Menanti Peran Warga Melestarikan Lingkungan Ibu Kota
Daya dukung lingkungan Jakarta terus menurun seriring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat urban. Kesadaran dan peran nyata publik diperlukan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan Ibu Kota.
Oleh
M. Puteri Rosalina (Litbang Kompas)
·5 menit baca
Daya dukung lingkungan Jakarta terus menurun seriring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat kota. Sebagian masyarakat menyadari dan mengkhawatirkan kondisi lingkungan tersebut. Di sisi lain, kesadaran dan peran nyata publik diperlukan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan ibu kota.
Gambaran penurunan daya dukung lingkungan sudah terlihat dari berbagai masalah perkotaan yang timbul karena kerusakan lingkungan. Sebut saja persoalan banjir, erosi, kekeringan, kekurangan air bersih, penurunan muka tanah hingga pencemaran air, air tanah, dan udara.
Selama setahun ini, Kompas merekam presepsi warga Jabodetabek mengenai sejumlah masalah lingkungan seperti banjir, pencemaran udara, hingga sampah. Hampir semua merupakan masalah lama yang belum efektif penyelesaiannya dan akan selalu terulang terjadi setiap tahun.
Banjir ini merupakan masalah lama yang sudah terjadi dari masa pemerintahan Kolonial Belanda hingga sekarang. Sungai Ciliwung dulunya menjadi pusat peradaban kota Jakarta dan menjadi sarana distribusi perdagangan dan transportasi pelayaran. Kondisinya sekarang justru menjadi sumber masalah banjir Jakarta.
Lebar sungai semakin sempit karena okupasi permukiman, disusul persoalan sampah dan sedimentasi. Kondisi sungai yang buruk tersebut diamini oleh hampir 60 persen responden jajak pendapat Kompas awal Mei lalu.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan banjir. Dari pengerukan sungai,saluran, waduk, pemasangan pompa dan saringan sampah, hingga pembangunan Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Bogor serta tanggul laut di pesisir utara. Namun, berbagai upaya pemeliharaan sungai dan penanganan banjir masih dianggap belum efektif .
Separuh lebih responden pada jajak pendapat awal Mei berpendapat, pemerintah belum efektif dalam memelihara kebersihan sungai Jakarta. Upaya normalisasi sungai yang sudah berjalan sejak 2013, dihentikan sejak 2017 lalu. Sebagai gantinya, DKI akan melakukan naturalisasi sungai
Hal tersebut sedikit banyak berdampak pada ketidakpuasan 41 persen responden pada upaya pemerintah dalam mengatasi persoalan genangan banjir. Genangan banjir mulai terjadi di awal musim penghujan ini. Awal November, ada sejumlah wilayah di Jakarta Selatan yang tergenang banjir. Kemudian terakhir pada 17 Desember lalu, terjadi genangan di sejumlah jalan protocol seperti Jalan Gatot Subroto, HR Rasuna Said, Gerbang Pemuda, dan Asia Afrika.
Hampir separuh responden berharap ada upaya pembersihan sungai, selokan, waduk, dan bendungan dari sedimentasi ataupun sampah untuk mengatasi banjir ibu kota. Sedimentasi dan sampah bisa berdampak pada berkurangnya daya tampung sungai.
Selanjutnya, 16,4 persen menyarankan upaya normalisasi sungai. Mereka menilai penanggulangan banjir dengan mengembalikan lebar dan memperbesar kapasitas sungai, akan mengurangi banjir di Jakarta. Pemeliharaan sungai dan saluran menjadi kunci untuk mengurangi banjir Jakarta yang sudah ratusan tahun terjadi.
Sampah
Persoalan sampah juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Jakarta. Warga Jakarta menghasilkan sampah sekitar 7.500 ton setiap hari. Dari ribuan ton sampah tersebut, sekitar 2.000 tonnya merupakan sampah plastik yang sukar diurai oleh alam.
Namun, kesadaran masyarakat dalam mengolah sampah masih rendah. Separuh responden dari jajak pendapat akhir Februari lalu mengaku, tidak pernah memilah sampah, antara organik ataupun anorganik. Tiga perempat responden bahkan tidak pernah mengolah sampah menjadi pupuk ataupun barang kerajinan lainnya.
Meski demikian, sudah ada kesadaran masyarakat untuk mengurangi sampah, seperti yang dilakukan 65 persen responden. Diantaranya sudah membawa kantong belanja, botol minum, dan wadah makanan sendiri, serta tidak memakai sedotan plastik.
Setidaknya hal tersebut merupakan langkah awal untuk mendukung program pengurangan pemakaian plastik sekali pakai yang digaungkan pemerintah setahun terakhir ini. Selanjutnya, pada September lalu, hampir 90 persen responden mengaku sudah membatasi penggunaan plastik. Langkahnya sama seperti upaya mengurangi sampah, seperti membawa botol minum dan peralatan makan sendiri.
Kesadaran timbul karena separuh lebih responden khawatir dengan kondisi sampah sekitar lingkungannya. Adanya aturan dan kampanye mengurangi plastik dari pemerintah juga memengaruhi sikap seperempat responden untuk ikut mengurangi sampah. Sisanya, sekitar 14 persen responden karena terpengaruh gaya hidup. Bagaimanapun alasan warga ibukota, kesadaran untuk melakukan ‘diet’ plastik patut diacungi jempol untuk ikut menjaga keberlanjutan lingkungan Jakarta.
Polusi
Saat musim kemarau lalu, kualitas udara Jakarta sempat pada titik yang mengkhawatirkan bagi kesehatan. Laporan air quality index (AQI) yang dikeluarkan data visual menyebutkan, kualitas udara jakarta pada bulan Juli – September pada status tidak sehat. Bahkan, beberapa kali nilai AQI Jakarta menduduki peringkat pertama atau terburuk di dunia.
Hal ini mengkhawatirkan 93 persen responden jajak pendapat kompas September lalu. Polusi udara sudah berdampak pada kesehatan mayoritas responden. Diantaranya, sering batuk, pusing, dan sesak napas.
Namun, upaya yang dilakukan warga masih sebatas upaya pencegahan pribadi supaya tidak terpapar polusi. Separuh lebih responden memilih menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan. Kemudian 6,2 persen memilih beraktivitas lebih pagi. Bahkan 5 persen, tidak melakukan upaya khusus.
Warga yang ikut melakukan upaya antisipasi untuk mencegah timbulnya polusi udara hanya sekitar 30 persen. Seperti yang dilakukan oleh 15 persen responden yang memilih menggunakan angkutan umum untuk mengurangi emisi polutan. Juga sekitar 15 persen responden yang sudah berinsiatif untuk menanam pohon sebagai penyerap polutan.
Harapan warga, pemerintah segera melakukan upaya untuk mengatasi polusi udara. Separuh lebih menginginkan pemerintah untuk menambah Ruang Terbuka Hijau. Kemudian 17 persen mengusulkan untuk membuat aturan pengendalian polusi dan 15 persen meningkatkan uji asap kendaraan.
Satu usulan warga telah dilaksanakan. Pemda DKI pada Agustus lalu telah meluncurkan Instruksi Gubernur No. 66 tahun 2019 untuk mengatasi polusi udara. Aturan tersebut isinya mendorong wwarga untuk membatasi penggunaan kendaraan bermotor, memperketat uji emisi, serta optimalisasi ruang terbuka hijau.
Ke depan, upaya dari pemerintah tidaklah cukup. Dibutuhkan peningkatan kesadaran dari warga Jakarta untuk ikut menjaga lingkungan. Jika tidak, daya dukung lingkungan Jakarta akan terus menurun.