Benteng Rotterdam pernah menjadi benteng pertahanan Kerajaan Gowa, lalu sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda di Makassar. Kini, bangunan berbentuk penyu itu menjadi ruang berkumpul, belajar, dan bermain warga.
Oleh
Reny Sri Ayu Arman
·4 menit baca
Benteng Rotterdam pernah menjadi benteng pertahanan Kerajaan Gowa, lalu sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda di Makassar. Kini, bangunan berbentuk penyu itu menjadi ruang berkumpul, belajar, dan bermain warga.
Akhir Oktober lalu, kawasan Benteng Rotterdam dipenuhi warga. Orang tua, remaja, dan anak-anak dari berbagai kalangan menikmati permainan tradisional, seperti lompat tali, longga’ (egrang), dende-dende (engklek), bermain ban, dan enggo-enggo, gebo’ .
Sebagian memilih duduk di pelataran depan, menikmati matahari terbenam di pantai seberang jalan. Mereka duduk di sepanjang tembok tebal yang menjadi pembatas benteng dengan jalan raya. Sebagian lain mengamati lukisan karya pelukis Makassar yang dipajang di galeri di sudut bangunan.
Kala itu, Sabtu-Minggu (26-27/10/2019), di Benteng Rotterdam digelar Makassar Traditional Games Festival. Festival yang sudah delapan kali digelar ini selalu disambut antusias oleh warga Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
”Kami menggelar acara di benteng karena tempat bersejarah sekaligus memiliki pelataran dan halaman cukup luas serta teduh, apalagi letaknya di tengah kota. Siapa pun mudah datang,” kata Hermansyah, ketua panitia festival.
Benteng Rotterdam atau Benteng Jumpandang kerap menjadi tempat beragam acara digelar. Makassar Jazz Festival setiap tahun diadakan di halaman benteng yang dibangun tahun 1545 ini. Demikian juga berbagai acara, seperti festival kuliner, pameran, lomba, dan pentas seni budaya.
Pada hari-hari biasa, benteng tetap ramai dikunjungi sejak pagi hingga petang. Anak sekolah dan mahasiswa menjadikan benteng sebagai tempat berkumpul, belajar, berlatih bahasa Inggris, dan berdiskusi. Mereka biasanya duduk di rerumputan halaman atau lesehan di ubin pelataran. Benteng itu juga menjadi destinasi wajib wisatawan.
Ridha Wahyuningsih (38), warga Kecamatan Rappocini, Makassar, kerap membawa anaknya, Faikal (10), ke benteng. ”Di mana lagi ada tempat lapang bagi anak-anak untuk bermain dan berlari. Anak juga bisa belajar sejarah dan melihat museum,” katanya.
Ruang publik
Di Makassar, Benteng Rotterdam merupakan benteng terakhir peninggalan Kerajaan Gowa yang masih utuh. Ada benteng lain peninggalan Kerajaan Gowa, yakni Benteng Somba Opu, di pinggiran Kota Makassar, yang berbatasan dengan Gowa. Namun, bangunan itu kini tinggal batu fondasi.
Benteng Rotterdam, yang juga disebut Benteng Panynyua (benteng penyu) karena bentuknya seperti penyu, kini menjadi ruang publik bagi warga Kota Makassar. Letaknya strategis, di tengah-tengah kota, berjarak sekitar 500 meter dari Lapangan Karebosi yang menjadi titik nol kota.
”Bangunan ini dibuka untuk umum agar orang bisa melihat, belajar, dan mencintai peninggalan bersejarah. Benteng ini adalah ruang bersama warga kota serta ikon Makassar,” ucap Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan Laode Muhammad Aksa.
Di kawasan benteng terdapat Museum La Galigo yang berisi data, foto, juga benda, panji, hingga mahkota milik Kerajaan Gowa. Ada juga Kantor BPCB, Sekretariat Dewan Kesenian Makassar, galeri seni, dan bekas ruang tahanan Pangeran Diponegoro. Selain itu, terdapat fasilitas umum, seperti mushala, toilet, dan area parkir. Sepanjang jalan sekitar benteng dipenuhi resto, kafe, dan warung kaki lima.
Sejarah panjang
Dibangun tahun 1545 pada era raja kesembilan Gowa, I Manrigau Bonto Karaeng Lakiung, bangunan benteng mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja ke-14 Gowa, Sultan Alauddin. Semula dinding benteng terbuat dari tanah liat. Lalu, pada era Sultan Alauddin, dinding diganti batu padas yang diambil dari bukit karst Maros.
Bentuk penyu dari benteng menunjukkan falsafah Kerajaan Gowa yang unggul di darat dan laut. Luas benteng sekitar 2,5 hektar dengan 16 bangunan di dalamnya. Lima di antaranya bastion (baluarti/kubu pertahanan), yakni Bastion Bacan, Amboina, Bone, Buton, dan Mandarsyah. Pascapenandatanganan Perjanjian Bongaya, 1667, benteng diserahkan kepada Pemerintah Belanda.
Salah satu penguasa Belanda, Cornelis Speelman, mengganti nama benteng menjadi Fort Rotterdam. Selama 200 tahun, Belanda menggunakan benteng sebagai pusat pemerintahan dan penampungan rempah-rempah, hingga penyerahannya ke Fort Rotterdam Foundation dan ditetapkan sebagai bangunan bersejarah pada 1940.
Menurut sejarawan Universitas Hasanuddin, Ilham Daeng Makkelo, pada pertengahan abad ke-18, saat Speelman menjadi gubernur jenderal, Belanda membangun permukiman, perkantoran,
dan tangsi militer di sekitar benteng.
Aksa mengatakan, BPCB ingin menjadikan Benteng Rotterdam sebagai gerbang pariwisata Sulawesi Selatan. Tempat itu merupakan destinasi pertama penumpang kapal pesiar yang singgah di Pelabuhan Makassar, yang terletak sekitar 500 meter dari benteng. Pembenahan fasilitas pun terus dilakukan.
Kini, semakin tumbuh kesadaran melestarikan bangunan bersejarah. Hal itu terjadi karena terbukti warisan pendahulu kita tak sekadar menjadi wahana belajar sejarah, tetapi juga mendatangkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kota dan warganya.