Para petenis putra kini memiliki tiga kejuaraan beregu dalam kalender tahunan mereka. Persaingan pun tak hanya terjadi antarpemain, juga antarpenyelenggara
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Di antara padatnya jadwal turnamen individu, kalender tenis profesional putra kini mengenal tiga kejuaraan beregu: Piala Davis, Piala Laver, dan Piala ATP. Pro dan kontra pun mengemuka, terutama dengan hadirnya Piala ATP yang untuk pertama kalinya digelar di Australia, 3-12 Januari. Kejuaraan ini menjadi ajang pertama kalender turnamen tenis putra, mendahului turnamen pemanasan Grand Slam Australia Terbuka lainnya, ATP 250 Doha, 6-12 Januari.
Dengan penyisihan digelar di tiga kota, Brisbane, Perth, dan Sydney, disusul final di Sydney, maka ATP 250 Brisbane ditiadakan. Kehadiran Piala ATP juga menghilangkan kejuaraan beregu campuran Piala Hopman tahun ini. Kejuaraan yang biasanya digelar di Perth itu akan kembali digelar pada 2021.
Piala ATP terinspirasi dari Piala Dunia Beregu yang digelar pada 1978-2012. Pada Juli 2018, sekitar enam bulan setelah Piala Davis mengumumkan penggunaan format home tournament untuk persaingan Grup Dunia, Direktur ATP Chris Kermode merencanakan membuat kejuaraan.
ATP dan Tennis Australia, pada 15 November 2018 memutuskan penggunaan nama Piala ATP. Peserta dipilih berdasarkan posisi petenis terbaik setiap negara dalam daftar peringkat ATP ditambah Australia, sebagai tuan rumah, yang mendapat wild card.
Sebanyak 18 tim lolos berdasarkan daftar peringkat ATP pada 9 September. Enam tim berikutnya ditambahkan ATP berdasarkan daftar peringkat 11 November.
Ke-24 tim itu beranggotakan 3-5 pemain, dibagi dalam enam grup pada babak penyisihan dengan format round robin. Enam juara grup ditambah dua peringkat kedua terbaik lolos ke perempat final. Sebagian besar petenis 30 besar dunia akan tampil, kecuali dua petenis Swiss, Roger Federer dan Stan Wawrinka.
Warna
Hadirnya kejuaraan itu menambah warna persaingan tenis beregu putra yang telah mengenal Piala Davis sejak 1900. Di tengah turunnya pamor kejuaraan yang tak lagi menambah poin peringkat petenis sejak 2016 itu, Roger Federer dan timnya menggelar Piala Laver sejak 2017.
Meski berstatus ekshibisi, ajang ini lebih menarik ditonton karena mempertemukan para pemain bintang dari Eropa dan Tim Dunia. Piala Laver, yang digelar bergantian di Eropa dan luar Eropa setiap tahun, memunculkan momen yang tak pernah terjadi dalam kejuaraan lain, salah satunya duet Federer dan Rafael Nadal.
Piala Laver juga mendekatkan penonton dengan atlet idola. Penonton melalui siaran televisi bisa menyaksikan diskusi penyusunan strategi dan perayaan kemenangan di ruang ganti pemain. Petenis senior seperti Federer, Nadal, dan Novak Djokovic juga bisa memberi masukan pada rekan setim yang lebih muda dalam coaching on court.
Mulai 2019, Piala Laver masuk dalam kalender ATP. Meski tak ada poin yang diperebutkan, promosinya didukung penuh ATP. Apalagi, turnamen ini membawa nama legenda tenis Asutralia, Rod Laver. Turnamen ini pun menjadi warisan Federer jelang pensiun, meski petenis yang telah 20 tahun tampil di arena tenis profesional itu belum memutuskan waktunya.
Tak ingin kalah dari Piala Laver, yang tiketnya selalu terjual habis pada tiga hari penyelenggaraan setiap tahunnya, Piala Davis berbenah. Alih-alih menggunakan sistem gugur, yang digelar empat kali sejak babak pertama hingga final, putaran final Grup Dunia Piala Davis digelar di satu negara mulai 2019.
Perubahan itu dilakukan atas kerja sama Federasi Tenis Internasional (ITF) dan Kosmos Tennis milik pesepak bola Spanyol, Gerard Pique. Perubahan dilakukan agar Piala Davis menjadi seperti Piala Dunia tenis, hingga bisa menarik perhatian penonton yang lebih besar.
Namun, pada penyelenggaraan pertama di Madrid, Spanyol, 18-24 November, panitia direpotkan dengan penyusunan jadwal. Pertandingan berlangsung hingga lewat tengah malam, membuat Stadion Caja Magica terkadang kosong dari penonton.
Usul satu kejuaraan
Piala ATP mendapat komentar positif dari banyak petenis, seperti Nick Kyrgios dan Djokovic sebagai Presiden Asosiasi Petenis Profesional. Namun, petenis Kanada, Denis Shapovalov berpendapat, panitia penyelenggara Piala Davis dan Piala ATP seharusnya bekerja sama menggelar satu kejuaraan.
”Aneh rasanya bertanding dalam dua kejuaraan serupa dalam waktu berdekatan. Akan lebih baik jika hanya ada satu kejuaraan beregu berlevel dunia,” kata petenis peringkat ke-15 dunia itu.
Penilaian itu ada benarnya. Meski menjanjikan beragam inovasi, Piala ATP sebenarnya akan melakukan apa yang telah dilakukan Piala Laver, seperti memperbolehkan coaching on court dan mendekatkan atlet dengan penonton. Sementara, format Piala ATP pun tak berbeda jauh dengan Piala Davis.
Maka, persaingan tak hanya terjadi di antara pesertanya, melainkan di antara para penyelenggara: ATP sebagai pengelola Piala ATP, ITF dan Pique yang memiliki Piala Davis, dan Federer sebagai si empunya Piala Laver.