Kuota keramba jaring apung di Waduk Cirata bakal dikaji ulang. Alasannya, jumlah keramba jaring apung di sana sudah mencapai lebih dari 98.000 petak sehingga berpotensi mencemari lingkungan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
NGAMPRAH, KOMPAS –Kuota keramba jaring apung di Waduk Cirata bakal dikaji ulang. Alasannya, jumlah keramba jaring apung di sana sudah mencapai lebih dari 98.000 petak sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Seluruh pihak perlu mengkaji ulang keberadaan budidaya ikan tawar tersebut dari berbagai aspek.
Cirata adalah satu dari tiga waduk besar di Jawa Barat, selain Saguling dan Jatiluhur. Selain berfungsi membangkitkan listrik Jawa-Bali, air waduk yang berada di perbatasan Kabupaten Bandung Barat, Purwakarta dan Kabupaten Cianjur itu digunakan warga untuk budidaya ikan di keramba jaring apung (KJA).
Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) Wawan Darmawan mengatakan, aktivitas berlebihan di KJA rentan menjadi polutan bagi waduk. Pencemaran lingkungan bakal berdampak pada kualitas air di aliran Sungai Citarum yang menjadi sumber air bersih bagi warga Jabar dan DKI Jakarta.
Ditemui usai dialog bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait KJA di Kantor BPWC, Kecamatan Cipeundeuy, Bandung Barat, Jumat (3/1/2020), Wawan menyatakan, perbandingan antara jumlah ikan dengan pemberian pakan di waduk hampir satu berbanding dua. Pakan yang tidak dimakan akan larut di dalam air bersama dengan semua bahan kimianya.
Beberapa bahan kimia tersebut, tutur Wawan, menyebabkan generator pembangkit listrik di Waduk Cirata menjadi cepat keropos. Di samping itu, pakan yang tersisa itu menambah pertumbuhan eceng gondok sehingga menutupi permukaan air.
“Hitungannya, setiap 1 ton ikan, petani mengeluarkan 2 ton pakan, dan tidak semuanya akan dimakan. Pakan yang terendap ini yang menjadi masalah. Namun, kami akan terus pantau karena penyebab tercemarnya air tidak hanya dari budidaya, tetapi juga limbah industri,” tuturnya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar Jafar Ismail menuturkan, pihaknya tengah mengkaji masalah ini bersama beberapa ahli. Salah satu hasilnya, untuk mengerem laju polusi di Sungai Citarum, perlu dilakukan pengurangan jumlah KJA di Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Nantinya, Cirata hanya akan menampung 7.000 keramba, Saguling (3.000 keramba), dan Jatiluhur (11.000 keramba).
Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan kondisi saat ini. Kini, Waduk Cirata memiliki lebih dari 98.000 keramba, Saguling (35.000 keramba), dan Jatiluhur (33.000 keramba).
Ekonomi masyarakat
Akan tetapi, pengurangan daya tampung tersebut dikhawatirkan bakal berimbas terhadap sektor perekonomian. Jafar menuturkan, hampir 60 persen produksi ikan air tawar Jabar berasal dari KJA di tiga waduk tersebut.
“Perputaran uang dari aktivitas KJA di Waduk Cirata saja mencapai Rp 10 miliar per bulan. Karena itu, kami akan mencoba membicarakan lagi dengan para ahli untuk mencari jalan keluarnya,” tutur Jafar.
Perputaran uang dari aktivitas KJA di Waduk Cirata saja mencapai Rp 10 miliar per bulan. Karena itu, kami akan mencoba membicarakan lagi dengan para ahli untuk mencari jalan keluarnya. (Jafar Ismail)
Iim Lukmanhakim (54), petani KJA, khawatir tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya jika 20 petak keramba miliknya dilarang beroperasi. Selama ini, dia hanya mengandalkan KJA. Dia mendapatkan Rp 5 juta per sekali panen. Masa panen dilakukan antara 5-6 bulan sekali.
Di samping itu, Iim sudah terlanjur terlilit hutang sebagai modal untuk membeli benih dan pakan hingga Rp 20 juta. “Saya tidak punya apa-apa di darat. Kalau tiba-tiba dilarang, kami semua akan makan apa,” tuturnya. Karena itu, Iim berharap pemerintah mempertimbangkan kondisi tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kunjungannya di Waduk Cirata menyatakan, pemerintah daerah harus mengkaji kembali dengan memperhatikan berbagai aspek, termasuk kondisi ekonomi masyarakat. Dia menganggap alih profesi bukanlah jalan keluar yang terbaik dan berharap masih ada warga yang tetap memiliki kemampuan budidaya.
“Tidak semua orang memiliki kemampuan budidaya ikan. Kalau mereka tidak ada, kami yang akan kesulitan. Karena itu, semua pihak harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam memandang masalah KJA ini,” ujarnya.