Korban jiwa akibat banjir bandang di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, bertambah menjadi empat orang, Jumat (3/1/2020) sore. Lebih dari 100 keluarga terpaksa mengungsi, sementara ratusan lainnya terisolasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS — Korban jiwa akibat banjir bandang di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, bertambah satu orang menjadi empat orang, Jumat (3/1/2020) sore. Lebih dari 100 keluarga terpaksa mengungsi, sementara ratusan keluarga lainnya terisolasi akibat rusaknya jembatan.
Dalam wawancara dengan Kompas TV, Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana mengatakan, banjir bandang melanda Kampung Lebo dan Belengang di Kecamatan Manganitu serta Kampung Ulung Peliang di Kecamatan Tamako. ”Ada empat korban jiwa akibat terbawa arus banjir dan tertimbun longsor,” kata Jabes.
Korban tewas di Lebo yang telah ditemukan adalah Bartolomeus Mangape (83) dan Armando Makanangeng (18), masing-masing terbawa arus dan tertimbun longsor. Korban longsor bernama Siren Ontak (40) dan satu orang lainnya masih dalam pencarian meski dipastikan telah meninggal.
Korban luka ringan langsung mendapat pertolongan di tempat.
Jabes mengatakan, saat ini TNI, Polri, Tim Pencarian dan Penyelamatan (SAR), serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepulauan Sangihe masih mencari korban. Berbagai perlengkapan, mulai dari selang air, perahu karet, hingga alat berat, dikerahkan.
Sementara jumlah korban luka-luka bertambah dari delapan menjadi sepuluh orang dan dirawat di Puskesmas Manganitu. ”Korban luka ringan langsung mendapat pertolongan di tempat. Semua pengobatan dibiayai pemerintah kabupaten,” kata Jabes.
Sementara itu, Kepala BPBD Kepulauan Sangihe Revolius Pudihang mengatakan, 80 keluarga di Kampung Lebo mesti mengungsi ke gereja ataupun rumah warga yang tidak terdampak banjir. Di Kampung Belengang, 16 keluarga juga mengungsi, begitu juga 25 keluarga di Kampung Ulung Peliang, Tamako.
Empat dapur umum telah didirikan di Lebo dan dua lainnya di Belengang. Namun, 174 keluarga di Ulung Peliang terisolasi karena jembatan penyambung kampung itu dengan wilayah lain terputus. Warga mesti berjalan kaki untuk mengambil bantuan yang diantarkan pemerintah dan masyarakat.
”Sementara pencarian korban masih berlangsung, kami juga berupaya membuka akses jalan yang tertutup di empat titik longsor. Pengobatan bagi korban luka-luka juga terus diberikan bersamaan dengan makanan siap saji dan kebutuhan pakaian,” kata Revolius.
Hingga kini, BPBD Kepulauan Sangihe juga masih mendata jumlah rumah dan bangunan lain yang rusak. Untuk sementara di tiga kampung tersebut, 8 rumah hanyut, 10 rumah rusak ringan, dan 1 gereja rusak ringan.
Jabes Gaghana mengatakan, pemerintah terus berupaya mengevakuasi warga. Rumah-rumah pun dicek, apakah masih layak ditinggali atau tidak. Bantuan juga datang dari berbagai pihak, mulai dari tokoh agama, masyarakat sekitar, hingga BUMN.
”Pengungsi membutuhkan makanan dan pakaian layak pakai. Mereka cuma punya pakaian yang menempel di badan, tapi sudah basah kuyup,” kata Jabes.
Penyebab
Dihubungi terpisah, pemantau cuaca di Stasiun Klimatologi Naha Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kepulauan Sangihe, Rafael Marbun, mengatakan, curah hujan di Naha mencapai 52,4 milimeter per hari. Angka tersebut masih tergolong normal, tetapi tidak dapat mewakili seluruh wilayah kabupaten.
”Di Kampung Lebo, misalnya, curah hujan bisa jadi lebih tinggi. Secara topografis, wilayahnya juga berbentuk perbukitan sehingga bencana lebih rawan terjadi. Jadi, tidak bisa dikatakan hanya semata akibat hujan lebat,” kata Rafael.
Untuk saat ini, kata Rafael, cuaca di wilayah yang terdampak banjir telah kembali normal. Berdasarkan data BMKG, cuaca di Tahuna, ibu kota kabupaten, akan cenderung cerah dan berawan pada Sabtu-Minggu (4-5/1/2020).
Jabes mengatakan, banjir tak hanya disebabkan intensitas hujan yang tinggi, tetapi juga kelalaian masyarakat dalam menebang pohon di sekitar daerah aliran sungai. ”Akibatnya, ada penumpukan material kayu di sekitar sungai,” katanya.
Hal ini dibenarkan Revolius Pudihang. Air yang meluap dari anak-anak sungai di wilayah Lebo tidak hanya akibat hujan deras, tetapi juga tumpukan material kayu yang menghambat lajunya.