Curah hujan yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada pergantian tahun 2020 tertinggi dalam sejarah. Namun, banjir tak hanya soal tingginya curah hujan, tetapi juga kondisi geologis, infrastruktur, dan perilaku warga.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Curah hujan yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada pergantian tahun 2020 tertinggi dalam sejarah. Namun, banjir tak hanya soal tingginya curah hujan, tetapi juga dipengaruhi kondisi geologis dan geografis, infrastruktur, manajemen, hingga perilaku warga.
Pencatatan curah hujan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, hujan ekstrem terjadi merata di Jakarta dan sekitarnya pada 31 Desember 2019 sampai 1 Januari 2020.
Curah tertinggi terjadi di Bandara Halim Perdanakusuma, mencapai 377 milimeter (mm) per hari, di Taman Mini Indonesia Indah 335 mm per hari, Jatiasih 260 mm per hari, Cikeas 246 mm per hari, dan di Tomang 226 mm per hari.
Curah hujan 377 mm per hari yang terjadi kali ini tertinggi di Jakarta dan sekitarnya sejak pengukuran pertama kali di zaman kolonial Belanda pada 1866. Sebelumnya, rekor curah hujan tertinggi terekam di Sunter pada Februari 2015 dengan ketinggian 367 mm per hari.
Pada 2015 juga terjadi banjir di Jakarta, tapi skalanya tak seluas kini. Menurut analisis peneliti iklim BMKG Siswanto, sebaran hujan ekstrem pada 2015 hanya terjadi di pusat Jakarta sisi utara. Sementara sebaran hujan ekstrem kali ini merata, termasuk di daerah tengah dan hulu, seperti Depok dan Bogor.
Dua rekor curah hujan tertinggi di Jakarta, yaitu pada 2015 dan 2019/2020, dalam 154 tahun pencatatan ini menandai perubahan pola hujan. Kajian Siswanto berdasarkan tren jangka panjang merekam perubahan itu.
Kajian yang dipublikasikan dalam jurnal Royal Meteorological Society (2015) menyebut, pada 1866-2010, jumlah hari hujan di Jakarta berkurang, tapi proporsi curah hujan lebat melebihi 50 mm per hari dan 100 mm per hari pada total hujan tahunan, naik signifikan. Meski curah hujan tahunan berkurang, frekuensi hujan ekstrem skala jam atau harian meningkat.
Riset Siswanto juga menemukan akumulasi curah hujan ekstrem berkontribusi pada 30 persen total curah hujan bulanan. Dengan pola ini, risiko perulangan hujan dengan intensitas ekstrem naik tiga kali dibandingkan 100 tahun lalu.
Peningkatan hujan ekstrem ini hanya satu cerita karena, pada saat sama, Jakarta dan semua wilayah RI, di selatan garis khatulistiwa mengalami penurunan total curah hujan tahunan.
Riset peneliti BMKG Supari di jurnal International Journal of Climatology (2016) menunjukkan, dalam tiga dekade terakhir, curah hujan meningkat di Indonesia, tepatnya sebelah utara garis khatulistiwa, terutama Sumatera bagian tengah dan utara, Kalimantan bagian timur, dan Sulawesi bagian tengah dan utara.
Pergeseran curah hujan terjadi secara global. Studi oleh Lau dan Wu (2007) menemukan, ada pergeseran signifikan distribusi fungsi probabilitas hujan tropis di sejumlah negara pada 1979-2003. Itu terjadi pada kenaikan kejadian hujan kategori lebat (10 persen curah tertinggi) dan turunnya hujan ringan (5 persen curah hujan terendah).
Kajian oleh Kevin E Trenberth di jurnal Nature Climate Change (2015) juga menunjukkan, peningkatan cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia ini berkaitan dengan suhu permukaan, daratan, dan lautan. Dengan penambahan kenaikan suhu global mencapai 1,1 derajat celsius ketimbang tahun 1850-an, dapur cuaca dipastikan telah berubah.
Data meteorologis tak terbantahkan, peluang hujan ekstrem bakal meningkat. Itu berarti, risiko banjir di Jakarta, dari aspek cuaca, meningkat. Demikian halnya risiko defisit air di musim kemarau meningkat, seperti terjadi di seluruh Pulau Jawa.
Khusus untuk Jakarta, risiko banjir tak hanya disebabkan curah hujan. Dari aspek geografis, Jakarta rentan banjir karena berupa dataran rendah yang jadi muara 13 sungai. Posisi geografis ini menyebabkan dataran Jakarta di masa lalu memiliki banyak rawa dan situ, yang menjadi area parkir air secara alami. Seiring waktu, area ini diuruk atau dikeringkan.
Selain itu, nasib Jakarta ditentukan kiriman air dari daerah penyangga di atasnya, khususnya Bogor. Namun, kawasan ini jadi pusat permukiman baru. Waduk-waduk dan rawa-rawa yang banyak di pinggiran Jakarta juga dikeringkan dan dijadikan hunian. Akibatnya, kawasan resapan air justru mengirim lebih banyak air permukaan ke Jakarta.
Daerah bantaran sungai di Jakarta dan sekitarnya yang jadi limpasan banjir di musim hujan pun menyempit, bahkan menghilang dan disulap menjadi permukiman. Itu menyebabkan ancaman banjir meningkat tiap tahun.
Apalagi, secara geologis, permukaan tanah di Jakarta terus menurun hingga 4,1 meter sejak 1974. Di saat bersamaan tinggi permukaan laut meningkat seiring pemanasan global. Secara alami, air dari sungai bakal makin sulit ke laut.
Maka, pengoperasian pompa-pompa air di Jakarta jadi vital dan keteledoran mengoperasikan bakal jadi bencana. Sementara perilaku buang sampah sembarangan sehingga memampatkan saluran air dan sungai berkontribusi besar.
Dengan kompleksitas persoalan ini, solusi banjir Jakarta tak semudah membalik telapak tangan. Normalisasi sungai, yang ditafsirkan sebagai pembetonan dan pembuatan tanggul-tanggul sungai, juga bukan jaminan.
Integrasi penataan ruang hulu dan hilir wajib dilakukan. Hal yang tak boleh dilupakan adalah solusi mengatasi banjir di Jakarta seharusnya tak mengabaikan ancaman defisit air di musim kemarau yang meningkat.