Pilu ”Yappa Maradda” di Sumba
Tradisi Yappa Maradda masih terjadi di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Perempuan muda diculik untuk dijadikan istri.
Praktik nikah paksa yang diawali penculikan perempuan dalam tradisi Yappa Maradda masih terjadi di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sejak tahun 2016 hingga November 2019, tercatat 36 penculikan perempuan muda untuk dijadikan istri di Sumba. Kasus terbanyak di Sumba Tengah, yakni 20 kasus, lalu Sumba Barat Daya sebanyak 16 kasus. Kepiluan masih menggelayut di Sumba.
Jumat (6/12/2019) pukul 16.00 Wita, DD perempuan berusia 22 tahun pegawai kontrak di Kementerian Agama Sumba Tengah duduk santai di teras kamar kos di Desa Wairasa, Kecamatan Anakalang, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Tiba-tiba, tujuh pemuda tanggung mendatanginya sambil membawa parang tajam menggantung di pinggang. Mereka bergegas membawa pergi DD, sedangkan DD memberontak minta tolong. Namun, tak satu pun pertolongan datang merespons teriakan pilu itu.
Itulah cukilan tradisi Yappa Maradda atau Yappa Mawini di Sumba. Bukan kali itu saja peristiwa penculikan perempuan muda untuk dikawini secara paksa.
Dalam kasus DD, ketujuh laki-laki tanggung itu tidak peduli meski perempuan muda ini meronta-ronta dalam genggaman tangan-tangan para pemuda kekar itu. Tangannya menyikut kiri kanan, kedua kaki menendang-nendang saat dibobong pergi.
”Mama tolong beta. Tuhan tolong beta. Mama beta mati.” Suara jeritan itu perlahan-lahan hilang tak terdengar dari rumah kos DD. Korban dibawa pergi sejauh satu kilometer menuju rumah ”calon” suami, juga di wilayah Waibakul.
Peristiwa itu merupakan penggalan video kisah penculikan yang didokumentasikan dan dikumpulkan Komunitas Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) Sumba. Namun, kenyataan sesungguhnya memang terjadi di tengah masyarakat secara turun-temurun.
Direktur Komunitas Sopan Sumba Martha Hebi di Tambolaka, Kamis (12/12/2019), mengatakan, saat penculikan itu, ibu kos berinisial AK (49) hanya menyaksikan kisah dramatis dari celah jendela. Seorang diri, ia pun ketakutan saat kasus berlangsung. Suaminya sedang keluar rumah dan para pelaku membawa parang panjang.
AK tidak menahan atau berbicara dengan para pria itu. Sebab, mereka sedang menjalani adat Yappa Marada yang dianut sejak nenek moyang.
Korban sebenarnya sudah menjalin hubungan asmara dengan salah satu pelaku penculikan, KP (27), selama tiga tahun. Orangtua kedua pihak sudah merestui hubungan keduanya, tetapi belum sampai tahap kesepakatan (perkawinan) adat dan perkawinan gereja.
Pada waktu yang sudah disepakati kedua pihak agar keluarga laki-laki datang, ternyata tidak juga datang. Tanpa pemberitahuan. Padahal, keluarga wanita sudah menyediakan beras, ayam, babi, dan sajian minuman tradisional, serta menghadirkan sejumlah anggota keluarga. Sejak Juli 2019 itu, DD dan keluarganya memutuskan hubungan dengan KP. Hingga akhirnya DD diculik 6 Desember 2019.
Atas intervensi pihak kepolisian dan kesepakatan kedua orangtua, DD dipulangkan ke rumah orangtuanya di Anakalang, Minggu (8/12).
Juli 2019, gadis berinisial PRM (16) dari wilayah Kodi Balaghar, Sumba Barat Daya, juga diculik beberapa pria dengan maksud dijadikan istri. Sebelumnya, PRM tidak pernah menjalin hubungan asmara dengan JK (32), laki-laki yang hendak memperistrinya. Setelah sampai di rumah, korban tetap menolak dijadikan istri JK.
Menolak diperistri, para penculik yang berjumlah tujuh orang itu menutup mata korban, lalu memperkosa PRM. Perilaku keji itu bertujuan agar korban malu dan tidak melarikan diri serta pasrah begitu saja untuk dijadikan istri laki-laki yang ia tak cintai.
Lima hari berada di rumah pelaku, korban melarikan diri pada tengah malam. Ia berjalan kaki selama 12 jam menuju rumah orangtuanya. Ia menceritakan semua kisah yang dialami itu. Selanjutnya, orangtua PRM membawanya ke Puskesmas Kodi Balaghar untuk divisum. Hasilnya, korban mengalami pendarahan di organ vitalnya dan pembengkakan di mulut rahim.
Korban lain berinisial RKM (20), gadis yatim piatu. Ia tinggal di Desa Magho Liyo, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya, bersama nenek dan tantenya. Senin (18/11/2019), ia didatangi laki-laki berinisial MA (34), tetangganya, yang datang bersama lima laki-laki yang ia tak kenali.
Ia hendak diculik para laki-laki itu di halaman rumahnya, tetapi ia berontak dan berlari menuju rumah panggung. Para pria itu terus mengejar RKM, lalu membawa paksa korban dari rumah itu. Nenek dan tante korban sedang berada di ladang singkong.
