pasukan Jenderal Khalifa Haftar.
Tindakan cepat Turki membela pemerintahan PM Sarraj di Tripoli itu tentu tak lepas dari latar belakang eskalasi ketegangan di Laut Tengah bagian timur terkait isu gas yang menciptakan pertarungan geopolitik sengit baru di kawasan itu. Diperkirakan Laut Tengah bagian timur menyimpan 120 triliun meter kubik yang kini menjadi perebutan di antara negara-negara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur.
Turki yang miskin sumber alam dan sekitar 95 persen kebutuhan minyak dan gas negara itu diimpor dari luar negeri memiliki ambisi besar untuk mendapat bagian dari kekayaan gas yang melimpah di Laut Tengah bagian timur itu. Namun, pada Januari 2019, tujuh negara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur sepakat membentuk forum gas Laut Tengah bagian Timur dengan kantor pusat di Kairo, Mesir.
Tujuh negara tersebut adalah Mesir, Yunani, Siprus, Israel, Italia, Jordania plus Otoritas Palestina. Forum tersebut bertujuan mencegah konflik dan sekaligus koordinasi terkait manajemen dan pemasaran penjualan gas alam tersebut.
Turki yang tidak dilibatkan dalam forum tersebut segera merasa sengaja dikucilkan dan bahkan akan didepak dari jatah pembagian kekayaan gas di Laut Tengah bagian timur. Padahal, Turki dan Pulau Siprus Utara yang berada di bawah kontrol Ankara adalah juga negara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur dan berhak atas kekayaan alam yang berada di kawasan tersebut.
Pertarungan geopolitik
Ankara pun segera memahami bahwa pembentukan forum itu adalah bagian dari pertarungan geopolitik di Timur Tengah dan Laut Tengah ini. Seperti diketahui, Mesir, Yunani, Siprus, dan Israel yang tergabung dalam forum gas Laut Tengah bagian timur adalah lawan politik Turki.
Yunani dan Siprus terlibat konflik dengan Turki terkait soal Siprus Utara yang diduduki Turki sejak tahun 1974 dan mendeklarasikan negara sendiri dengan nama Republik Turki Siprus Utara yang berpenduduk mayoritas warga Turki.
Turki juga terlibat konflik dengan Mesir pasca-militer Mesir menggulingkan pemerintahan Presiden Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin (IM) pada tahun 2013. Turki dikenal pendukung gerakan Islam politik, dan sebaliknya Mesir sekarang anti-gerakan Islam politik. Turki terlibat pula konflik dengan Israel, menyusul Israel semakin represif terhadap Palestina dan kian menutup peluang perdamaian di Timur Tengah.
Itulah yang mendorong Turki terus mengirim kapal untuk mengeksploitasi gas di sekitar perairan Pulau Siprus Utara dengan dalih perairan tersebut berada di bawah kedaulatan Turki dan Siprus Utara. Turki menolak keras kecaman dari Mesir, Israel, Yunani, dan Uni Eropa yang menyebut aksi eksploitasi gas oleh Turki di sekitar perairan Siprus Utara itu adalah ilegal.
Mesir, Israel, dan Yunani berdalih negara Siprus Utara tidak diakui PBB dan masyarakat internasional sehingga semua aktivitas di perairan Siprus Utara juga tidak sah.
Ambisi Erdogan
Terbentuknya forum gas Laut Tengah bagian timur itulah yang diduga turut mendorong Erdogan bersemangat mencapai kesepakatan dengan pemerintahan PM Fayez al-Sarraj di Libya, terkait kerja sama keamanan dan kemaritiman pada akhir November.
Kesepakatan kerja sama Turki-Libya itu serta-merta merupakan serangan balik Erdogan terhadap forum gas Laut Tengah bagian timur dan upaya keluar dari pengucilan oleh lawan-lawan politik Turki dalam forum itu. Turki secara tidak langsung juga bisa memecah forum tersebut karena Italia yang anggota forum itu dikenal pendukung pemerintahan PM Sarraj di Tripoli.
Menlu Italia Luigi Di Maio pada 17 Desember 2019 mengunjungi Tripoli dan bertemu dengan PM Sarraj untuk memberi dukungan. Maka, tercapainya kesepakatan Libya-Turki itu kini secara tidak langsung terbentuk forum Turki, Libya plus Italia di kawasan Laut Tengah menghadapi forum Mesir, Yunani, Siprus, dan Israel.
Isu energi
Lebih dari itu, kesepakatan Libya-Turki itu akan menjamin suplai minyak dan gas Libya ke Turki. Turki saat ini mendapat sebagian besar suplai gas dari Rusia melalui kesepakatan kontrak yang akan berakhir pada tahun 2021.
Kesepakatan Turki-Libya memperkuat posisi Turki di mata Rusia terkait isu gas. Turki kini bisa menjadikan Libya sebagai alternatif lain dari Rusia untuk suplai kebutuhan gas Ankara jika Rusia tidak bersedia memperpanjang kontrak dengan Turki pada tahun 2021, atau apabila Rusia menaikkan harga gas yang akan disuplai ke Turki, secara tidak wajar. Turki juga bisa menjadikan Libya sebagai alternatif sumber suplai minyaknya. Sebagian besar suplai minyak ke Turki saat ini datang dari Irak, Iran, dan sebagian kecil dari Rusia.
Karena itu, tidak heran jika Erdogan siap menyuplai senjata, bahkan mengirim pasukan Turki ke Tripoli untuk membela pemerintahan PM Sarraj demi suplai minyak dan gas dari Libya ke Turki, serta untuk menghadapi forum gas Laut Tengah bagian timur yang beranggotakan Mesir, Yunani, Siprus, dan Israel.
Dalam upaya memperkuat posisi Turki-Tripoli, Erdogan mengunjungi Tunisia pada 25 Desember lalu. Dari Tunisia, Erdogan menyerukan agar Tunisia, Aljazair, dan Qatar diundang dalam konferensi internasional tentang Libya yang akan digelar di Berlin, Jerman, pada Januari ini. Tunisia, Aljazair, dan Qatar selama ini dikenal sebagai pendukung pemerintahan PM Sarraj.
Ada dua pesan yang ingin disampaikan Erdogan kepada lawan-lawan politik di kawasan Laut Tengah bagian timur. Pertama, bekerja sama mencapai gencatan senjata di Libya dan kemudian berusaha mencapai kesepakatan politik yang menjamin semua kepentingan kelompok di negara itu.
Kedua, opsi militer di Libya dengan melibatkan pasukan Turki yang akan hanya memperkeruh situasi di Libya dan Timur Tengah, serta tidak akan menguntungkan semua pihak.
Protes
Tak pelak lagi, Mesir, Yunani, dan Siprus sangat marah terhadap tercapainya kesepakatan Turki-Libya itu. Yunani langsung mengusir Dubes Libya di Athena sebagai protes atas kesepakatan Turki-Libya itu. Mesir juga meminta Jenderal Khalifa Haftar meningkatkan serangan militer ke Tripoli untuk menggulingkan pemerintahan PM Fayez al-Sarraj.