Kemeriahan Tahun Baru tidak lagi dirasakan para perajin di kampung trompet. Bisnis yang pernah semarak puluhan tahun lamanya itu berangsur senyap.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
Trompet berjejer di plafon rumah Abdulah (42) di Kampung Tegalan, Jamblang, Cirebon, Jawa Barat, Rabu (18/12/2019). Di lantai, bahan trompet, seperti kertas, karton, dan karet aneka rupa, menumpuk dalam karung. Di salah satu sudut ruangan tampak cetakan trompet berbentuk naga dan barongsai. Inilah sisa pembuatan trompet setahun lalu yang belum laku hingga kini.
”Bahan itu bisa membuat 1.000 kodi sompret (trompet) berbagai jenis,” ucapnya. Jika ludes, ayah tiga anak ini beromzet Rp 100 juta.
Namun, kini semua hanya mimpi. Pesanan anjlok. ”Tahun Baru ini nganggur dulu,” katanya. Abdullah pun hanya mengandalkan penjualan mainan anak dari bahan karet bekas sandal. Namun, hasilnya jauh lebih rendah daripada hasil penjualan trompet saat omzet bagus.
Dari membuat mainan, keuntungannya Rp 50.000-Rp 100.000 per hari. Bandingkan dengan hasil penjualan trompet yang mencapai Rp 1,2 juta per hari. Bisnis musiman inilah yang jadi incaran.
Dua tahun terakhir, bisnis trompet bangkrut.
Anjloknya pesanan trompet berimbas panjang. Ibunda Abdullah, Sarti (60), terpaksa merumahkan tujuh pekerjanya. Ia tak lagi memproduksi trompet sebab jangankan berharap untung, sekitar 500 kodi trompet sisa tahun lalu saja masih belum terjual hingga kini.
Semua trompet menumpuk di gudang. Sementara warung kecilnya kini menjajakan rujak, minuman dingin, dan rengginang sebagai ganti sumber penghasilan.
Usaha itulah yang menjadi pelipur lara saat suaminya, Usman, kini terbaring sakit dan tak lagi bekerja. ”Dua tahun terakhir, bisnis trompet bangkrut. Hampir tak ada lagi pembeli sejak beredar isu penyebaran penyakit lewat trompet dan isu-isu sensitif keagamaan,” tutur Sarti.
Bahan sisa
Sutrisno (46), Kepala Dusun Tegalan, mengatakan, kini hanya 10 keluarga yang masih bertahan membuat trompet. Itu pun kebanyakan memanfaatkan bahan sisa tahun lalu. ”Padahal, dulu, hampir setiap rumah bikin trompet. Makanya, di sini disebut kampung trompet,” ujarnya.
Usaha trompet telah hidup 20 tahun lebih. Masa pergantian tahun selalu mendatangkan sukacita bagi warga. Sarti dan Usman, misalnya, memproduksi 2.000 hingga 3.000 kodi trompet. Pembuatan trompet dimulai pada Agustus hingga November. Setelah semuanya jadi, mereka memasarkannya ke sejumlah daerah pada bulan Desember.
Kehidupan masyarakat di kampung yang berjarak 15 kilometer arah barat pusat Kota Cirebon itu pun semarak. Usaha trompet Tahun Baru menjadi sumber penghidupan bagi 1.700 warga yang tersebar lebih dari 140 rumah. ”Kalau sudah jual trompet, habis Tahun Baru istri-istri di sini pakai gelang (emas) segini,” ucapnya sambil memegang pergelangan tangan. Keluarga yang mampu memproduksi hingga ribuan kodi trompet bisa membangun rumah.
Kini, saat trompet tak laku lagi, perajin mencari akal. Menjelang Imlek, mereka membuat topeng dan barongsai. Pedagang keturunan Tionghoa juga sudah menjalin kerja sama. ”Biasanya kami titip barang di koko (sebutan pedagang keturunan Tionghoa). Kalau sudah terjual semua, baru kami dapat uangnya. Enggak ada uang muka. Yang penting kepercayaan,” kata Abdullah.
Sembari menunggu Imlek, para perajin menjajakan mainan di mana saja ada pesta atau keramaian, seperti pemilihan kepala desa atau kenduri. Bahkan, mereka datang ke Tangerang, Banten, hingga daerah-daerah lain di Jawa.
Napas kreativitas warga Kampung Tegalan tidak datang satu dua hari. Tegalan, yang dulunya padang ilalang, kini menjelma menjadi permukiman dengan beragam jenis usaha. Mulai sari bisnis mainan, trompet, hingga pembuatan kursi dan meja dari ban bekas. Ada pula sentra gerabah.
Di daerah itulah, Pangeran Panjunan mensyiarkan agama Islam dengan welas asih, enam abad silam. Pangeran Panjunan turut membangun peradaban Cirebon bersama Sunan Gunung Jati, salah satu wali penyebar Islam di Jawa. ”Beliau yang pertama kali mengenalkan cara membuat gerabah kepada warga,” ujar budayawan Cirebon, Abidin Aslich.
Warga pun cekatan membentuk gerabah dari tanah menjadi piring, gelas, dan perangkat rumah tangga lainnya. Belakangan, keterampilan itu berkembang dalam bentuk mainan dan trompet. Daya kreatif warga Tegalan sudah diuji berabad-abad silam. Saat suara trompet sirna, api kreativitas tetap menyala.