Korban didudukkan di atas sepeda motor. Posisinya ada di tengah, diapit dua pelaku. Korban dibawa ke rumah salah satu pelaku, JB (32). Ia disekap di kamar JB selama lima jam.
Warga yang menyaksikan peristiwa itu melapor kepada kepala desa. Kepala desa datang lalu bertanya kepada korban, ”Apakah kamu mau dengan laki-laki itu?” Korban menjawab, ”Tidak mau.” Kepala desa membalas, ”Kamu sudah di rumah laki-laki, terima saja.”
Selama tiga hari, korban dipaksa tinggal di rumah JB. Siang hari dipaksa kerja di ladang dan malam hari menerima kekerasan seksual. Jumat (22/11/2019), RKM berhasil melarikan diri dari rumah itu menuju tempat penampungan milik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, yang dikelola biara.
Pelanggaran didiamkan
RKM berharap pemerintah segera menghapus tradisi-tradisi di Sumba yang mengabaikan hak-hak perempuan, termasuk Yappa Maradda. Pelanggaran terhadap hak-hak asasi dan hal sosial perempuan Sumba harus dihapus, sesuai kebijakan umum pemerintah tentang pembangunan sumber daya manusia (SDM). Pembangunan SDM tidak membedakan pria atau wanita. Kedudukannya setara.
Tokoh perempuan Sumba, Salomi Rambu Iru, mengatakan, kasus penculikan itu merupakan praktik dari tradisi Yappa Maradda atau Yappa Mawini, yang berlangsung lama. Karena itu, pada saat perempuan (korban) meronta minta tolong, tidak ada yang menolong karena dinilai sebagai bagian dari adat yang harus dipatuhi.
Pemahaman kawin culik ini tidak hanya terjadi pada masyarakat bawah, tetapi juga pada masyarakat terdidik. Pada tahun 2017, perempuan sarjana juga diculik laki-laki yang juga sarjana. Korban yang menolak diperistri akhirnya kembali ke orangtua setelah lima hari disekap di rumah pria tersebut.
Sebagian besar kasus penculikan perempuan itu tidak diproses hukum meskipun menyebabkan perempuan trauma, stres, hamil, bahkan bunuh diri selama disekap di rumah pria. Pihak keluarga dan masyarakat pun enggan memproses hukum dengan anggapan bagian dari adat. Polisi pun tidak bertindak tanpa laporan.
”Kalau perempuan sudah di-Yappa, langsung dipersatukan dengan laki-laki di dalam kamar yang mau ambil dia jadi istri. Kalau melawan, kaki dan tangannya langsung diikat, kemudian diperkosa. Dorang (mereka) bilang, biar kasih dia jinak dulu. Dorang buat perempuan ini seperti binatang betul,” kata Iru.
Kasus Yappa Maradda berbeda dengan Palai Ngidi, yakni perempuan lari ikut laki-laki ke rumah orangtua laki-laki, karena orangtua perempuan tidak setuju atas hubungan cinta mereka. Kasus seperti ini terjadi atas kesepakatan kedua pihak.
Jika itu terjadi, pihak orangtua laki-laki akan mengutus wunang, perantara ke rumah orangtua perempuan untuk membahas adat perempuan tersebut.
Tokoh adat dan wunang (juru bicara) Sumba, Ruke Dedu, mengatakan, Yappa sebenarnya tidak sembarang dilakukan. Harus ada hubungan kekerabatan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan, yakni anak perempuan dari saudara laki-laki merupakan pihak yang pantas dinikahi anak laki-laki dari saudara perempuan atau sering disebut warga Sumba ”anak om”. Dalam adat Sumba memperistri anak om itu perkawinan yang diharapkan.
Mosen Mone (32), pria Sumba Barat Daya, mengatakan, tidak semua pria Sumba masih menganut tradisi itu. Ia sendiri menikah dengan istrinya, Blandina (28), melalui proses alamiah, seperti kebanyakan pernikahan di masyarakat umum.
Ajakan penghentian
Ketua Badan Pengurus Daerah Persekutuan Perempuan Pendidikan Teologi di Indonesia (BPD Peruati) Pdt Aprissa Taranau mengatakan, kasus-kasus Yappa Maradda tersebut merupakan potret pilu dari sekian kasus kekerasan yang menimpa perempuan Sumba. Menangkap atau menculik perempuan merupakan kejahatan yang mencederai nilai kemanusiaan, bertentangan dengan nilai hukum, dan hak asasi manusia perempuan Sumba.
BPD Peruati Sumba pun menolak keras segala tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam semua bentuk, termasuk budaya Yappa Maradda yang menjadikan perempuan sebagai obyek. Oleh karena itu, BPD Peruati mengimbau semua warga Sumba menghentikan praktik kawin tangkap karena bertentangan dengan kemanusiaan, norma hukum, dan hak asasi manusia.
BPD Peruati juga meminta lembaga agama dan penganut kepercayaan di Sumba menyatakan sikap tegas terhadap situasi itu. Itu sebagai wujud menegakkan nilai-nilai luhur agama bagi keadilan dan pembebasan serta mengupayakan tindakan preventif, penyadaran, atau edukasi bagi warga Sumba.
Haruskah gadis-gadis Sumba tetap dalam kungkungan tradisi yang menindas dan tidak memerdekakan? Tidak!