Melepas pergantian tahun tak lagi identik dengan pesta kembang api, petasan, ataupun riuh suara terompet. Sebagian orang melewatkan dengan menikmati alam bebas, berkemah, berbaur bersama warga, dan menanam pohon.
Oleh
·4 menit baca
Melepas pergantian tahun tak lagi identik dengan pesta kembang api, petasan, ataupun riuh suara terompet. Di keheningan alam, dalam balutan kabut dan dingin malam serta suasana yang lebih karib, pergantian tahun nyatanya tak kehilangan makna.
Bias sinar matahari pagi, Rabu (1/1/2020), di kawasan hutan pinus Lembanna, Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong, Gowa, Sulawesi Selatan, samar tertutup mendung. Perlahan hutan pinus di kaki Gunung Bawakaraeng ini diselimuti kabut. Sempat cerah sebentar, lalu gerimis mulai turun.
Ratusan pengunjung yang sejak sehari sebelumnya berkumpul di kawasan hutan pinus ini tak hirau. Mereka tetap bangun dan penuh semangat menyambut hari pertama pada tahun 2020.
Malam sebelumnya, mereka melewatkan pergantian tahun dalam suasana lebih karib berselimut dingin malam. Namun, tanpa hujan. Tak ada petasan, terompet, ataupun kembang api. Hanya ada canda tawa dan sesekali lolongan anjing. Detik-detik pergantian tahun dilewatkan dengan saling bersalaman, berpelukan. Sebagian dengan isak haru.
”Saya sengaja menjauh dari kota dan mencari ketenangan dengan mendekatkan diri pada alam. Di sini suasana lebih akrab. Tak ada ingar-hingar pesta tahun baru. Rasanya lebih nyaman dan lebih bermakna,” kata Sulfendi Safitri (27), warga Makassar.
Sementara Febrianto Ali Masare, mahasiswa Fakuktas Teknik Industri Universitas Muslim Indonesia, yang datang bersama enam temannya, memilih puncak Gunung Bawakareng untuk melepas tahun.
”Kami mencari suasana baru untuk melepas pergantian tahun. Kalau di kota sudah biasa dan bosan. Sesekali kami ingin melepas pergantian tahun tanpa bunyi terompet, petasan, atau kembang api,” katanya.
Menikmati alam menjadi pilihan sebagian orang untuk melewatkan pergantian tahun kali ini. Tak hanya di Lembanna dan puncak Gunung Bawakareng, sejumlah tempat lain di Gowa, seperti Lembah Ramma, Danau Tanralili, dan wisata alam Malino, dipenuhi pengunjung.
Di Lembanna, hingga menjelang detik-detik pergantian tahun, pengunjung terus berdatangan. Ratusan kendaraan roda dua dan empat memenuhi kawasan parkir di areal hutan pinus ataupun rumah-rumah warga.
Sebagian tak memasang tenda, tapi memilih menginap di rumah warga. Di halaman-halaman rumah dan jalan kampung, mereka berkumpul dan berbaur bersama warga. Suasana begitu karib. Warga mengeluarkan pembakaran serta membakar jagung dan ikan.
”Kami senang kalau orang-orang kota datang bersama kami di sini. Walau ramai, sedikit pun kami tak merasa terganggu. Sebagian pencinta alam bahkan sudah sering ke sini hingga kami sudah merasa seperti keluarga,” kata Daeng Lantik (40), warga Lembanna.
Menanam pohon
Namun, tak semua pengunjung sekadar datang menanti pergantian tahun dengan menikmati alam. Beberapa kelompok memilih melewatkan pergantian tahun dengan menanam pohon. Penanaman mulai dilakukan sejak Sabtu (28/12/2019) dan baru berakhir pada petang jelang malam pergantian tahun.
Wanapala Chetengan adalah salah satu kelompok pencinta alam yang memang rutin melakukan penanaman pohon setiap tahun. Tahun ini mereka memilih menanami lereng-lereng yang terbakar pada puncak kemarau September lalu. Bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Gowa, mereka menanam 2.500 bibit jabon.
”Ini sudah tahun kelima kami mengisi akhir tahun dengan menanam pohon. Kebetulan kemarin sebagian lereng Bawakaraeng terbakar dan kami memilih momen akhir tahun untuk kembali melakukan penanaman. Kami juga memanfaatkan libur akhir tahun teman-teman. Semua sepakat berkumpul dan melakukan penanaman,” kata M Ikhsan, salah seorang pendiri Wanapala Chetengan.
Para pegiat lingkungan ini datang bersama keluarga mereka. Anak-anak pun dilibatkan dalam penanaman. Selama empat hari mereka tidur di tenda dan menikmati suasana alam yang tenang.
Raisa Azsahra (5), siswa kelas I SDN 103 Sinjai, misalnya, begitu senang saat Buleng, ayahnya, mengajak ke Lembanna mengikuti kegiatan menanam pohon. Selama tiga hari dia mengikuti ayahnya dan pegiat lingkungan lain menanam pohon.
”Saya senang. Tidur di tenda, lihat air terjun, sungai, main di hutan sambil menanam pohon. Ini sudah bibit pohon yang ke-21 yang saya tanam,” katanya saat ditemui sedang menanam bibit jabon di pos 1 Gunung Bawakareng.
Selain bermain di alam bebas, Raisa juga senang karena bertemu teman-teman sebayanya dan menanam pohon bersama.
”Kami sengaja mengajak anak-anak dalam kegiatan seperti ini. Kami mengajari mereka untuk mencintai dan merawat bumi. Di sini semua anggota juga menjadi lebih akrab. Kegiatan seperti ini juga jadi wujud rasa syukur kami pada semesta sekaligus keprihatinan atas kerusakan lingkungan,” kata Egi, salah seorang pegiat di Wanapala Chetengan.
Pergantian tahun dilewatkan sebagian orang tanpa riuh pesta. Sebagian melewatkannya dengan melakukan hal baik dan bekerja dalam sunyi, jauh dari riuh terompet, petasan, dan kembang api. Di tengah keheningan alam, pergantian tahun dirasakan jauh lebih bermakna.