Kehadiran aparat di Laut Natuna Utara kini sangat dibutuhkan guna mencegah serbuan kapal pencuri ikan dari Vietnam serta China yang belakangan kembali marak.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, meminta pemerintah segera menambah patroli kapal penjaga laut. Kehadiran aparat di Laut Natuna Utara kini sangat dibutuhkan guna mencegah serbuan kapal pencuri ikan dari Vietnam serta China yang belakangan kembali marak.
Tokoh Nelayan Natuna Rodhial Huda, Kamis (2/1/2020), mengatakan, mereka sering terintimidasi ulah kapal pencuri ikan dan penjaga laut dari Vietnam serta China. Pencurian ikan biasanya akan marak di Laut Natuna Utara pada Desember hingga Januari bertepatan dengan datangnya musim angin utara.
”Pada periode itu nelayan lokal takut melaut karena ombak sangat tinggi. Selain karena teknologi kapal kami tidak memadai, juga karena tidak ada aparat yang berpatroli untuk mengawal,” kata Rodhial.
Kekosongan pada musim angin utara itu dimanfaatkan kapal-kapal pencuri ikan dari Vietnam dan China untuk memasuki Laut Natuna Utara. Mereka datang dengan dikawal kapal penjaga laut masing-masing. Pada saat bersamaan, nelayan lokal hanya bisa menonton sumber daya laut mereka dikeruk.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman, menyatakan akan menambah kekuatan guna menindak pencuri ikan. Saat ini, kapal Bakamla yang terbesar, KN Tanjung Datu, telah disiagakan untuk mengawasi Laut Natuna Utara.
”Bagi kami, sejak awal pun, tidak ada pilihan selain (Bakamla) harus hadir dan menambah kekuatan di sana. Selalu kami usir jika ada yang melanggar,” ujar Taufiqoerrochman.
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, Laut Natuna Utara diakui sebagai zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Klaim ”Sembilan Garis Putus” yang dipakai China atas sebagian wilayah itu tak berdasarkan hukum dan pernah ditolak Mahkamah Internasional pada 2016.
Taufiqoerrochman menegaskan, dalam menjalankan operasi, Bakamla akan tetap berpegang kepada hukum internasional yang berlaku. Untuk itu, Kementerian Luar Negeri juga diminta menggalang dukungan negara lain agar dunia ikut menghukum China yang telah melanggar kesepakatan internasional di Laut Natuna Utara.
”Dengan Vietnam memang ada tumpang tindih klaim ZEE yang belum tuntas dirundingkan. Namun, antara Indonesia dan China seharusnya tidak ada (masalah) sama sekali,” kata Taufiqoerrochman.
Celah
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim mengatakan, kapal pencuri ikan kembali masuk karena ada celah akibat pengawasan yang lemah. Pemangkasan anggaran pengawasan membuat intensitas patroli laut berkurang.
Pada 2018, anggaran belanja Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan jumlahnya mencapai Rp 816 miliar. Namun, pada tahun berikutnya, jumlah itu turun menjadi Rp 616 miliar. Dampaknya, jumlah hari pengawasan ikut menyusut dari sebelumnya 145 hari dalam setahun menjadi hanya 84 hari sepanjang 2019.
Adapun potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan besarnya mencapai 767.126 ton.
Potensi besar dan pengawasan lemah itu tentunya akan terus menarik kedatangan nelayan dari Vietnam yang kini tengah mengalami kesulitan menangkap ikan di laut mereka.
”Hal itu menunjukkan, dengan kata lain, pemerintah sedang mempersilakan kapal-kapal asing untuk ikut menikmati sumber daya laut Indonesia,” ucap Abdul.
Hal itu menunjukkan, dengan kata lain, pemerintah sedang mempersilakan kapal-kapal asing untuk ikut menikmati sumber daya laut Indonesia.
Menurut dia, keputusan pemerintah pada 2017 untuk menamai ZEE di perairan Natuna sebagai Laut Natuna Utara sudah tepat. Namun, jika tidak disertai upaya pengawasan yang memadai, pengubahan nama itu tidak akan memberi dampak apa pun terhadap kemajuan diplomasi di wilayah tersebut.
Abdul menduga pergerakan kapal penjaga laut China di Laut Natuna Utara merupakan upaya mereka untuk menarik perhatian dunia internasional. Jika kapal penjaga laut Indonesia tidak pernah hadir di lokasi, bukan tidak mungkin dukungan internasional akan berbalik karena China dianggap lebih sering mengurusi wilayah itu. Hal yang sama telah menyebabkan Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia.
”Mengubah penamaan tanpa mengisi (kehadiran) itu sama dengan bohong. Bicara kekuatan di laut yang dilihat adalah bendera yang hadir di sana,” ujarnya.