Tantangan Perbankan 2020
Bagaimana perbankan nasional menghadapi segunung tantangan pada 2020, di tengah ancaman resesi global?
Bagaimana kinerja bank umum? Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan kredit hanya tumbuh 7,81 persen dari Rp 4.922 triliun (September 2018) menjadi Rp 5.306 triliun (September 2019). Tiga tahun terakhir, pertumbuhan kredit terus melandai dari 7,58 persen (2016) ke 8,30 persen (2017), 11,97 persen (2018), dan 7,81 persen (2019, hingga September).
Dana pihak ketiga (DPK) hanya tumbuh 7,53 persen dari Rp 4.922 triliun (September 2018) menjadi Rp 5.625 triliun (September 2019). Pertumbuhan DPK juga melandai dari 9,25 persen (2016) menjadi 9,08 persen (2017), 6,37 persen (2018), dan 7,53 persen (2019, hingga September). Akibatnya, rasio kredit terhadap DPK (loan to deposit ratio/LDR) naik dari 94,09 persen menjadi 94,34 persen, menyiratkan gersangnya likuiditas dan melewati ambang batas rasio ideal 78-92 persen.
Faktor kunci keberhasilan
Apa saja tantangan bank? Lantas, apa saja faktor kunci keberhasilan yang wajib dipenuhi untuk menghadapi tantangan itu? Pertama, tekanan eksternal perang dagang antara AS dan China terus berlangsung. Bahkan, kini, AS akan menaikkan tarif impor pada produk ekspor Perancis, sebagai balasan terhadap Perancis yang memungut pajak digital terhadap perusahaan AS, seperti Facebook dan Google. Perancis dan Uni Eropa (UE) siap melawan AS jika Presiden Trump jadi mewujudkan ancamannya, dengan mengenakan 100 persen bea masuk pada barang impor dari AS.
Tekanan eksternal perang dagang antara AS dan China terus berlangsung.
Pasti negara berkembang terkena getahnya, berupa sepinya perdagangan ekspor ke kedua negara raksasa itu. Negara lain memperoleh berkah dari pengalihan impor itu, seperti Vietnam, Chile, dan Malaysia, kecuali Indonesia. Akibatnya, nilai ekspor jadi menipis, mendorong defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) diprediksi makin dalam, 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2019, meski di bawah ambang batas 3 persen.
Kedua, tekanan eksternal lain berupa suku bunga acuan AS walau bank sentral AS (The Fed) tetap mempertahankan suku bunga acuan (The Fed Fund Rate/FFR) pada 1,5-1,75 persen. FFR sudah turun masing-masing 25 basis poin (bps) pada Juli, September, dan Oktober 2019. Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI 7 Day Reverse Repo Rate) sudah turun 100 bps masing-masing 25 bps pada Juli, Agustus, September, dan Oktober 2019 menjadi 5 persen. Ketika suku bunga acuan turun, suku bunga kredit juga akan turun sehingga memacu sektor riil untuk melakukan ekspansi.
Bahkan, BI juga sudah memangkas giro wajib minimum (GWM) 25 bps pada Juni dan November 2019 menjadi 5,5 persen untuk bank konvensional dan 4 persen untuk bank syariah. Pemangkasan GWM itu akan mengalirkan sekitar Rp 50 triliun kepada bank untuk melakukan ekspansi kredit. Namun, penurunan suku bunga acuan dan GWM itu merupakan upaya dari sisi penawaran, padahal sisi permintaan kredit boleh dikatakan jalan di tempat.
Risikonya, likuiditas yang melonggar itu justru parkir di surat berharga. SPI mencatat penempatan bank pada surat berharga naik 3,51 persen dari Rp 1.001 triliun per September 2018 menjadi Rp 1.036 triliun per September 2019. Jumlah itu meliputi sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang naik 20,31 persen dari Rp 31 triliun menjadi Rp 92 triliun dan obligasi yang juga naik 8,24 persen dari Rp 671 triliun menjadi Rp 726 triliun.
Sebaliknya, penempatan pada surat perbendaharaan negara (SBN) turun 43,36 persen dari Rp 71 triliun menjadi Rp 40 triliun dan surat berharga lainnya turun 22,46 persen dari Rp 229 triliun menjadi Rp 178 triliun.
Ketiga, ancaman resesi sudah di depan hidung. Di kalangan G-20, lima negara (Inggris, Italia, Jerman, Meksiko, dan Brasil) di ambang resesi. Dari lima negara yang menurut Morgan Stanley pada 2013 dianggap rapuh (fragile five), satu negara, yakni Turki, resmi memasuki resesi dan empat lainnya (Indonesia, Italia, Brasil, dan Afrika Selatan) melambat (Kompas, 7/11/2019).
Bagaimana pertumbuhan PDB negara-negara itu? Inggris 1 persen, Italia 0,3 persen, Jerman 0,5 persen, Meksiko minus 0,3 persen, Brasil 1,2 persen, Turki 0,9 persen, Indonesia 5,2 persen, dan Afrika Selatan 0,1 persen per kuartal III-2019. Data itu menegaskan PDB Indonesia paling tinggi di antara 10 negara yang disebut, tetapi mengapa Indonesia ikut disebut? Mungkin karena penipisan ekspor dan investasi. Bandingkan dengan negara ASEAN, Vietnam 7,31 persen, Filipina 6,20 persen, Malaysia 4,4 persen, Thailand 3,4 persen, dan Singapura 0,5 persen. Karena itu, Bank Dunia menurunkan prediksi PDB Indonesia 5,1 persen di bawah target 5,2 persen di 2019 dan Bank Pembangunan Asia (ADB) 5,1 persen. BI, Kemenkeu, dan OJK masing-masing memprediksi 5,1 persen, 5,1 persen, dan 5,2 persen.
