Sepanjang 2019, Provinsi Maluku dilanda 5.100 gempa dengan 461 gempa di antaranya dirasakan warga. Semua pihak diharapkan terus melakukan upaya pengurangan risiko bencana.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Sepanjang 2019, Provinsi Maluku dilanda 5.100 gempa, 461 gempa di antaranya dirasakan warga. Masyarakat pun diingatkan bahwa bencana semacam itu berpotensi terulang pada masa mendatang. Semua pihak diharapkan terus melakukan upaya pengurangan risiko bencana.
Menurut data yang dihimpun Kompas dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Ambon, Minggu (5/1/2020), kejadian gempa tersebut merupakan yang terbanyak sepanjang sejarah pencatatan kejadian gempa di Maluku. Berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, kejadian gempa dalam satu tahun tidak pernah lebih dari 2.000 kali.
Titik gempa paling banyak berada di Pulau Ambon dan sekitarnya serta Laut Banda.
Pada 2015, tercatat 1.210 kali, tahun 2016 sebanyak 1.222 kali, tahun 2017 sebanyak 1.392 kali, dan tahun 2018 sebanyak 1.587 kali. Kejadian gempa yang dirasakan berturut-turut sepanjang 2015-2018 adalah 19 kali, 43 kali, 58 kali, dan 62 kali. Terjadi tren peningkatan setiap tahun.
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin mengatakan, sebanyak tujuh gempa pada 2019 merusak dengan magnitudo di atas 5,2. Titik gempa paling banyak berada di Pulau Ambon dan sekitarnya serta Laut Banda. Sebagian besar gempa terjadi di laut. Sebanyak 4.652 titik gempa pada kedalaman kurang dari 60 kilometer.
Menurut Andi, tingginya frekuensi gempa itu dipengaruhi oleh beberapa kali gempa dengan kekuatan signifikan. Gempa signifikan itu diikuti gempa susulan beruntun lantaran struktur batuan yang lemah. Seperti contoh, gempa bermagnitudo 6,5 yang mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya pada 26 September 2019 yang diikuti ribuan kali gempa susulan.
Ia mengatakan, wilayah Maluku pada umumnya merupakan zona aktif gempa. ”Dari peristiwa tersebut, kita dapat belajar bahwa gempa bisa terjadi kapan saja. Hingga saat ini, kejadian gempa belum dapat diprediksi secara tepat kapan terjadinya dan berapa besaran kekuatannya,” katanya.
Ia pun mengimbau semua pihak agar meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi gempa dan tsunami. Mitigasi menjadi kunci utama dalam pembangunan di daerah itu, mulai dari bangunan tahan gempa hingga penguatan sistem peringatan dini. Selain itu, perlu peningkatan kapasitas masyarakat dalam memahami tentang gempa dan tsunami.
Gempa dan tsunami yang memakan korban berulang kali terjadi di Maluku. Menurut catatan Georg Everhard Rumphius dalam De Levensbeschrijving van Rumphius yang dialihbahasakan Frans Rijoly, terekam gempa besar diikuti tsunami terjadi di Ambon pada 17 Februari 1674. Naturalis Jerman itu mencatat, lebih kurang 2.300 orang meninggal, termasuk istri dan anaknya.
Sadar bencana
Gempa bermagnitudo 6,5 yang mengguncang Ambon pada 26 September 2019 telah menyadarkan banyak orang di daerah itu. ”Mau tidak mau, suka tidak suka, terima tidak terima, kita hidup di daerah gempa. Buat rumah harus tahan gempa, jangan asal-asalan,” kata Fery Lessy (37), warga Desa Liang.
Desa Liang, yang berjarak sekitar 39 kilometer timur Kota Ambon, terkena dampak paling parah dari gempa 26 September lalu. Ratusan rumah rata dengan tanah. Rumah-rumah itu kebanyakan beton, tetapi tidak ditopang besi yang kuat. Bahkan, ada rumah yang tidak menggunakan besi sepotong pun.
Dari total 41 orang yang tewas dalam gempa di Ambon tersebut, sebagian besar tertimpa reruntuhan bangunan. Korban terbanyak berikutnya adalah mereka yang panik saat gempa sehingga terjatuh.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, saat mengunjungi Ambon beberapa kali selama 2019, mengingatkan risiko gempa dan tsunami di wilayah Maluku. Ia mengajak masyarakat membangun rumah tahan gempa yang sudah ada dalam kearifan lokal setempat. Masyarakat Maluku mengenal rumah ”bakancing” yang terbuat dari kayu. Di sejumlah perdesaan, rumah semacam itu masih ada.
Selain itu, Doni juga mengajak masyarakat dan pemerintah daerah untuk menanam dan melestarikan pohon mangrove. Hutan mangrove dapat meredam kekuatan dan kecepatan tsunami yang melaju hingga 700 kilometer per jam. Sayangnya, di Kota Ambon, banyak areal hutan mangrove dibabat untuk dibangun hotel dan rumah makan.