Kearifan Ekologi dan Kebudayaan
Indonesia dengan belasan ribu pulau merupakan untaian alam dengan kekayaan hayati berlimpah. Dalam kajian antropologi dikenal konsep ekologi budaya yang menjadi darah atau inspirasi semangat pengetahuan lokal.
Mereka menjadi ”penemu” obat kanker dari akar pohon yang dalam bahasa Dayak disebut bajakah. Penelitian itu telah memenangi medali emas di Korea Selatan.
Fenomena bajakah telah mendapat respons luas, termasuk dari Presiden Jokowi. Presiden menganggap temuan itu bisa menjadi salah satu penemuan besar di Indonesia.
Karena publikasi tentang bajakah semakin luas, anak-anak SMA itu menjadi perburuan banyak perusahaan farmasi dan munculnya eksploitasi besar-besaran atas pohon yang dianggap akar bajakah.
Namun, atas dasar prihatin hutan di Kalimantan Tengah akan dirusak, mereka tutup mulut dan merahasiakan akar bajakah asli. Setiap ada pertanyaan tentang bajakah mana yang bisa menjadi obat kanker, mereka tutup mulut.
Menurut penelitian di Universitas Lambung Mangkurat, akar tanaman ini tidak bisa dibudidayakan. Orang sulit menebak karena bajakah ada 200 jenis, sebagian malah beracun.
Kearifan ekologi
Anak-anak muda itu merupakan sosok idealis lingkungan. Mereka menolak populer dan menjadi kaya raya jika membongkar rahasia hutan Kalimantan. ”Kami tidak ingin penemuan ini akan digunakan untuk mengeksploitasi hutan-hutan kami. Kami ingin hutan-hutan Kalimantan masih lestari hingga beratus-ratus tahun.”
Mereka menolak populer dan menjadi kaya raya jika membongkar rahasia hutan Kalimantan.
Indonesia dengan belasan ribu pulau merupakan untaian alam dengan kekayaan hayati berlimpah. Identitas kebudayaan nasional dari ratusan etnis dan bahasa memproduksi aneka pepatah, foklore, kearifan lokal, dan seterusnya, yang pasti berhubungan dengan aspek ekologi tempat mereka hidup.
Dalam kajian antropologi dikenal konsep ekologi budaya (cultural ecology) yang menjadi darah atau inspirasi semangat pengetahuan lokal.
Masyarakat tradisional di lereng-lereng perbukitan, di pinggir hutan, di tepi sungai, di pesisir pantai, memiliki gagasan otentik dalam merayakan hubungan dengan alam, bersikap kreatif dan etis terhadapnya. Inilah yang dikaji antropologi ekologi karena manusia sesungguhnya selalu bergantung kepada alam, meski perkembangan pengetahuan dan teknologi membuat manusia seakan memiliki determinisme atas alam (Nora Haenn dan Richard R Wilk, 2006).
Kenyataannya, empat dekade terakhir kita menghadapi krisis ekologi. Setiap menit kita melihat perusakan lingkungan hayati. Sayang, reaksi atas krisis itu masih bersifat peyoratif, subordinatif, karikatif, dan parsial. Mengonsumsi sampah plastik masih menjadi adat. Memangkas pohon kota dengan brutal dibiarkan. Sumber air dan tanah diracuni merkuri dan potasium demi emas dan ikan. Pohon dan daun tidak dihargai sebagai penyuplai oksigen dan pemberi inspirasi intelektual, spiritual, ataupun magis.
Krisis lingkungan saat ini masih disebabkan oleh dua hal. Pertama, logosentrisme bahwa alam dan segala hal sepenuhnya dimandatkan kepada manusia. Muncul dialektika negatif antroposentrisme (anthropocentrism) bahwa segala hal yang penting dalam kehidupan berpusat pada manusia sebagai inti universalitas. Antroposentrisme menjadi raison d’etre lahirnya pengetahuan dan teknologi yang materialistik dan hedonistik, yang agresif dan korosif terhadap alam.
Kedua, semakin pudarnya nilai-nilai spritualitas manusia kepada alam. Manusia yang seharusnya hadir menghormati alam dan hidup berdampingan dengan damai telah menjadi teroris alam (eco-terrorist) (Liddick, 2006).
Meskipun wacana eco-terrorism telah muncul sejak awal abad XX, ia menjadi ancaman nyata sejak era 1980-an, ketika manusia merasakan dampak kerusakan lingkungan yang mengarah pada kepunahan peradaban manusia. Teror lingkungan oleh perusahaan tambang dan perkebunan, termasuk fenomena pembakaran hutan dan lahan, tidak bisa lagi diselesaikan dengan cara hukum adat. Mesti ada tindakan hukum yang ketat dan berat.
Salah satu yang bisa mencegah manusia berbuat destruktif atas alam adalah kesadaran kosmologi atas nilai-nilai transedental dan metafisika sehingga bisa mencegah manusia melukai alam. Sayangnya, mengharapkan nilai-nilai transendental ini beroperasi dalam agama yang diakui negara masih lemah sinyal.
Negara lunglai
Dalam konteks nasional, keberadaan negara saat ini belum menjadi pelindung kearifan ekologi. Nawacita, misalnya, tidak menyebutkan penyelamatan lingkungan sebagai bagian penting. Ketika konsep kebudayaan disebutkan, aspek lingkungan tidak dianggap berelasi signifikan dengan penumbuhan dan pemajuan kebudayaan.
Bahkan konsep pembangunan Indonesia dari pinggir, dari desa, dan dari luar Jawa, masih mengintensifkan proyek infrastruktur yang sudah pasti melukai lingkungan hidup, seperti yang terlihat di Papua. Lingkungan belum menjadi nilai, etika, dan spirit, yang memengaruhi laju pembangunan.
Dalam UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan hampir tidak menyuratkan semangat perlindungan ekologis. Pada Pasal 4 UU No 5 Tahun 2017 yang mengatur tentang Tujuan Pemajuan Kebudayaan dalam 10 poinnya, tak satu pun yang memaklumkan diksi ”lingkungan” di dalamnya.
Frasa seperti ”mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa”, ”memperkaya keberagaman budaya”, ”mewujudkan masyarakat madani”, ”melestarikan warisan budaya bangsa”, ”memperteguh jati diri bangsa”, masih kosong dari wacana tentang lingkungan yang lestari.
Pembangunan kebudayaan tanpa perlindungan alam tradisional akan berarti nekrokultura, rumah kematian bagi kebudayaan.
Demikian pula obyek pemajuan kebudayaan (Pasal 5). Dari 10 obyek, (tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional), tidak ada yang menganggap lingkungan sebagai obyek. Padahal, masyarakat tradisional telah menjadikan alam sebagai identitas.
Padahal, ada banyak kekayaan etno-botani yang perlu kita rawat. Bukan hanya bajakah, tetapi juga kamper, gaharu, cendana, bak manee (bahasa Aceh) sebagai tulang kapal, termasuk ganja yang sering dikriminalisasi sebagai tanaman jahat. Perlu kearifan untuk menjaga keberagaman itu dari kaum imperialis dan predatoris.
Pelaksanaan Pekan Kebudayaan Nasional 2019 pada 7-13 Oktober lalu, yang kali ini mengangkat tema kearifan ekologi, harus dilihat sebagai pesan bahwa pembangunan kebudayaan tanpa perlindungan alam tradisional akan berarti nekrokultura, rumah kematian bagi kebudayaan.
Teuku Kemal Fasya Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh