Nelayan Indonesia Minta Jaminan Keselamatan di Laut Natuna Utara
Nelayan Indonesia yang biasa mencari ikan di Laut Natuna Utara angkat bicara. Mereka meminta jaminan keselamatan selama berada di peraian itu.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Nelayan Indonesia meminta jaminan keselamatan agar bisa menangkap ikan dengan aman di Laut Natuna Utara, setelah masuknya kapal nelayan dan kapal milik Pemerintah China ke wilayah ini. Pemerintah Indonesia berjanji akan meningkatkan patroli untuk melindungi para nelayan Indonesia yang ingin melaut di Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE tersebut.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPC HNSI) Kota Tegal Riswanto menyatakan, nelayan di daerah Pantura siap untuk berangkat menuju Laut Natuna Utara dan ikut mempertahankan kedaulatan NKRI. Hal tersebut ia sampaikan setelah pertemuan antara 120 nelayan asal Pantura dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Jakarta, Senin (6/1/2020).
"Ini merupakan bentuk dukungan dari nelayan bahwa Laut Natuna Utara merupakan bagian dari NKRI. Oleh sebab itu, kami butuh pengamanan dan perizinan dari pemerintah agar bisa melaut di sana," kata Riswanto.
Riswanto mengatakan, selama ini telah terjadi kekosongan nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara sehingga kapal nelayan dan kapal milik Pemerintah China masuk ke wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena sejumlah kendala yaitu membutuhkan waktu, biaya, dan risiko yang cukup besar untuk melaut ke sana.
"Untuk sekali melaut ke Natuna, kami memerlukan waktu sekitar 2-3 bulan dengan memakan biaya sekitar Rp 500 juta. Risikonya sangat besar, dan kami tidak akan berani ke sana jika perizinan dan pengamanannya belum siap," ujarnya.
Riswanto menjelaskan, saat ini masih sedikit kapal Indonesia yang memiliki kapasitas untuk menangkap ikan ke Laut Natuna Utara karena mahalnya biaya bahan bakar dan mereka belum tau berapa keuntungan yang bisa diperoleh dari hasil melaut di wilayah tersebut.
"Kapasitas kapal yang diperlukan harus di atas 100 gross tonnage (GT) karena perjalanan jauh. Selain itu, saat ini kapal di atas 30 GT tidak boleh menggunakan bahan bakar subsidi sehingga biaya perjalanan menjadi semakin mahal," ucapnya.
Menurut Riswanto, nantinya para nelayan di Pantura akan berkoordinasi lebih lanjut akan memberangkatkan berapa kapal dan jumlah nelayannya. Ia juga masih merencanakan waktu yang tepat untuk keberangkatan.
Sementara itu, Mahfud mengatakan, pemerintah nantinya juga akan memobilisasi nelayan-nelayan dari daerah lain untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara. Ia juga menegaskan bahwa negara harus hadir demi melindungi para nelayan Indonesia yang ingin menangkap ikan di sana.
"Kami mau memobilisasi nelayan-nelayan dari Pantura dan mungkin pada gilirannya nanti dari daerah-daerah lain di luar Pantura untuk beraktivitas dan mengeksplorasi kekayaan laut di sana. Peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini bahwa daerah Natuna sedang dimasuki oleh kapal-kapal pencuri ikan," katanya.
Mahfud mengatakan, pemerintah berencana akan meningkatkan patroli untuk melindungi kapal nelayan Indonesia. Ia pun menjelaskan bahwa saat ini Indonesia dan China sedang tidak dalam kondisi berperang. "Kita tidak dalam suasana berperang karena memang kita tidak punya konflik dengan China. Jadi tidak ada perang, namun juga tidak boleh ada negosiasi," ujarnya.
Menurut Mahfud, saat ini Laut Natuna Utara sudah final milik Indonesia berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Ia pun berharap agar hubungan kerja sama dengan China jangan sampai terputus. "Kita akan mempertahankan kedaulatan, namun urusan dagang, perekonomian, dan kebudayaan harus dilanjutkan seperti biasa," katanya.
Sebelumnya, hingga Minggu (5/1/2020), kapal-kapal nelayan China, yang dikawal dua kapal penjaga pantai (coast guard) dan satu kapal pengawas perikanan China masih berada di Laut Natuna Utara, sekitar 130 mil laut (240,76 kilometer) sebelah timur Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
Komandan Gabungan Wilayah Pertahanan Laksamana Madya Yudo Margono mengatakan, kapal nelayan China menangkap ikan menggunakan pukat harimau dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015. Dua kapal perang RI (KRI) juga dikerahkan untuk meminta kapal-kapal itu meninggalkan ZEE Indonesia yang membentang hingga 200 mil laut (370,4 km) dari garis batas pantai. "Kami akan mengerahkan 5 KRI lagi pada Senin ini," katanya.
Masuknya kapal-kapal China ke wilayah Laut Natuna Utara juga menimbulkan kerugian bagi para nelayan lokal di sana. Ketua Rukun Nelayan Lubuk Lumbang Kelurahan Bandarsyah di Kecamatan Bunguran Timur, Suherman, mengatakan, tangkapan ikan nelayan sejak awal Desember 2019 rata-rata hanya 1 ton per pekan, padahal sebelumnya bisa 3 ton per pekan.
”Pencuri ikan itu mengincar ikan bernilai tinggi, angoli dan kakap merah, harganya Rp 60.000 per kilogram. Kalau saja tidak ada pencurian, nelayan tradisional di Natuna bisa makmur,” ucap Suherman.