Pada 2020, BI memprediksi pertumbuhan kredit 10-12 persen dan DPK 8-10 persen, sedangkan OJK 10-12 persen dan DPK 7-9 persen. Hal itu mendorong bank untuk memasang pertumbuhan kredit moderat. BRI menetapkan target untuk kredit dan DPK 10-11 persen, Bank Mandiri untuk kredit 11 persen, BNI untuk kredit 11-13 persen dan DPK 12-14 persen, serta BTN untuk kredit 5-7 persen dan DPK 7-9 persen.
Menghadapi resesi
Bagaimana bank menyikapi ancaman resesi? Bank harus menambah modal di atas minimum dengan penyangga konservasi modal (capital conservation buffer) dan penyangga untuk melawan risiko siklikal (counter-cyclical buffer). Itu saran Komite Basel seperti dikutip Thomas F Huertas dalam Crisis: Cause, Containment and Cure (2011). Penyangga konservasi modal adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga apabila terjadi kerugian pada periode krisis. Penyangga untuk melawan risiko siklikal adalah tambahan modal untuk mengantisipasi kerugian jika terjadi pertumbuhan kredit yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Bank umum kegiatan usaha (BUKU) 3 (modal inti di atas Rp 5-30 triliun) dan BUKU 4 (di atas Rp 30 triliun) wajib membentuk penyangga konservasi modal 2,5 persen dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR) secara bertahap mulai 1 Januari 2016-2019. Semua bank wajib membentuk penyangga untuk melawan risiko siklikal 2,5 persen dari ATMR secara bertahap mulai 1 Januari 2016-2019.
Keempat, lalu bagaimana bank mampu menyuburkan pertumbuhan ekonomi? Proyek infrastruktur seperti jalan tol, jembatan, bandara, jalan kereta api termasuk MRT dan LRT, irigasi dan pembangkit listrik masih jadi magnet bagi bank terutama BUKU 3 dan 4 untuk tancap gas pol. Kredit sindikasi ini berisiko rendah karena ditanggung pemerintah (government risk), tetapi mengandung pendapatan bunga yang gurih. Oleh karena itu, kredit ke sektor listrik, gas dan air, sektor konstruksi, dan sektor transportasi yang kini tumbuh 13,81 persen, 28,26 persen, dan 10,54 persen akan tetap jadi kredit primadona. Waspadalah rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) sektor konstruksi cukup tinggi 3,55 persen per September 2019.
Kelima, karena itu, bank wajib memperbaiki kualitas kredit dengan mengerem kredit ke sektor dengan NPL tinggi di tengah ambang batas 5 persen. Katakanlah, sektor penyediaan akomodasi dengan NPL 6,07 persen, sektor perikanan 5,48 persen, sektor perdagangan 3,86 persen, sektor industri pengolahan 3,65 persen. Pun, sektor konstruksi 3,55 persen dan sektor pertambangan 3,10 persen. Inilah sektor dengan NPL lebih aman: sektor administrasi pemerintahan 0,04 persen, sektor listrik 0,94 persen, sektor jasa pendidikan 1,06 persen, sektor perantara keuangan 1,30 persen. Selain itu, sektor kesehatan 1,56 persen, sektor real estat 2,03 persen, transportasi 2,16 persen, dan jasa perorangan 2,17 persen.
Keenam, bank perlu pula mengerem kredit valuta asing (valas). Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang fluktuatif mendorong kredit valas kian berisiko tinggi kecuali sudah digembok dengan lindung nilai (hedging). Namun, tak berarti bank tak boleh bermain valas lantaran segmen ini juga membawa keuntungan legit melalui transaksi di pasar uang seperti penempatan dana dan devisa.
Ketujuh, bank BUKU mana pun tetap wajib meluncurkan kredit minimal 20 persen ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terutama bagi yang belum memenuhi target pada akhir 2018. Tampaknya mudah menyalurkan kredit ke segmen itu, tetapi ternyata tidak, terlebih bagi BUKU 3 dan 4. Bagi BUKU 1 (modal inti di bawah Rp 1 triliun) dan 2 (di atas Rp 1 triliun-Rp 5 triliun) mungkin sudah biasa mengucurkan kredit ke segmen itu karena habitatnya.
Karena itu, banyak bank papan atas menggandeng mesra bank papan bawah atau bank perkreditan rakyat (BPR). Artinya, bank papan atas membagi margin dengan kredit channeling sehingga menguntungkan kedua pihak. Selain bermargin tebal, segmen UMKM mampu menyerap 100 juta lebih tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja perlu menjadi prioritas dalam menjaga ketahanan ekonomi. Apalagi UMKM telah terbukti tahan banting terhadap krisis ekonomi. Bank pun menggeber kredit usaha rakyat (KUR) dengan suku bunga yang turun dari 7 persen pada 2018-2019 menjadi 6 persen efektif 1 Januari 2020.
Kedelapan, bank pun wajib mengencangkan ikat pinggang alias efisien sebagai senjata ampuh dalam memenangi persaingan. Ini mendesak.
Kesembilan, regulator mewajibkan bank menggunakan standar akuntansi baru Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 dan International Financial Reporting Standards (IFRS) pada 9 Januari 2020 untuk menggantikan PSAK 55. Sarinya, ada tambahan cadangan baru.
Berbekal aneka faktor kunci keberhasilan itu, bank amat diharapkan akan tetap mampu bersaing dengan trengginas dalam kelesuan ekonomi global.
Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI